Tidak peduli

518 104 10
                                    

💞

"Sorry, gue nggak inget lo janji apapun, Ga. Lo balik aja, ya, mumpung Papa dan Ibu gue belum pulang, ya, pulang ya ... ayo ... silakan, silakan," usir Zena secara halus bahkan tangannya mengarahkan Yoga supaya berjalan kembali ke mobilnya.

Yoga pun tersenyum tanpa melepas tatapannya ke arah Zena. "Gue nggak bisa nggak tepatin janji, Zen," bisiknya lirih dengan bibir mendekat ke telinga Zena yang terpejam karena wangi parfume Yoga mendadak membiusnya. Wangi yang segar, berani dan berwibawa.

"Saya mau ketemu orang tua kamu, sekarang kalau perlu," ucap tegas Yoga yang berdiri tegap bahkan memanggil dirinya 'saya'. Mandala memindai Yoga dari atas sampai bawah. Mengapa ia merasa jika Yoga terlalu jumawa, sombong karena sudah menjadi seorang yang berpangkat cukup membanggakan.

"Gue balikan sama Zena, jangan ganggu dia," ujar Mandala berdiri di depan Zena. Yoga tersenyum lebar, tapi dengan tatapan tajam.

"Belum ada janur kuning melengkung, kan?" tukas Yoga. "Buat saya menepati janji itu harus. Saya sudah mapan dengan pekerjaan tetap juga menjanjikan. Saya bertahan demi Zena, saya setia mengejarnya. Kamu mau ajak saya saingan? Boleh, tidak ada kata mundur untuk saya!" tegas Yoga. Sorot lampu mobil sedan mewah membuat Zena memicingkan kedua mata.

Bos besar pulang! Gawat ... gawat! Ia harus menjelaskan apa.

Salah satu mobil ajudan Yoga menghalangi mobil Dipa masuk karena terparkir di depan pintu pagar. Dari teras rumahnya, Rere, Zano, Pak Iman dan Bibi mengintip tanpa mau keluar, nanti saja kalau memang masalahnya penting.

"Siapa kalian?" tegur Dipa tak lupa dengan gaya tengilnya. Belum lagi kedua lengan kemeja ia singsingkan hingga siku. Letta ikut turun, ia menatap Zena lantas mengkode dengan tatapan mata, bertanya ada apa?

"Selamat malam, Pak Dipa. Perkenalkan saya Yoga Hardinanda Pratama, saya berpangkat--"

"Nggak perlu. Dari baju kamu udah kelihatan banyak. To the point, kalian siapa? Apa anak saya bikin masalah?" Kedua alis mata Dipa mengkerut bingung. Letta menggamit lengan kekar suaminya dengan pandangan yang sama.

"Saya, mau lebih dekat dengan putri Bapak dan Ibu, kami teman masa SMA dan saya janji dulu ... setelah saya selesai pendidikan dan mengejar karir yang saya impikan, saya akan kembali untuk Zena." Ucapannya begitu jelas dan lugas, Dipa sampai takjub. Tetapi ya, karena seorang abdinegara jadinya pasti begitu pembawaannya.

"Oke. Lalu? Kenapa nggak masuk ke dalam. Kenapa harus di depan pagar kayak mau tagih utang. Anak saya nggak ada utang, kan?" tekan Dipa.

Mandala sadar penampilannya gembel sekali, pun Zena yang sudah pakai piyama warna biru tua ditambah bandara gambar kucing.

"Ada utang, Pak. Zena utang balas perasaan saya," jawab Yoga diakhiri senyum tipis.

Mandala berdeham, ia lantas berjalan ke kosan setelah pamit ke Letta dan Dipa tanpa pamit ke Zena apa lagi Yoga.

"Zena, maksudnya apa? Kamu dikejar dua cowok, gitu?" tekan Dipa lagi.

Zena hanya bisa diam, ia mana tau. Yang jelas mengejarnya Mandala, Yoga mendadak muncul lalu niat menepati janji. Tanpa menjawab, Zena pamit ke paviliun, Yoga tau kedatangannya pasti bikin kaget, namun cinta sudah tak bisa ditahan. Zena harus tau jika Yoga berjuang bisa sepadan dengannya dan siap serius dengan wanita cantik itu.

***

"Mas ... bagi ongkos, dong, belum ke ATM nih." Pagi-pagi Zena sudah menyatroni kamar Zano dengan berdiri memelas di depan pintu. "Re ... Mas Zano, bagi duittt ... mulai cekak, nih ... tolongggg," melas Zena. Pintu terbuka. Zano menempelkan uang seratus ribu ke kening Zena.

"Ngemis pagi-pagi," gerendeng Zano. Rere yang sudah kembali kerja setelah cuti melahirnya memberikan uang tambahan ke Zena.

"Buat Kakak, takut mau beli jajan enak." Rere menuju meja makan menyusul suaminya. Ghandy sama bibi yang akan mengasuh selama Rere kerja.

"Terima kasih, kalian emang suami istri terbaikkk, beda sama yang kolot satu, tuh, sama anak pelit banget," dumal Zena yang langsung ikut duduk di meja makan.

"Semalem lo kenapa? Digreben polisi. Lo demo lagi," lirik Zano saat menyendok lontong sayur sebagai menu sarapan. Rere yang masak sejak pukul empat pagi.

"Iya, Kak, ada apa? Kok Papa sampe kayak nggak suka gitu mukanya?" sambung Rere. Zena menceritakan, Zano dan Rere saling menatap.

"Siapa yang menang, Re?" tanya Zano.

"Mmmm, sebentar ... Rere analisa dulu ...." Rere memejamkan mata, kedua jari telunjuk ia tempelkan di pelipis kiri dan kanan. Begitu menggemaskan hingga Zano meminta Zena melihat ke arah lain dahulu saat Zano mengecup bibir istrinya. Rere membuka mata, ia membalas mencium pipi Zano sambil tersenyum.

"Wailahhh! Dah, lah! Gue kerja dulu! Ojek gue udah mau sampe!" sewot Zena lantas menyambar tas kerja, berjalan ke depan rumah dengan suara gelak tawa Zano dan Rere.

"Zen," sapa Yoga yang sudah memarkirkan mobilnya di depan rumah Dipa. Ia memakai seragam dinasnya tapi tak ada kawalan. Ia seorang diri.

"Ngapain?" Zena menyapa dengan dagu terangkat.

"Jemput elo. Gue tau lo kerja jam segini. Ayo bareng, kita searah. Lo di Sudirman, gue di Semanggi, searah, kan?"

Tak menjawab, Zena menoleh ke arah kiri. Mandala keluar pagar kosan dengan sepeda motornya. Zena masih berdiri di depan pagar rumah Zano. Ia menunggu.

Mandala berjalan melewati Zena tanpa menawarkannya bareng atau sekedar menyapa, melirik saja tidak.

"Ayo, Zen, mendung juga," ajak Yoga lagi.

"Ojol gue udah di gerbang komplek, lain kali aja, bye." Zena melambaikan tangan ke Yoga yang berjalan mendekat.

"Lo balikan sama Mandala? Serius?"

"Kalau iya kenapa?" balas Zena. Yoga menundukkan kepala, menarik napas dalam lantas kembali menatap Zena.

"Kenapa gue terlambat terus, Zen. Perasaan gue ke elo nggak berubah dari dulu. Gue lakuin semua ini buat lo. Gue sadar gue harus lebih hebat dari lo."

Zena menepuk bahu Yoga. "Apa kalian lihat gue sebagai objek yang bisa dipantas-pantaskan berdiri dengan siapa nantinya? Kenapa nggak lihat apa gue suka dengan kerja keras kalian selama ini supaya bisa pantas ada di hidup gue? Gue siapa, sih? Gue cewek biasa aja. Perkara gue anak pengusaha sukses bernama Dipa dan anak dari pemilik yayasan pendidikan gratis punya Ibu Letta yang namanya termasyur dengan penghargaan di dunia pendidikan yang udah banyak, terus kalian ... elo dan Mandala, berlomba-lomba lihatin kesuksesan kalian?" Zena tersenyum sinis. Ia mengangkat tangan karena ojolnya sudah tiba.

"Kalau gue mau. Anak pengusaha kaya raya udah gue jadiin suami. Sayangnya gue nggak gila duit dan jabatan. Kalau dia sekalipun pendapatannya jauh dibawah gue tapi gue nyaman dan bisa saling terima kondisi apa adanya, itu yang gue pilih. Lagian, Yoga, gue tau lo bukan orang yang mendadak nongol. Lo dikomporin siapa? Hanna, kan?"

Yoga mengangguk pelan.

"Lo sama dia, deh. Cocok. Dia juga cakep, dan bisa berwibawa di depan orang-orang. Nggak kayak gue yang judes, jutek, galak. Gue juga nggak pilih Mandala. Ribet lo berdua.

Kalian pikir gue nggak mau kalau punya pasangan kere? Gue aja kere asal lo tau. Udah, ya, gue kerja dulu, kalau mau terus usaha ... silakan, gue kayaknya nggak peduli." Zena mengedikkan kedua bahunya seperti ia memang tak akan peduli.

Yoga melihat kepergian Zena ke kantor dengan ojol, tak tampak rasa enggan apalagi gengsi.

Di kantor, ia melihat Mandala berjalan dengan rekan atau divisinya saat Zena baru tiba di lobi. Keduanya berpapasan tetapi saling cuek.

"Mas Hilal!" panggil Zena setelah melewati pintu pembatas.

"Ya," jawab Hilal.

"Titip kopi, ya, nanti aku ganti di atas," tukasnya. Hilal mengangguk. Mandala tidak menatapnya sama sekali, justru mengarahkan ke suasana lobi yang ramai berdatangan karyawan dari banyak perusahaan.

bersambung,

Terjebak Mantan Belagu! ✔ (TAMAT)Where stories live. Discover now