Grup arisan alumni

599 113 4
                                    

Yuk lanjut!


"Mau ke mana, Kak?" tegur Zaver sambil menikmati camilan keripik singkong saat ia main ke paviliun. Ia dapati kakaknya sedang berdandan bersiap pergi.

"Arisan temen-temen sekolah. Tumben sabtu nggak ada kegiatan? Bosen kan kamu. Dikit-dikit les, dikit-dikit turnamen. Nikmatin masa-masa sekolah, dong. Udah mau SMA, kan?" Zena membubuhi bedak tipis-tipis ke wajah cantiknya.

Zaverio mengunyah dengan cepat sebelum menyanggah pernyataan kakaknya. "Lagi libur, Kak. Nggak bosen juga banyak kegiatan. Dari pada di rumah ngapain? Ngegame aku nggak suka. Main sama temen, ah ... males, yang diobrolin ke mana-mana."

"Maksudnya?" lirik Zena sepintas sebelum lanjut memakai eye liner pada kelopak matanya.

"Nggak suka aja, yang seringnya dibahas obrolan sok dewasa, pencapaian orang tua, liburan seringnya ke mana, hang out asiknya ditempat-tempat anak gaul yang lagi happening. Aku nggak suka dan nggak peduli. Di rumah itu udah paling bener."

"Ya nggak gitu juga lah, dek. Kamu juga harus bersosialisasi, tau hal-hal terbaru di luaran sana. Jangan di rumah melulu. Kuper nanti kamu." Zena lanjut menyisir rambutnya lantas ia kuncir kuda.

"Siapa bilang aku kuper. Kak Zena, aku cuma belum dapetin temen yang pas. Satu visi misi. Itu aja. Lagian, bangga amat sama kekayaan orang tua." Zaver berjalan ke kulkas kecil, ia raih minuman teh dingin.

"Heh, orang tua kita juga kaya raya, nggak lupa, kan?" sindir Zena. Ia lanjut memasukkan benda penting yang akan dibawa arisan ke dalam tas yang sudah ia siapkan.

"Inget. Makanya aku ogah ada dilingkungan itu. Yang kayak kan orang tua, mendingan aku lah. Prestasi ada, di sekolah atau olahraga, menang dapet hadiah, jadi deh punya duit jajan. Duit jajan dari Papa sama Ibu aku simpen di tabungan."

Zena terkekeh, "buat apaan? Sekalipun kamu mau umrah atau naik haji juga bisa dibayarin Papa sama Ibu, adekku ganteng," gemas Zena. Ia mencubit-cubit pipi Zaver.

"Buat orang yang butuh, kayak Kakak misalnya. Dimiskinkan mendadak sama Papa pasti bikin syok!" Zaver tergelak, Zena berdecak. Jika ingat keuangannya yang mepet setiap bulannya, ingin rasanya menikmati semua kekayaan yang pernah ia miliki. Tetapi ultimatum Dipa tak bisa ia langgar lagi jika tidak, skak mate!

"Serius, duit tabungan kamu buat apa?" Zena merangkul bahu adiknya saat mereka keluar paviliun karena Zena mau kunci pintu.

"Disimpen aja. Kayaknya aku mau bikin usaha kecil-kecilan nanti kalau udah tujuh belas tahun, resmi pake KTP sendiri."

"Widihhh! Jiwa pebisnis udah muncul. Keren! Kakak dukung! Bilang sama Mas Zano sana, dia kan tukang buka usaha UMKM, gih, cerita. Kali aja dapet ide kamu. Masih remaja udah mandiri. Tos dulu!" Zena mengangkat telapak tangannya ke udara. Zaver menyambut dan keduanya saling berpelukan. "Keren banget adekku ini. Awas aja kalau dikejar cewek matre. Habis sama Kakak!" Peringatan Zena kini membuat Zaver cengar cengir. Ia tau jika penggemarnya banyak dari sekolah manapun, apalagi foto-foto Zaver saat tanding beladiri, renang, olimpiade matematika, wajah tampannya bak aktor korea masa kini jelas menarik perhatian remaja perempuan. Tetapi bagi Zaver, itu hanya hiburan untuk dirinya saja, soal cewek, masih terlalu dini untuknya memiliki suka-sukaan. Kakak-kakaknya super protektif, ia malas memikirkan drama percintaan.

"Kak! Naik ojol lagi?" tegur Zaver sambil mengeluarkan sepeda dari garasi paviliun pindah ke garasi rumah orang tuanya.

"Iya, lah." Zena mengeluarkan masker dari dalam tas.

"Mas! Mas Mandala!" teriak Zaver. Zena melotot kaget. Mandala yang sedang bersiap pergi tak tau ke mana dengan sepeda motornya segera mendekat.

"Ada apa, Zaver?" Mandala melepaskan helm, ia melirik sepintas ke Zena yang memalingkan wajah ke arah lain.

Terjebak Mantan Belagu! ✔ (TAMAT)Where stories live. Discover now