Jalani aja

599 103 2
                                    

💞

Tak bisa berkata-kata, Zena hanya bisa menatap mobilnya laku dibeli tetangga RT lain. Wajahnya lesu, sedih tapi mau gimana lagi. Ia bersiap berangkat kerja, bahkan Dipa tidak menawarkan berangkat bersama.

Zano juga, ia diwanti-wanti Dipa tidak membuat Zena tetap ada pada kenyamanan.

"Zena, hati-hati, ya, kabarin Ibu kalau udah sampai kantor." Letta bercipika cipiki dengan Zena lantas masuk ke mobil. Zaver melambaikan tangan ke Zena yang membalas dengan lesu. Adiknya sudah duduk anteng di dalam mobil Letta yang dikemudikan sopir.

Garasi kosong, Zena masih berdiri sambil menatap hampa. "Mbak Zena, Pak Iman antar, yuk," kata pak Iman yang menghampiri.

"Nggak usah, Pak. Nanti ketauan Papa Bapak kena semprot. Emang dasar Papa tega sama anak. Sebel banget," gumamnya lalu kembali menghela napas panjang. "Rere mana, Pak?"

"Lagi nyusuin Ghandy, masih agak demam karena imunisasi kemarin. Bapak masuk lagi kalau gitu ya, Mbak. Mbak Zena hati-hati." Pak Iman sesungguhnya tidak tega, tapi tak  bisa memaksa juga.

Ojol pesanan datang, Zena segera memakai helm milik Letta lalu naik ke atas sepeda motor.

Sepanjang jalan Zena ketar ketir karena abang ojolnya selap selip. Beberapa kali ia memekik kaget juga memejamkan mata saking syoknya. Ia berdoa dalam hari supaya semua aman terkendali hingga tiba di kantor.

Pukul delapan, Zena tiba. Mobil sedan mewah Dipa sudah terparkir di parkiran khusus para petinggi berbagai perusahaan.

Setelah membayar ongkos, ia berjalan ke arah lobi tak lupa menenteng helm. Raut wajah Zena masih kuyu, tubuhnya bau debu dan asap knalpot kendaraan karena lupa memakai jaket.

"Pagi, Gita," sapanya ke kepala divisi general affair. Zena duduk di kubikelnya.

"Pagi Mbak Zena," balas Gita yang kikuk karena selama ini Zena bosnya dan kini menjadi bawahannya. "Mbak, ditungguin HRD di ruangannya."

Zena mengerti, ia beranjak lantas hanya membawa ponsel di tangan, ia berjalan menuju ruang HRD.

"Mbak Zena, silakan duduk," pinta Pak Joko. Zena tak menyahut, ia lalu menyeret mundur kursi lantas duduk. "Begini, Mbak. Atas perintah Pak Dipa, saya harus kembali menyesuaikan gaji Mbak Zena dari sebelumnya CEO menjadi staff GA. Nah, ini gaji Mbak Zena yang baru untuk bulan ini, ditambah transport, uang makan. Lalu dipotong jaminan kesehatan, jaminan hari tua dan anggota koperasi kantor. Total take home pay Mbak Zena diangka segini ya, Mbak." Pak Joko tersenyum.

Lima juta delapan ratus ribu rupiah. Itulah gaji Zena yang setara anak baru di kantor itu yang juga fresh graduate.

Dari delapan puluh juta gaji CEO yang ia dapat, kini hanya lima juta sekian. Terjun bebas dengan cepat angkanya.

Zena diam, tak mau ribut dan ribet, ia tanda tangani persetujuan gajinya yang baru. Setelahnya pamit kembali ke meja kerjanya.

"Mbak Zena," lirih Gita. Zena baru duduk. "Boleh input billing yang kemarin, sama cek kebutuhan ATK, Mbak. Biar dibelanjain lagi. Maaf, ya, Mbak," tukas Gita setengah hati meminta tolong Zena.

"Bisa. Nanti aku cek. Aku input billing dulu, ya." Zena meraih kertas nota juga bon makan siang, parkir, bensin karyawan pemasaran yang setiap hari memang selalu ada meeting dengan klien juga menjamu klien-klien lama.

Zena menyalakan laptop, ia cukup memasukkan angka pada sistem yang sudah dibuat yang nantinya langsung dikelola staf keuangan.

Namun, kali ini Zena mau membuat salinan sendiri dengan excel, ia mau punya backup data supaya aman.

Jam makan siang, Zena tak tau harus membeli apa. Uang yang ia punya dari sisa di rekening hanya sedikit dan ia harus irit.

Langkah Zena mengarah ke pujasera yang ada di belakang gedung kantor. Ia berjalan kaki sendirian karena semua staf masih canggung mengajaknya.

Setelah celingak celinguk memilih mau makan apa, ia putuskan ayam penyet saja. Apakah seenak buatan Dipa?

"Bu, ayam paha satu, ya. Minumnya es jeruk." Zena memesan kemudian duduk di kursi kosong. Dikejauhan ia melihat beberapa staf makan bersama sedangkan Zena sendirian. Biasanya ia makan siang di tempat dingin berAC, janjian dengan Lana yang kantornya di gedung sebelah. Kadang Samantha ikut jika tak sibuk sebagai notaris.

Hawa panas, juga bau aneka masakan membuat Zena terpaksa menguncir tinggi rambutnya. Beberapa pasang mata stafnya yang sadar ada Zena tersenyum menyapa tapi tak mengajak Zena satu meja. Ia seperti terasingkan.

"Eh! Ada elo!" Suara itu membuat Zena mendongak. Mandala. Pria itu berdiri di samping meja yang ditempati Zena. Segera saja ia berdecak seraya memalingkan wajah ke arah lain.

"Ganggu banget sih, lo!" umpat Zena. Ia tak nafsu makan. Memilih membungkus makanannya lalu membawa ke kantor. Ia berjalan cepat karena terik matahari semakin terasa menyengat.

Mandala hanya tersenyum tipis, tak peduli Zena pergi justru asik duduk sambil menunggu makanan datang.

Zena menghela napas saat tiba di kubikelnya, ia tatap bungkusan makan siangnya dengan nanar. Baru hendak membuka makan siangnya Dipa menghampiri.

"Apa, Pa, mau ngeledek?" sindir Zena sebal. Ia fokus membuka bungkusan makanan.

"Makan sama Papa, ayo ke ruangan Papa."

"Nggak mau," tolak Zena. Ia memilih menikmati makanannya dengan mengabaikan Dipa. Papanya terus memperhatikan Zena makan kemudian pergi meninggalkannya.

"Zen, kamu tau di rumah kita ada paviliun kosong, kan?!" Dipa memutar tubuh ke arah putrinya.

"Tau. Kenapa." Zena menjawab dengan tetap cemberut.

"Papa lagi beresin. Siapa tau kamu mau pindah ke sana. Belajar ngekost di rumah sendiri. Papa lengkapi dapur juga. Kamu harus tau hidupmu selama ini sangat ... sangat ... sangat beruntung."

"Pa!" Zena berdiri.

"Papa serius. Dulu kamu waktu masih jadi mahasiswi jurusan hukum, sering ikut demo, orasi tentang hak-hak rakyat kurang mampu supaya dapat penghidupan layak. Sekarang kamu harus rasakan gimana berjuang untuk bisa bertahan hidup. Katakan Papa tega sama kamu, tapi ini harus Papa lakukan. Satu lagi ...," jeda Dipa. "Sebelah rumah Mas Zano juga Papa mulai renovasi untuk jadi kosan. Kamu bisa cari duit tambahan untuk kelola itu. Kita bagi hasil, empat puluh persen bayaran kosan tiap bulan buat kamu. Lumayan kan buat ongkos atau jajan kamu. Kosan empat kamar, satu kamar lengkap ada kamar mandi, dapur kecil dan meja makan kecil. Bisa kamu itung berapa uang tambahan yang nanti kamu dapat. Satu bulannya satu koma lima juta. Jangan merasa Papa nindas kamu, ya, Zena. Papa masih kasih jalan kamu untuk bisa hidup enak." Dipa kali ini sangat tegas dan serius. Bahkan ia sudah membahas dengan Letta, jika batal memberikan rumah utama untuk Zena. Kekesalannya sudah diubun-ubun, tak selamanya hidup di atas, Zena harus belajar paham hal itu walau ia begitu peduli dengan hidup orang kekurangan, tapi untuk dirinya ia tak pernah merasakan.

"Iya, Pa," gumam Zena merespon semua ucapan papanya. Zena kembali duduk, ia lanjut makan walau susah tertelan karena kaget dengan semua kata-kata Dipa.

Zena pulang dengan ojol lagi, sudah pukul tujuh dan jalanan macet. Zena diam, mengamati gedung-gedung bertingkat yang ia lewati.

Ponselnya bergetar, Zena merogoh tas kerja yang ia pangku di tengah. Jemarinya membaca chat dari grup SMA yang memberitau ada acara reuni akhir pekan di resto ternama. Zena tak mau datang, tapi justru namanya dielu-elukan sebagai tamu yang wajib datang.

Ia kebingungan, bagaimana menghadapi teman-temannya yang tau ia seorang CEO perusahaan tambang tapi sekarang berubah menjadi staf biasa karena kesalahannya. Belum lagi Mandala, mantan belagu yang tadi siang saja sudah membuatnya naik darah!

Zena hanya bisa menjalankan, setidaknya ia tau papanya masih peduli dengan dirinya.

bersambung,

Terjebak Mantan Belagu! ✔ (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang