Mampir dulu

588 115 8
                                    

💞

"Lo tuh kenapa nurut bokap gue, sih!" Nada bicara Zena meninggi saat berboncengan dengan Mandala menerjang kemacetan Jakarta sore hari.

"Bokap lo udah bantu gue dengan kasih kesempatan kerja kantoran. Apa salah gue balas kebaikannya?"

Salah, lah! batin Zena menjerit.

Motor berbelok ke arah jalan antasari, Zena diam saja karena berpikir akan melewati jalan yang lebih cepat. Ternyata Mandala berhenti di depan ruko dua lantai. Terdapat tiga mobil terparkir di depannya.

"Mampir dulu bentar," tukas Mandala sambil melepaskan helm dari atas kepala Zena.

"Gue mau balik!" tegas Zena.

"Sebentar doang." Mandala berjalan meninggalkan Zena yang masih tak tau itu tempat apa. Hingga ia membaca neon box besar yang menyala terpasang pada dinding ruko, tertulis photo studio, editing video, wedding and event memory by Mandala.

Zena paham, ini milik sang Mantan. Kakinya melangkah ke dalam ruko. Bagian dalam terdapat meja resepsionis, di belakangnya terpasang banyak hasil foto yang Mandala kerjakan pada dinding.

"Selamat datang. Silakan ke atas, Mas Mandala di ruangannya," ujar wanita cantik berambut sebahu.

"Makasih," jawab Zena lantas berjalan ke arah tangga. Nuansa studio lebih didominasi warna putih dan hitam bahkan hingga ke lantai dua.

Ada space besar yang dijadikan studio foto karena ada peralatannya. Pintu kaca bertuliskan office ada di sudut ruangan. Zena mendorong pelan dan terlihat Mandala sedang bicara dengan tiga orang lainnya.

Zena urungkan niatnya masuk, ia memilih keliling melihat-lihat. Klien Mandala bukan orang sembarangan, ada pejabat publik, artis, selebgram dan orang biasa.

Hasil foto untuk iklan juga ada. Zena baru sadar Mandala punya hobi yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah.

"Zen," panggil Mandala. Ia berdiri di ambang pintu. Lengan kemeja kerjanya sudah tertekuk hingga siku. Dua kancing teratasnya juga ia buka. Zena diam, terkesima sesaat melihat gaya Mandala yang ... hot.

"Udah? Ayo balik!" ajak Zena. Mandala menggelengkan kepala. Ia meminta Zena masuk ke ruangannya yang dilakukan Zena malas-malasan.

"Ngapain ajak gue ke sini! Pamer!" hujat Zena. Ruangan berAC itu begitu wangi juga bersih. Semua tertata apik. Kenapa Mandala makin mirip Dipa yang suka bersih dan rapi?

Mandala mendaratkan bokongnya pada sudut meja kerja warna hitam dengan satu kaki menggantung. Senyumnya mengembang.

"Suka sama usaha yang gue bangun dari hasil kerja keras gue sendiri?"

Zena bersedekap. "Nggak tau!" liriknya sinis.

"Omsetnya lumayan. Seminggu bisa ada tiga klien. Kalau wedding atau event lain sebulan bisa empat di weekend."

"Pamer terossss," sinis Zena seraya memalingkan wajah dari mantannya yang terkekeh pelan.

"Gue bukan pamer, Zen. Ini bagian gue ajukan proposal diri buat mantesin jadi suami lo nanti."

Zena kaget, tapi ia tetap cuek seolah tidak peduli.

"Gue cuma punya ini buat jadi tambahan income tiap bulan. Kira-kira apa bisa Pak Dipa terima gue nanti?" Mandala menunggu jawaban Zena.

"Hadehhh!" Zena mengusap pelipisnya. "Kenapa, sih, Dalaaa ...! Usaha lo akan percuma! Per ... cu ... ma!" Kedua mata Zena terbelalak tajam ke arah Mandala yang terus tersenyum.

Terjebak Mantan Belagu! ✔ (TAMAT)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ