XIII. Perpustakaan

156 50 230
                                    

Gadis dengan celana jeans model wide leg itu melangkah pelan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Gadis dengan celana jeans model wide leg itu melangkah pelan. Menatap sekeliling dengan senyum kecil. Manis, cantik.

Langkahnya dibawa masuk semakin dalam ke ruangan dengan jejeran rak buku yang banyaknya hampir ratusan. Sebuah perpustakaan di dekat kampusnya.

Tenang, dengan aroma khas dari buku yang membuat siapapun merasa enggan untuk meninggalkan tempat ini. Pengharum ruangan beraroma lavender itu juga memberikan kenyamanan tersendiri untuk setiap pengunjungnya.

Clara salah satunya. Gadis yang hampir setiap hari menyempatkan diri untuk berkunjung ke perpustakaan ini. Bahkan penjaga perpustakaan ini sampai akrab dengan gadis itu.

"Mau nyari buku atau ngembaliin buku?" Tanya penjaga perpustakaan yang kisaran usianya di atas empat puluh tahun. Seorang pria dengan kemeja putih berbalut rompi rajut warna coklat dan Ivy cap yang selalu bertengger di kepalanya yang sebagian rambutnya sudah beruban.

Clara tersenyum. Menyodorkan sebuah buku filsafat ke hadapan pria itu. "Dua-duanya." Jawabnya dengan kekehan ringan.

Pak Salman, nama penjaga perpustakaan itu ikut tersenyum. Mencatat tanggal pengembalian buku itu lalu menyimpannya kembali. "Sekarang mau nyari buku apa? Buat referensi lagi?

Pertanyaan itu dijawab gelengan dari Clara. "Saya mau baca buku, Pak. Sekalian nunggu pacar saya. Dia masih ada kelas," jelasnya. Masih dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari bibirnya.

"Kamu masih pacaran sama Gerindra?"

Tawa Clara menyembur begitu saja begitu ia mendengar ucapan Pak Salman. Apakah nama Ganendra sesulit itu sampai-sampai harus disamakan dengan nama partai? Ia rasa tidak.

"Ganendra, Pak!"

"Oh... Iya. Bapak lupa. Soalnya namanya itu mirip-mirip partai begitu. Makanya Bapak panggil Gerindra aja. Nggak salah 'kan?"

Clara kembali tertawa. Memang tidak salah, karena Pak Salman itu pelupa. Tapi tidak bisa dibenarkan juga, karena yang benar saja? Nama tampan seperti itu masa disamakan dengan nama partai?

Kalau seandainya Ganendra tahu, Clara yakin anak itu akan memprotes Pak Salman habis-habisan.

Setelah berbincang cukup lama dengan Pak Salman, Clara memutuskan untuk duduk di bangku paling ujung. Di depan sebuah jendela besar yang mengarah langsung ke kebun belakang perpustakaan itu. Tempat yang cocok untuk membaca.

Sebuah novel karya seorang penulis terkenal, kini sudah berada di genggamannya. Mengisahkan tentang gadis kecil yang mencintai malaikat penolongnya.

Sebenarnya Clara sudah membaca buku ini berkali-kali, tapi dia tidak akan pernah bosan dengan ceritanya. Meskipun dia sudah hafal betul alurnya.


☘️☘️☘️

Suasana perpustakaan itu lengang, hanya terdengar suara lembaran buku yang dibalik dengan penuh kehati-hatian, dan suara goresan pulpen yang bergesekan dengan lembaran buku yang kosong.

GanendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang