28. Kebohongan Mana Lagi yang Harus Kupercaya?

Start from the beginning
                                    

Alit langsung mengibaskan tangannya di udara. "Ah, nggak usah repot-repot, Mas. Nanti aku aja yang bilang di chat. Lagian dia tuh enggak gampang cemburu kok orangnya. Santai aja!"

Begitu masuk ke Range Rover milik Faiq, Alit langsung mengecek ponselnya. Kalau Brian pulang kantor dengan cepat, kemungkinan mereka akan sampai hampir berbarengan. Masalahnya, Brian biasa parkir di basement. Dari basement langsung masuk ke lift untuk sampai ke unitnya.

Jadi, Alit harus memutar otak agar Faiq mau mengantarnya sampai basement. Karena kalau Brian tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, seluruh usaha Alit hari ini gagal total.




***




Sebagai manusia yang perfeksionis dan ambisius, Brian paling kesal jika ada sesuatu yang berjalan tidak sesuai dengan planning-nya.

Setiap hari, dia menuliskan semua rencana hidupnya dengan detail, dimulai dari rencana jangka pendek, sampai ke rencana jangka panjang.

Dan sekarang emosinya meningkat ketika seluruh kerja kerasnya selama beberapa bulan terakhir menjadi sia-sia.

Usai proyek pengembangan sistem industri baru yang dia handle beberapa bulan terakhir berjalan dengan sukses dan menuai banyak pujian dari atasannya, Brian sangat percaya diri dia akan dipromosikan menjadi manager.

Sebelumnya status dia masih sebagai staff business development. Lalu beberapa bulan terakhir dia ditunjuk menjadi proyek manager. Dan dia yakin bahwa dirinyalah kandidat terbaik untuk dipromosikan menjadi business development manager.

Kenyataannya, Pak Jatmiko malah menunjuk Ferdie sebagai kandidat terbaik yang akan dipromosikan akhir tahun nanti.

Tentu saja Brian merasa itu sangat tidak adil untuknya. Dia sudah bekerja keras selama beberapa bulan terakhir, mengerahkan seluruh kemampuannya untuk perkembangan bisnis perusahaan, tapi semua itu hanya dibayar dengan pujian?

Ah, sial. Brian lebih butuh naik jabatan ketimbang pujian kosong begitu. Makanya seharian ini dia jadi uring-uringan di kubikelnya, mengajak ribut semua orang yang berurusan dengannya.

"Udah lah, Bri, nggak usah terlalu galau gitu. Lagian kenapa sih lo ngarep banget naik jabatan tahun ini? Lo kan udah tajir ini. Bahkan lo enggak kerja aja, duit lo ngalir terus, kan?" Randy menyulut rokoknya menggunakan korek hasil merampas dari tangan Brian.

Sedangkan Fano di sebelahnya tidak mengatakan apa pun, sangat menghargai  perasaan Brian.

"Semua anak kantor juga udah tahu lo siapa, dan bapak lo siapa. Jujur aja gue enggak kaget pas pada ngomongin lo yang ternyata diem-diem punya nama belakang yang sama dengan Direktur Komisaris kita, Pak Budiyono Thamrin. Lagian, mana mungkin ada staf biasa dengan gaji pas-pasan gini, yang kalau ke kantor pake kemeja Loro Piana?" Randy terus mencerocos di sela sesapan rokoknya.

"Yang penting Brian kan kerja keras dari nol di kantor ini, Ran. Dia masuk lewat interview panjang kayak yang lo dan orang lain tempuh. Bukan karena koneksi Bapaknya. Dan ketika dia seharusnya naik jabatan, juga atas kerja kerasnya sendiri. Dan dari segi kemampuan, Brian jauh lebih layak ketimbang Ferdie." Akhirnya Fano bersuara, saking kesalnya dengan suara Randy yang membuat kupingnya sakit.

"Tapi bukan berarti Ferdie enggak layak promosi, kan? Kemampuan Ferdie juga bagus kok! Lebih senior juga dibanding Brian," sahut Randy enggak mau kalah.

"Ferdie sama Brian cuma selisih setahun. Enggak terlalu pengaruh. Yang penting kan, performanya lebih unggul siapa?" Fano tampak makin gregetan menanggapi Randy yang keras kepala. "Atau setidaknya, kalau lo emang merasa Ferdie lebih pantas, lo bisa diem aja nggak sih?"

Hello ShittyWhere stories live. Discover now