28. Kebohongan Mana Lagi yang Harus Kupercaya?

5.1K 707 47
                                    







"Aku mau pulang sendiri aja, kamu enggak usah jemput." Begitu isi pesan yang Alit kirimkan pada Brian ketika pria itu menanyakan Alit pulang jam berapa.

Tak lama kemudian, balasan Brian datang. "Lembur lagi, Sayang? Jangan malem-malem yaa? Mau aku gojekin makan malem nggak? Aku masakin. Hari ini aku bisa pulang cepet kok. Masih sempet buat masakin kamu."

Wah, itu adalah tawaran yang sangat menggiurkan. Namun, kali ini Alit menolak.

Pertama, karena sejujurnya dia enggak lembur. Kedua, karena dia sedang melancarkan aksi balas dendam.

Usai menuliskan kalimat penolakannya, Alit melongokkan kepala dari kubikelnya. Sejak tadi ia sudah siap untuk pulang, tapi sengaja menunggu seseorang keluar dari ruangannya supaya bisa bareng.

Tepat sasaran. Pintu ruangan seseorang yang ditunggunya terbuka, menampakkan pria yang kancing kemeja teratasnya sudah terbuka, dengan tampang letih. Tersampir backpack hitam yang menggantung di salah satu bahu.

Alit berjalan santai ke arah lift, mengikuti langkah pria itu sambil bermain ponsel, pura-pura enggak melihat.

"Ras, Janeta udah kasih tahu kamu? Tentang campaign akhir tahun SooSoo project yang kerjasama bareng kita?" sapa Faiq dengan senyum lebar, kala mereka sama-sama menunggu lift.

Sebenarnya sudah, tapi ... Alit menjawab dengan pura-pura bingung. "Eh, SooSoo project apa ya, Mas? Belum bilang deh, perasaan."

"Emang harusnya dibahas pas meeting besok pagi sih, tapi nggak ada salahnya aku kasih tau sekarang. Itu campaign tahunan mereka yang lumayan besar. Sebenarnya mereka biasa handle campaign sendiri, karena perusahaan mereka udah cukup besar, kan? Tapi karena ada masalah internal, jadinya mereka kerjasama bareng kita buat ngehandle campaign-nya. Dan mereka minta salah satu desainer kita buat mendesain semuanya, dari mulai kemasan, flyer promosi, sampai merchandise. Kandidat yang paling kuat sih, kamu. Aku suka sama desain kamu yang simpel, eye catchy, tapi di saat yang bersamaan juga punya ciri khas masing-masing. Enggak yang cuma template doang."

Seketika pipi Alit bersemu merah. Ia tersenyum lebar. "Makasih, Mas. Berarti itu kemungkinan projectnya bakal mulai dibahas bulan depan ya?"

"Iya, kemungkinan bulan depan baru mulai."

Alit manggut-manggut. "Pas banget sih, kerjaanku juga udah mulai sedikit bulan depan. Soalnya beberapa klien yang harusnya deadline bulan depan, pada minta dimajuin ke bulan ini."

"Pantes belakangan ini kamu sering lembur."

Kemudian Alit sengaja menaikkan brightness ponselnya sedikit lebih terang, lalu membuka aplikasi Gojek. Dia sengaja mencondongkan ponselnya sedikit ke arah Faiq agar pria itu bisa  melihat layar ponselnya.

"Lho, kamu mau pesen Gojek? Emang enggak dijemput pacarmu?" Tepat sasaran. Umpan Alit dimakan dengan sempurna.

"Dia lagi lembur, jadi enggak bisa jemput."

"Kamu tinggal di mana sih?"

Bola mata Faiq membesar usai mendengar Alit menyebutkan nama apartemennya. "Wah, itu searah sama rumahku. Rumahku di Kemang. Mau bareng aku aja?"

"Emang enggak ngerepotin?" Adalah jawaban Alit ketika ingin sekali mengiakan, tapi pura-pura sungkan.

"Enggak lah! Udah ayo! Daripada mesen Gojek, pasti susah dapetnya kalau lagi rush hour gini!" Faiq mempersilakan Alit keluar dari lift lebih dulu, lantas keduanya berjalan beriringan menuju parkiran basement.

"Eh, tapi kamu harus bilang pacarmu dulu nggak? Atau kamu mau aku yang bilang ke pacarmu langsung? Kamu bisa kirim aja nomernya ke aku. Aku akan pastiin kamu sampai apartemen dengan aman, dan nggak akan macem-macem," ujar Faiq dengan penuh percaya diri ketika mereka hampir sampai di depan mobilnya.

Hello ShittyWhere stories live. Discover now