18. Sparks

7K 998 127
                                    



"Bunda, Lit, Bunda ...." Alit merasakan tubuhnya digoyang-goyang, bersamaan dengan suara itu terdengar.

Matanya mengerjap beberapa kali, dan langsung mendapati ponselnya diacungkan ke arahnya. Selama beberapa saat, dia mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Interior kamar yang begitu mewah dan menguarkan wangi maskulin, membuatnya butuh waktu lebih banyak untuk mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.

"Ini Bunda telepon. Diangkat dulu!" Suara renyah itu kembali terdengar. Ia baru sadar kalau Brian duduk di bibir kasur, masih setia menodongkan ponsel padanya.

Ah, benar juga. Semalam dia menginap di apartemen Brian, jadi rasanya enggak masuk akal kalau Alit bertanya kenapa Brian ada di sini. Harusnya Alit bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia bisa ada di sini—bergelung di dalam selimut tebal di kamar Brian?

Setelah Alit menerima ponselnya, Brian langsung beranjak keluar kamar.

"Halo, Nda?" Usai berdeham beberapa kali agar suaranya enggak terlalu serak, Alit pun mengangkat teleponnya.

"Baru bangun, kamu?"

"Iya."

"Semalem kenapa? Bunda sama Ayah lagi kondangan ke tempat temen Ayah. Hape ketinggalan di mobil. Kamu kenapa nelpon Bunda sama Ayah berkali-kali? Kamu enggak lagi sakit, kan?"

Sebenarnya, sepulang dari kantor kemarin, Alit berniat menceritakan semua masalahnya pada Bunda atau Ayah. Dia perlu meredakan sesak di hatinya dengan menceritakan masalahnya pada orang lain. Namun, karena semalam dia sudah menceritakan semuanya pada Brian, dia malas mengungkit itu lagi, yang hanya akan membuat emosinya kembali meradang.

"Ya gitu deh, ada masalah sedikit di kantor. Terus ... aku capek banget, Nda." Baru mengatakan itu saja, air mata Alit kembali menggenang.

"Ya udah, balik ke rumah aja sini. Bantuin Bunda ngurus cathering." Itu bukan kali pertama Bunda menawarkannya. Yang tentu saja selalu Alit tolak. Bagaimana dia bisa membantu mengurus cathering, kalau dia bahkan enggak bisa memasak apa pun. Kerjaannya di rumah cuma makan, karena di rumahnya selalu penuh dengan makanan, tanpa ia perlu repot-repot memasak sendiri.

Mungkin itu salah satu alasan kenapa saat merantau begini, Alit sulit sekali beradaptasi. Selama ini dia bisa langsung makan semua makanan yang terhidang di meja makan tanpa perlu menunggu lama. Sedangkan sekarang, ia harus menyiapkan semuanya sendiri. Harus berpikir dulu mau makan apa hari ini? Kemudian ia masih harus turun ke lobi untuk mengambil GoFoodnya. Meski kedengaran sepele, ternyata itu sangat menguras energi.

"Nda, selama ini tuh aku selalu berusaha buat profesional dan bersikap sebaik mungkin sama semua orang di kantor. Tapi, kenapa aku enggak pernah dihargai ya, Nda?" Pada akhirnya, cerita tentang kekesalannya kemarin mengalir begitu saja.

Sejak kecil dia sudah terbiasa menceritakan semua masalahnya pada Bunda dan Ayah. Sulit sekali baginya untuk menahan diri atau menyembunyikan sesuatu. Ini membuat emosinya kembali bergejolak, sehingga air matanya luruh semakin deras.

"Proses pendewasaan diri itu sulit, Lit. Memang butuh waktu untuk beradptasi. Nanti di masa depan, kamu akan bertemu dengan lebih banyak orang semacam itu. Bahkan yang lebih jahat pun banyak. Semua itu enggak usah dimasukin ke hati dan pikiran. Ikhlaskan aja. Anggap aja, itu cara Allah menambah pahalamu. Hatimu itu kecil banget. Kalau semuanya kamu masukin ke hati, enggak akan cukup. Yang ada kamu bakal capek sendiri."

"Yang penting, kamu di sana lakukan tanggung jawabmu sebagaimana mestinya. Berteman sama orang kantor secukupnya. Enggak usah terlalu benci apalagi sampai menarik diri. Bagaimana pun, mereka semua tetap kamu butuhkan untuk bekerjasama setiap hari, kan? Pokoknya kamu harus belajar legowo, jangan semuanya diambil pusing. Makan yang banyak, jaga kesehatan. Itu yang paling penting."

Hello ShittyWhere stories live. Discover now