BAB 32

225 26 0
                                    


Oh, Tuhan, apakah ini mimpi? Apa Liam baru saja mengatakan kata-kata yang selama ini hanya berani aku impikan? Jantung Emma berdegup sangat kencang, sementara paru-parunya bersusah payah menghirup udara. Apa benar Liam mencintai aku? batin Emma lemah. Tanpa sadar tangannya naik, dan menyentuh wajah Liam.

Liam menoleh, mencium telapak tangannya lembut. "I love you, Em," ulang pria itu lirih.

Bukan mimpi. Mata Emma mulai terasa panas oleh air mata, bibirnya bergetar. Beberapa tetes air mata berhasil turun ke pipinya tanpa bisa ia cegah. Pria yang selama ini ia cintai sedang menyatakan cinta kepadanya dan ia malah menangis.

Emma ingin balas menyatakan cinta kepada Liam, namun pria itu tidak memberinya kesempatan, dan mulai menciumnya lagi. Ia menyusurkan tangannya turun-naik di punggung Liam, membalas ciuman pria itu dengan sepenuh hati.

Kemudian, semuanya menggila. Tahu-tahu Emma sudah berbaring di bawah tubuh Liam di sofa. Tubuh pria itu menindih tubuhnya, sementara bibir mereka saling mencumbu, tangan mereka saling menggerayangi satu sama lain.

Aku akan menjadi seorang mantan perawan sebelum malam ini berakhir, batin Emma yakin, di tengah pusaran gairah yang melanda dirinya.

Liam menjauhkan bibirnya tiba-tiba. "Where is... your room?" tanya Liam, sedikit tersengal.

Tatapan pria itu nyaris membakarnya hidup-hidup. Nyaris, karena tiba-tiba Emma teringat sesuatu. "Oh, no..." erangnya pelan.

"What?!" tanya Liam tidak sabar.

Emma menggigit bibir, menahan tawa. "Terlalu banyak boneka Hello Kitty di sana," erang Emma malu.

"I don't care! Mereka semua bisa melihat kita kalau mereka mau," geram Liam.

Emma tidak bisa menahan tawanya lagi dan mulai cekikikan. Liam memberengut ketika menatapnya. Emma akhirnya menghentikan tawanya dan balas menatap Liam. Kemudian, dengan keberanian baru seorang wanita-yang-sebentar-lagi-akan-kehilangan-keperawanannya, jemarinya meraih satu kancing kemeja pria itu.


***

Liam menggertakan gigi kuat-kuat, menyiksa diri sendiri dengan membiarkan jari-jari tidak berpengalaman Emma membuka kancing kemejanya satu per satu. Kemudian wanita itu menyusupkan tangan ke dalam kemejanya...

Hilang sudah sisa-sisa kewarasannya. Napas Liam memburu ketika tangannya meraih kaus Emma, denyut nadinya menggila, darahnya berdesir ke semua tempat di tubuhnya, dan...

Smartphone sialannya berbunyi keras.

Mereka berdua membeku, pandangan mereka saling terpaku. Smartphone-nya terus berbunyi. Emma memandangnya dengan ekspresi aneh, lalu menyurukkan wajah di lehernya. Tubuh wanita itu bergetar pelan.

Butuh waktu bagi Liam untuk menyadari kalau Emma sedang tertawa. Sungguh, wanita itu punya kebiasaan aneh untuk tertawa di saat-saat penuh gairah!

Smartphone-nya terus berbunyi tanpa kenal lelah. Keparat! Liam menegakkan tubuh di sofa, merogoh saku celana jinsnya yang (mendadak) sesak sambil menggeram marah. Siapa yang berani meneleponnya di saat seperti ini? Ia memelototi smartphone-nya, mengerutkan kening ketika membaca identitas si penelepon.

Telepon dari Dokter Martin. Seniornya semasa kuliah sekaligus direktur rumah sakit tempat Liam belajar selama ia tinggal di Jakarta.

"Yes?" jawab Liam pendek, tidak berupaya menyembunyikan kekesalannya.

You're Still The One (COMPLETED)Where stories live. Discover now