BAB 17

186 30 0
                                    


Sebentar lagi aku akan mati. Emma menyadari hal itu. Tapi aku bahkan belum pernah berciuman, demi Tuhan! gerutu Emma dalam hati. Seharusnya tadi ia mencium Liam saja kalau tahu itu terakhir kalinya ia bertemu cowok itu. Toh ia akan mati hari ini juga. Entah di tangan penjahat-penjahat ini, atau di tangan Amira.

Emma teringat kedua orang tuanya, juga pria tua yang tadi dilihatnya di desa. Apa Papa juga akan jadi seperti itu kalau aku meninggal? Dan bagaimana dengan Mama? Emma berusaha menahan tangisnya, merasa semakin pasrah ketika gerombolan pecundang brengsek yang bau itu membawanya semakin dalam memasuki hutan. Pepohonan terlihat semakin rapat dan cahaya matahari semakin redup.

Oh, kenapa juga aku harus pasrah! pikir Emma marah. Kalaupun aku mati, aku akan mati dengan perlawanan! geram Emma, berusaha melepaskan diri untuk kesekian kalinya dari pecundang yang mencengkeram lengannya.

"Kita mau apain dia, Bos?" tanya pecundang itu kesal, mengeratkan cengkeramannya.

"Kita akan main-main sebentar dengan dia," kata si Bos, menyusuri tubuh Emma dengan pandangannya.

Nyali Emma langsung ciut. Main-main? pikir Emma kalut. Oh, Tuhan, apa aku akan diperkosa? Beramai-ramai? Emma nyaris pingsan karena rasa takut yang amat sangat. Kedua kakinya menjadi lemas dan ia berusaha bernapas susah payah. Apa setelah itu mereka akan membunuhnya?

"Bos, dia masih kecil!" seru seorang pecundang yang masih punya hati nurani.

Emma berhenti berjalan, menggertakan gigi kuat-kuat. "Coba saja kalian macam-macam dengan aku! Aku akan menjadi hantu yang terus menggentayangi kalian selamanya!" ancam Emma marah. Ia langsung teringat gadis itu. SantiApa nasib Santi sama seperti aku? Apa mungkin aku akan menjadi hantu seperti wanita itu?

Gerombolan brengsek itu malah tertawa terbahak-bahak mendengar ancamannya.

"Sampai mana kita bawa anak ini, Bos?" tanya seorang berandalan yang lain.

"Ke tempat kita bawa cewek yang waktu itu aja, Bos," usul berandalan lainnya.

"GOBLOK!!!" teriak si Bos marah, memelototi anak buahnya itu, lalu melirik Emma.

"Ah, si Bos, nanti kan nasibnya juga bakalan sama dengan cewek itu," balas anak buahnya polos.

Kata-kata yang diucapkan berandalan-berandalan itu meresap ke dalam otak Emma, membuatnya berhenti berjalan tiba-tiba. "Jadi kalian yang bunuh Santi?" tanya Emma lemah.

Pertanyaannya itu membuat semua berandalan berhenti berjalan dan menoleh ke arahnya. Si Bos berjalan menghampirinya, mendekatkan wajahnya lagi ke wajah Emma. Emma menggigit bibir kuat-kuat untuk menahan tangisnya.

"Ah, kamu kenal sama Santi," kata si Bos, mengangguk-angguk. "Karena elo dengar omongan kita tadi, berarti nasib lo bakal sama seperti dia." Si Bos menatap anak buahnya tajam. "Bawa dia ke tempat itu."

Emma bergeming. Ia tidak akan menuruti kata-kata bajingan-bajingan itu. Seorang dari mereka menarik lengannya menyuruhnya berjalan kembali, namun Emma menolak untuk melangkah.

Seorang berandalan mendorongnya kuat-kuat dari belakang, membuat Emma jatuh tersungkur ke tanah dengan keras. Ia meringis kesakitan, namun hanya sesaat. Emma tersenyum penuh kemenangan ketika melihat sebatang kayu kokoh tergeletak dalam jangkauan tangannya. Secepat kilat Emma menyambar kayu itu, lalu menghantam kaki berandalan-berandalan yang berdiri di dekatnya.

Pecundang-pecundang itu berteriak kesakitan dan menyumpah-nyumpah marah. Emma berdiri, menjauhkan diri, dan berjalan mundur sambil terus mengayunkan kayu itu. Setidaknya sebelum aku mati, aku akan membuat kalian sekarat, tekad Emma dalam hati.

You're Still The One (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang