BAB 21

228 34 0
                                    


2023...


Erin menangis sesegukan di dalam restoran sushi itu, masih sambil memegang sumpitnya. Emma dan ayahnya saling berpandangan, menyadari mereka menjadi pusat perhatian pengunjung lain di dalam restoran itu. Emma baru saja menceritakan ending kisahnya di Harlow, bertepatan dengan momen ayahnya mentraktir mereka bertiga makan malam setelah mereka pulang kantor.

"Kisah elo benar-benar menyedihkan, Em. Gue jadi ngerti kenapa elo ragu untuk datang ke reuni itu," isak Erin, mengusap matanya dengan sehelai tissue.

Mia, yang duduk di samping Erin, tampak marah. "Dasar cowok brengsek!" sembur Mia, lalu melirik ayah Emma sekilas. "Forgive my language, Om," gumam Mia, lalu menyambar smartphone-nya di atas meja dan mengetik sesuatu dengan cepat. "Cucu... Delia... Hermawan..." gumam Mia.

Emma memelototi Mia. "Are you googling him, Mi?" tanya Emma tidak percaya.

Mia mengabaikan Emma, lalu terkesiap keras, menatap smartphone-nya.

"Why, why, why?" tanya Erin, mencondongkan tubuh ke samping untuk melihat smartphone Mia. Erin membelalakkan mata. "Oh hello, handsome! William Oliver Wicaksono, I would die for you too," bisik Erin penuh kekaguman.

Jantung Emma berhenti sepersekian detik ketika mendengar nama Liam disebut. Sudah lama sekali ia tidak mendengar nama itu disebut.

"Gue pikir laki lo udah paling ganteng sedunia, Mi. Menurut gue Chandra itu cowok oriental paling ganteng yang pernah gue lihat di kehidupan nyata. Tapi dia enggak ada apa-apanya sama cowok ini," kata Erin, menunjuk smartphone Mia.

Emma hanya bisa mendesis marah, dan sibuk memelototi kedua sahabatnya, yang tentu saja tidak diacuhkan oleh keduanya.

Ayahnya tergelak keras di samping Emma. "Papa enggak akan pernah terbiasa dengan semua girl talk dan mood swing di antara kalian bertiga ini," kata ayahnya sambil terkekeh.

"Oh, Em! He's the ow—"

"I don't want to know about him, Mi," potong Emma tegas, lalu menatap ayahnya. "Makan malam ini aku yang traktir, Pa." Emma mengambil dompet dari dalam tasnya, kemudian berdiri dan berjalan menuju kasir.

Erin langsung mencondongkan tubuh ke arah ayah Emma. "Kelihatannya Emma masih sangat terluka, Om. Kalau dia sudah melupakan semua peristiwa di Harlow itu, pasti dia enggak akan ragu datang ke reuni itu," kata Erin cepat, melirik ke arah kasir.

Ayah Emma mengangguk. "Kehamilan gadis itu jauh lebih menyakiti Emma, dibandingkan luka akibat ulah penjahat-penjahat itu. Luka di punggungnya sudah pulih sepenuhnya, tapi luka di hatinya belum sama sekali."

Erin dan Mia mengangguk-angguk paham.

"Kalian bisa tolong, Om?" tanya ayah Emma, gantian melirik ke arah kasir, melihat Emma masih berdiri di sana.

"Tolong apa, Om?" tanya Mia penasaran.

"Bujuk Emma untuk pergi ke acara reuni itu."

"But why, Om? I think it's still too painful for her," kata Erin.

"Emma harus menghadapi dan berdamai dengan masa lalunya sebelum menikah dengan Alex. It might be an unpopular opinion as a parent... Tapi Om lebih memilih melihat Emma sendirian seumur hidupnya, daripada melihat dia menikah dengan Alex hanya sebagai pelarian, bukan karena dia benar-benar mencintai Alex. It's not fair for Alex too."

You're Still The One (COMPLETED)Where stories live. Discover now