Dua puluh dua

145 25 11
                                    

"Lisa..."

Lisa menoleh ke pintu kelasnya dan ia serta merta tersenyum. Namun, Rose yang berada di sampingnya nampak terkejut.

Melihat Lisa yang akan berdiri dari tempat duduknya, Rose segera menahannya. Tatapannya seolah meminta penjelasan. Bagaimana bisa seorang Yoon Jeonghan berada di depan pintu kelasnya, memanggil Lisa bahkan sambil tersenyum? Apakah ada berita yang ia lewatkan?

"Gue kantin bareng Kak Jeonghan ya.." ucap Lisa sambil tertawa melihat raut tak suka yang Rose tunjukkan padanya. Lisa paham jika Rose penasaran.

"Ceritanya panjang, sayang. Ntar aja ceritanya ya.." Lisa pun beranjak sambil mengedipkan sebelah matanya pada Rose yang masih duduk bengong di tempatnya. Bahkan saat pacarnya datang menjemputnya pun Rose masih tak bergerak. Ia benar-benar terkejut.

"Beib.." Jimin memanggilnya.

Rose pun menoleh namun masih dengan tatapan yang masih entah kemana.

"Hei, kenapa sih?" Jimin mulai khawatir.

"Lisa sama Kak Jeonghan," lalu Rose kembali terdiam. Otaknya masih mencerna apa yang terjadi.

"Lisa ngapain sama Kak Jeonghan?" Jimin bingung apa maksud sang pacar.

"Mereka ngantin berdua, bahkan Kak Jeonghan jemput Lisa ke sini, dan Kak Jeonghan juga senyum, manis banget," Rose salah fokus. "Mereka keliatan akrab banget. Aku mimpikah?" tanyanya akhirnya.

Jimin mengerutkan alisnya. Bukan mimpi sih, tapi cerita Rose agak seperti khayalan, daripada sebuah kenyataan.

"Susulin, ayok.." Jimin mendadak antusias. Mungkin ada gosip seru setelah ini. Aih dia bukan cowok penggosip, tapi cerita ini memang terlalu menarik. Mereka pun beranjak menuju kantin.

***


Rumah keluarga Yoon yang biasanya bersih dan rapi, kini nampak kacau. Beberapa barang telah berjatuhan, bahkan ada beberapa yang pecah. Pertengkaran terjadi bahkan sejak semalam.

Jika biasanya di rumah keluarga Yoon memiliki banyak asisten rumah tangga, namun semenjak kembalinya Bude Rami, semuanya telah dipulangkan ke yayasan masing-masing. Si tua Yoon sengaja hanya mempekerjakan Bude Rami seorang, hanya agar tak bangak orang yang tahu apa yang terjadi di rumah mereka.

Namun, saat kedua suami istri tersebut pulang di malam harinya, mereka hanya mendapati sebuah surat panggilan dari kepolisian. Sedangkan Bude Rami telah menghilang. Sebenarnya, si tua Yoon sudah mengira jika Bude Rami telah dibawa pergi oleh polisi, bisa sebagai saksi atau lainnya. Ia tak peduli. Kini ia harus merisaukan keadaan mereka sendiri.

"Bersiaplah, kita akan lari keluar negeri." Titah si tua Yoon pada sang istri.

"Tidak!" seru sang istri, matanya memerah karena amarah, "Jeonghan adalah anakku, dia akan mewujudkan mimpiku. Bagaimana aku bisa lari? Kenapa aku bisa tak berhak atas anakku sendiri?"

Si tua Yoon semakin berang. Kepalanya yang terasa penuh akibat masalah yang menimpa mereka, seakan ditambah bebannya dengan kebodohan istrinya.

"Menurutmu mimpi yang mana yang akan kau wujudkan saat kau membusuk di penjara?" berangnya, "Apa kau pikir kita akan mampu melawan keluarga Hong?" Amarahnya mulai tak terkendali.

"Memangnya apa salahku sampai aku harus membusuk di penjara?" sang istri masih tak terima, "Jeonghan adalah anakku! Anak kandungku!"

"Kalau kau ingin tetap bersikap tolol, maka aku akan pergi sendiri!" si tua Yoon bergegas mengemasi barang-barang yang ia perlukan. Ia harus segera bergegas ke bandara sebelum polisi kembali datang untuk menjemput paksa. Biarlah istrinya tenggelam dalam ketololannya sendiri. Ia masih cukup pintar untuk berusaha membebaskan diri.

"Dan kau akan meninggalkan anakmu?!" istrinya tak mengerti.

Si tua Yoon membanting koper yang sedari tadi ia bawa. Bantingannya cukup keras hingga bagian roda bawahnya terlepas, terpelanting entah kemana. Amarah sang kepala keluarga sudah tak dapat dibendung lagi.

"Kita sudah berapa kali mendapatkan peringatan dari KPAI?" teriaknya pada sang istri. "Apa kau buta? Tak bisa kau baca surat-surat mereka?"

"Dan kau masih dengan bodohnya menganggap kau tak bersalah?" si tua Yoon benar-benar tak mengerti dengan jalan pikiran sang istri.

"Aku tak pernah menyiksa anakku. Kaulah, kau yang menyiksa dia. Jadi, aku bersih. Aku aman!" bantah sang istri tak terima disalahkan.

Si tua Yoon tak bisa menahan diri lagi. Ia tertawa sangat kencang. Rasanya ia akan menjadi gila saat ini juga. Sikap dan tindakannya selama ini adalah atas dukungan dari sang istri. Ambisi yang mereka miliki, bukan hanya miliknya sendiri, ada mimpi sang istri juga di sana. Keinginan mereka yang begitu besar untuk masuk ke dalam lingkup pemerintahan eksekutif, membuat mereka dengan gelap mata memaksa anak satu-satunya untuk menjadi apa yang mereka berdua inginkan. Bukan hanya dirinya, tapi juga istrinya. Dan kini, ia sendirilah yang salah? Sepertinya ia sendiri harus mempertanyakan, sesungguhnya siapa yang bodoh? Dirinyakah? Hingga suara bel terdengar, tanda ada tamu berkunjung.

***


Kantin yang biasanya cukup ramai oleh celoteh para siswa, kini suara-suara itu perlahan menghilang. Semua nampak fokus pada kehadiran seseorang di pintu kantin. Ya, Yoon Jeonghan. Bahkan ia nampak sedang berjalan santai dengan wajah penuh senyum bersama seorang gadis cantik, Lalisa. Keheningan itu tak lama, karena kini mulai terdengar bisik-bisik. Ada yang mempertanyakan hubungan mereka. Ada pula yang menganggap keajaiban karena setah hampir tiga tahun, akhirnya mereka bisa melihat senyum manis Jeonghan.

"Lo populer banget deh, Han," Lisa menyenggol lengan Jeonghan, "kita berdua diliatin mulu,"

Jeonghan tertawa singkat, "Ya biar lo tahu aja, fans gue emang banyak dari dulu sih.." jawabnya tengil.

"Idih pede banget.." Lisa merotasikan kedua matanya.

Kini keduanya berjalan menuju stand penjual bakso. Sepertinya siang ini, Lisa ingin makan bakso. Mungkin dia juga mau jus buah naga yang dicampur sama mangga. Terus sama beberapa coklat batang di koperasi sekolah. Mumpung ditraktir.

Keduanya sudah duduk di salah satu bangku yang dekat dengan jendela yang mengarah ke lapangan upacara. Jeonghan meletakkan pangsit rebus ke dalam mangkok Lisa.

"Makan yang banyak biar cepet gede," Jeonghan menepuk pelan kepala Lisa.

Jujur Lisa cukup terkejut dengan perlakuan Jeonghan padanya. Sebenarnya hal ini bukan yang pertama. Namun, kali ini, Jeonghan terasa jauh lebih terbuka atas apa yang ia rasakan. Bahkan lelaki ganteng ini menjadi lebih sering tersenyum di luar area rumah.

"Ada kabar baik ya, Han?" Lisa tak tahan, ingin tahu apa yang terjadi.

Jeonghan sedang berpikir. Matanya menerawang ke langit-langit kantin sekolah. Ujung telunjuknya mengetuk pelan pelipisnya, menandakan ia sedang berpikir.

"Ya ampun sok serius banget orang tua," Lisa mengusap wajah Jeonghan dari dahi turun ke dagu. Namun, sebelum menjauh, tangan Lisa telah ditangkap oleh Jeonghan. Dan kini mereka pun saling menggenggam tangan. Hati keduanya sedang berdetak cukup cepat. Mata mereka tak melepaskan pandangan dari satu sama lain.

"Terimakasih sudah datang..." Jeonghan tersenyum, matanya yang teduh masih menatap Lisa dengan hangat.

****************

Senja (Lisa & Jeonghan) Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum