Lima belas

117 25 10
                                    

Malam di Jakarta masih terlihat ramai. Mobil dan motor berlalu lalang tanpa henti. Di salah satu coffee shop dekat stasiun, Yuri duduk menikmati secangkir robusta. Ia sedang menunggu kedua ponakannya datang dari Bandung. Ya siapa lagi jika bukan Lisa dan Jeonghan. Seharusnya mereka sudah tiba di Jakarta sore hari, tapi entah apa yang terjadi hingga membuat mereka berdua harus tertinggal kereta. Padahal, rencananya, mereka akan mulai masuk sekolah pada pagi harinya. Jika begini, liburnya akan ia tambah satu hari lagi. Ya sudah, apa boleh buat.

"Han, pengen popmie gak sih?" Lisa menatap Jeonghan yang duduk di sampingnya dengan tatapan ala anak anjing yang menggemaskan.

Jeonghan menghela nafas. Mereka memang belum makan malam, dan ini sudah cukup terlambat untuk dikatakan makan malam. Tapi, Jeonghan rasa popmie bukan pilihan yang baik juga.

"Kita pesan real food aja ya," tawar Jeonghan.

"Lah memangnya popmie bukan makanan beneran? popmie masuk kategori mainan apa gimana, Han?" Lisa pura-pura bodoh saja. Ia sedang ingin makanan penuh micin itu sekarang.

"Gak usah pura-pura bego deh, Sa. Ntar bego beneran lu.." ucap Jeonghan dengan menatap Lisa jengah, "sejak kapan makanan kemasan masuk kategori real food?" tangannya bergerak menggusak puncak kepala Lisa hingga rambut Lisa berantakan.

"Ishh, Han.. Berantakan..." Rengek Lisa dengan mulut manyun.

Menggemaskan...

Jeonghan hampir tergoda dengan tingkah imut Lisa yang sama sekali tidak dibuat-buat itu. Ia pun mengusap kepala Lisa lagi. Ingin ia gigit saja rasanya manusia di sampingnya ini. Jeonghan gemas.

"Okay, sekali-kali, tapi sebulan ke depan gak ada mie instan ya?" Jeonghan berusaha ngalah.

"Lah, kok ngatur?" heran Lisa.

Jeonghan sedikit terkejut dengan perkataan Lisa. Ia seperti disadarkan pada situasi yang memang sedikit ambigu. Bukankah mereka berdua bukan siapa-siapa hingga harus saling memperhatikan kesehatan masing-masing begini? Lisa sendiri juga nampaknya tidak sadar jika ia memang tak harus meminta izin pada Jeonghan jika memang ingin makan popmie, toh juga bukan Jeonghan yang akan membayar tagihannya. Kenapa pula harus repot-repot merayu  agar diizinkan makan apa yang ia mau? Saat tersadar, Lisa dan Jeonghan hanya saling berdehem canggung. Untung saja, pemberitahuan bahwa tujuan akhir akan segera sampai, membuat mereka terlepas dari kondisi canggung tersebut.

***


Yuri, Lisa dan Jeonghan telah sampai di sebuah rumah di kawasan Cinere. Rumahnya cukup besar, namun tetap terasa nyaman. Saat pintu dibuka, orang pertama yang menyambut kedatangan mereka adalah Tante Jeon, sang nyonya rumah. Beliau nampak tersenyum senang. Raut wajahnya yang ramah dan bersahabat, membuat ketiganya segera merasa nyaman meski baru pertama bertemu.

"Halo.. Selamat datang di rumah.."

Yuri, Lisa dan Jeonghan menyalami sang tuan rumah sambil tersenyum canggung. "Halo, selamat malam, Tante Jeon.." Yuri menyalami ibu yang masih terlihat cantik di usianya yang sudah cukup banyak angkanya ini, "perkenalkan ini Lisa dan Jeonghan yang tadi siang kita ceritakan.

Ia dan Wonwoo memang sudah menceritakan sedikit tentang Jeonghan pada Tante Jeon, dan senyum ramahnya menjadi semakin lebar saat menyalami kedua remaja di hadapannya.

"Jadi ini Lisa, cantik sekali nak.." ucapnya mengusap lembut bahu Lisa, "Jeonghan juga ganteng," ia tertawa.

"Selamat datang di rumah Ibu.." ucapnya sembari melangkah menuju ruang keluarga, "kalian panggil saya ibu aja ya. Anggap saya adalah ibu kalian sekarang, mau kan?" tawarnya pada Lisa dan Jeonghan.

Lisa dan Jeonghan saling pandang sebentar sebelum sama-sama mengangguk sambil tersenyum. Sang ibu pun mengantarkan tamunya ke kamar masing-masing, sesekali ia sedikit berbasa-basi dengan mempertanyakan tentang sekolah Lisa dan Jeonghan, atau sekedar makanan kesukaan mereka.

Lisa sengaja sekamar dengan sang tante, karena tantenya tak akan lama. Seperti biasa, pekerjaannya di Bandung telah menunggu.

"Kamu keberatan gak kalau kita kayak gini dulu?" Yuri bertanya saat mereka telah bersiap untuk tidur. Lisa yang ditanya hanya menggeleng sambil tersenyum.

"Tante, makasih ya.." Lisa memeluk pinggang sang tante, kepalanya ia sandarkan pada bahu Yuri, ia biarkan kepalanya diusap lembut oleh tante pengganti ibunya ini.

"Aku bersyukur banget, di dalam hidup aku, aku masih punya Tante Yuri.. Aku jadi gak pengen minta apa-apa lagi.."

Yuri tersenyum dan memeluk Lisa erat. Diciumnya puncak kepala sang ponakan tersayang.

"Apa aja, asal Lisa bahagia..." ucap Yuri, "sekarang tidur ya..." ia mulai melepaskan pelukannya dan membenahi selimut mereka berdua.

"Good night, tante.." Lisa mulai terpejam.

Semoga hari esok jadi lebih baik.

***


Pagi ini, di sebuah sekolah swasta yang cukup elit di kawasan Jakarta Selatan, nampak tenang. Para murid yang mulai berdatangan sedang asik mengobrol ringan sembari berjalan menuju kelas masing-masing. Beberapa dari mereka nampak tertawa. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan suasana intens yang ada di ruang kepala sekolah.

Rasanya ini masih terlalu pagi untuk membuat kegaduhan. Bahkan jam pelajaran pertama saja belum dimulai. Namun, sang kepala sekolah sudah dibuat pening karena kedatangan orang tua Jeonghan yang datang bak preman.

"Pak, Jeonghan memang sedang izin, dan di dalam surat izinnya dikatakan bahwa ia sedang ada acara keluarga. Bapak sudah baca sendiri surat izin yang dikirim oleh Jeonghan." Sang kepala sekolah masih berusaha sabar, dan sekali lagi menjelaskan apa yang dia tahu.

Betul bahwa sang kepala sekolah telah diwanti-wanti oleh kepala komisi perlindungan anak untuk lebih menjaga Jeonghan. Namun, terlepas dari hal itu, ia memang tidak mengetahui dimana keberadaan satu siswanya tersebut.

"Bapak ini sebagai kepala sekolah sangat tidak bertanggung jawab ya? Anak saya sudah berapa hari ini tidak pulang, tapi anda seolah meremehkan kekhawatiran kami sebagai orang tua." Pak tua Yoon nampak tak puas dengan jawaban-jawaban sang kepala sekolah.

"Kami, sebagai guru dan staff di sekolah ini, hanya bertanggungjawab atas apa yang terjadi di dalam lingkup sekolah. Saat hal-hal terjadi di luar sekolah, dan di luar jam belajar sekolah, itu sudah bukan tanggung jawab kami loh." Sang kepala sekolah mulai habis kesabaran.

Pak tua Yoon kini mendengus tanda tak suka, "Sekarang sebutkan saja berapa nominalnya?" ayah Jeonghan mulai tak sabar, "tak perlu sungkan kalau memang butuh pelicin supaya saya bisa mendapatkan informasi mengenai anak saya,"

Sang kepala sekolah terkejut. Betapa beraninya seseorang di hadapannya ini menghina dirinya secara terang-terangan begini. Amarahnya mulai memuncak. Tak ada lagi kompromi.

"Maaf Pak Yoon, saya rasa kita sudah tidak bisa lagi saling bicara dengan baik." ucap kepala sekolah dengan dingin, "Silahkan bapak keluar dari ruangan saya sekarang." ucapnya final, tak ada penawaran.

"Tidak perlu berlagak, Pak." si tua Yoon nampaknya masih tak sadar situasi, "memangnya ada orang di dunia ini yang bisa menolak uang. Anda tidak perlu menjadi munafik begini."

Kini amarah sang kepala sekolah telah di ambang batasnya. Ia hanya terdiam dan segera menghubungi satpam sekolah. Ia rasa, tak ada lagi kalimat yang mampu ia ucapkan pada orang tua sombong di hadapannya ini. Ia merasa masih memiliki martabat untuk dijaga, dan ia tak memikirkan hal lainnya lagi.

Suara ketukan pintu dari luar terdengar, sang kepala sekolah segera membuka pintu dan memerintahkan satpam di hadapannya untuk mengusir Bapak Yoon.

Merasa tak terima karena telah diperlakukan dengan kasar, Yoon tua dengan marah segera meninggalkan ruangan itu. Amarahnya telah membuat mukanya memerah. Di dalam kepalanya telah terbentuk narasi apa saja yang bisa menjatuhkan si kepala sekolah. Tunggu saja, begitu batinnya.

****************

Senja (Lisa & Jeonghan) Where stories live. Discover now