Dua puluh satu

110 17 1
                                    

"Semua buktinya sudah ada di sini?"

Pak Hong bertanya pada Deka dan Wonwoo yang sedang duduk di hadapannya, dan keduanya mengangguk sebagai jawaban.

"Dengan bukti sebanyak ini, kenapa kalian tak melaporkan ini ke polisi?" geram Pak Hong.

"Maafkan kami, sebelum ini kami memang bergerak cukup hati-hati mengingat lingkaran koneksi yang dimiliki oleh keluarga Yoon," Deka yang menjelaskan.

"Kita berusaha meminimalisir dampak buruk bagi anak-anak. Kami tak ingin keluarga Yoon bertindak nekat yang malah mencelakai Lisa dan Jeonghan." tutupnya.

Pak Hong menghela napas lelah. Ia tahu betul bagaimana tabiat keluarga Yoon yang akan menghalalkan segala cara agar ambisi mereka dapat tercapai. Orang-orang gila itu, membuatnya geram setengah mati.

"Tapi, kelambanan kalian juga tetap membahayakan mereka," cecar Pak Hong, "kalau saya tidak datang menghalangi pencopotan kepala sekolah itu, apakah kalian pikir anak-anak masih aman sampai sekarang?" geramnya.

Wonwoo berdeham, "Ya, untuk itu kami sangat berterimakasih. Maafkan kelalaian kami," ucapnya berusaha sepersuasif mungkin, "dan berkat bapak, kami memiliki lebih banyak keberanian untuk membawa masalah ini ke ranah hukum,"

"Dan untuk itulah saya meminta waktu anda untuk bertemu," lanjut Wonwoo dengan tenang, "Saya harap, bapak masih berkenan untuk membantu kami selama proses hukum ini berjalan," pintanya.

"Itu bukan hal yang sulit," ucap Pak Hong mulai melunak. "Jika butuh bantuan apa pun, silahkan hubungi saya," ucapnya sambil mengeluarkan dua buah kartu namanya untuk diberikan pada Deka dan Wonwoo.

***


Kini Jeonghan mulai tinggal dengan keluarga Hong. Sedangkan Lisa sendiri masih bersama dengan keluarga Jeon. Sesuai rencana awal yang ingin membuat keduanya tinggal terpisah, agar keberadaan Lisa tak dibawa-bawa oleh keluarga Yoon. Namun, sepertinya hal itu tak membuat Lisa ataupun Jeonghan senang. Keduanya nampak murung si kamar masing-masing.

Jeonghan berulang kali membuka dan menutup aplikasi chatting di hp-nya. Beberapa kali ia mencoba mengetik pesan, namun selalu berakhir dihapus. Ia menggaruk rambutnya, meski tak merasa gatal, nampak sangat frustasi. Kenapa untuk chat aja jadi sesusah ini?

Begitu pula dengan Lisa. Ia berkali-kali menghela napas. Lisa pusing memikirkan topik apa yang akan ia bahas dengan Jeonghan agar mereka bisa chatingan. Lagian Jeonghan kenapa gak nge-chat duluan sih? Lisa jadi makin kesal.

"Sa, udah tidur?"

Lisa teriak tertahan agar tak mengganggu penghuni rumah lainnya. Bagaimana pun Lisa masih ingat jika ia sedang menumpang di rumah orang. Kadang Lisa merasa aneh dengan hidupnya. Dia kan gak miskin-miskin amat, eh tempat tinggal aja malah numpang. Ah lupakan! Lisa senang karena mendapat chat dari Jeonghan. Ia kan rindu. Eh?

"Belum, kenapa Han?"

Sok jaim! Makinya sambil menoyor kepala diri sendiri. Namun, sedetik kemudian dia tertawa atas kekonyolannya sendiri.

"Malem ini, kayak sepi gak sih? Gak ada bocil tantrum yang gangguin gue.."

Lisa mendengus sebal, namun bibirnya melengkung, membentuk senyuman. Menyebalkan! Apakah orang jatuh cinta harus seaneh ini?

"Hei..!!! Kita cuma beda 2 tahun.. Sok tua lu..!"

Chat-nya kayak marah, padahal aslinya senyum-senyum.

"Hahaha.. Gue kayak bisa denger omelan lu deh, Sa.."

Pipi Lisa terasa pegal karena terus-terusan tersenyum. Jeonghan di sana ngerasain hal yang sama gak sih?

"Ih kangen kan lu sama gue.."

Senyum Lisa semakin lebar. Di chat sok cool, aslinya tantrum. Mau banget dikangenin sama Jeonghan.

"Iya.. Besok makan di kantin berdua sama gue mau?"

Lisa terdiam. Ia tak siap mendapatkan serangan dadakan begini. Jeonghan terlalu frontal. Lisa gugup.

"Cil... lu gak mungkin ketiduran kan? Kok gak bales chat gue sih?"

Ah Jeonghan!! Lisa masih salah tingkah loh ini. Gak sabaran banget.

"Belum tidur kok.. Sampai jumpa di kantin besok, Han.. Yeayy ditraktir 🥳"

Sok cool! Padahal udah keluar keringat dingin, salah tingkah, gak bisa berhenti senyum, dan deg-degan...

"Iya, besok ditraktir.. Gih tidur.. Selamat tidur, Lisa.."

Lisa kebayang suara lembut Jeonghan, ditambah tatapannya yang teduh, bikin nyaman. Ah Lisa jatuh cinta!!

***


Sore ini matahari masih bersinar terik. Bude Rami nampak termenung di halaman belakang rumah keluarga Yoon. Hari ini sang tuan rumah sedang pergi, maka ia bisa sedikit bersantai. Wajah dan badannya telah mendapatkan banyak lebam. Di usianya yang sudah tak lagi muda, kesakitan apa yang belum pernah ia rasakan? Kepahitan mana lagi yang bisa menjatuhkannya? Ia hanya terus merapal doa untuk kesalamatannya juga keselamatan Jeonghan. Beberapa hari sebelumnya, ia telah berhasil mengabarkan pada asisten Pak Hong mengenai rencana keluarga Yoon untuk mengganti kepala sekolah Jeonghan. Maka dari itulah keluarga Hong bisa segera bertindak dan menggagalkan rencana itu. Namun, sekali lagi, ia lah yang harus menderita dan menjadi samsak atas kemarahan keluarga Yoon. Mungkin di kehidupan sebelumnya ia adalah kucing yang memiliki banyak nyawa.

Saat masih sibuk dengan lamunannya, Bude Rami mendengar suara ketukan di pintu. Ia pun tergopoh-gopoh berjalan ke depan. Jarang sekali rumah ini kedatangan tamu jika sang tuan rumah sedang tak ada. Kali ini, sedikit tak biasa. Ia menjadi gugup.

"Selamat sore.." meski sang tamu nampak terkejut melihat penampilan Bude Rami yang sudah nampak kepayahan, namun ia nampak berusaha tetap ramah.

Bude Rami mengangguk sebelum menjawab, "Selamat sore, saat ini tuan rumah sedang tidak di tempat. Apa ada yang bisa saya bantu?" wajahnya mengerut bingung, bertanya-tanya dalam hati, siapa mereka ini?

"Kami dari kepolisian, ingin menyampaikan surat panggilan kepada Bapak dan Ibu Yoon. Tolong sampaikan saja." jawab mereka tegas, dan ditanggapi anggukan oleh Bude Rami sembari menerima surat berlogo POLRI itu.

"Maaf, apa ibu baik-baik saja?" sang polisi mulai khawatir dengan kondisi Bude Rami. Sebagai petugas yang terbiasa menangani kejahatan, biasanya mereka memiliki intuisi yang cukup tajam.

Melihat Bude Rami yang masih terdiam, sang polisi pun menambahkan, "Jangan ragu untuk melapor jika ada hal yang membuat ibu merasa tidak baik-baik saja," ucapnya menguatkan.

"Maaf, boleh saya tahu, atas perkara apa keluarga Yoon dipanggil pihak berwajib?" sesungguhnya ia tak bermaksud ikut campur, ia hanya merasa harus tahu apakah ini menyangkut Jeonghan atau hal lainnya.

"Ini terkait aduan penyiksaan dan penelantaran anak," jawab polisi lugas.

"Pak, apa Mas Jeonghan baik-baik saja?" wajah Bude Rami seketika berubah, muncul harapan yang besar di sana, "Apakah saya bisa bertemu?" tangisnya mulai pecah.

Sang polisi sempat saling pandang dengan rekannya. Mereka nampak menimbang langkah yang akan mereka ambil.

"Saya rasa Jeonghan baik-baik saja. Apakah ibu butuh perlindungan dari kami? Apakah kami boleh membantu ibu juga?" ucap polisi yang nampak lebih senior. Ia tentu bisa menyimpulkan apa saja yang sudah terjadi hanya dari luka-luka yang ia lihat.

Bude Rami mengangguk. Selama ini ia bertahan hanya demi keselamatan Jeonghan. Dia tentu memiliki banyak sekali kesempatan untuk melarikan diri, namun ia selalu bertahan demi mengorek informasi apa pun yang bisa membantu pihak Jeonghan. Namun, apakah ini sudah waktunya ia menyelamatkan dirinya sendiri?

"Ibu, percaya sama kami. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membantu," sang polisi menambahkan karena melihat keraguan di mata Bude Rami.

"Kami antarkan pada keluarga Hong?" tawar sang polisi akhirnya. Bude Rami pun mengangguk setuju. Ia pun ikut sang polisi setelah meninggalkan surat panggilan tersebut di meja ruang tamu.


****************

Senja (Lisa & Jeonghan) Where stories live. Discover now