Enam belas

113 23 7
                                    

Setelah satu minggu penuh Lisa dan Jonghan absen dari kegiatan belajar mengajar di sekolah, kini mereka telah kembali duduk di kelas masing-masing.

Berbeda dengan Jeonghan yang masih saja sendiri di kelasnya, Lisa telah mendapatkan rentetan pertanyaan dari Rose teman sebangkunya.

"Nih... Oleh-oleh tiramisusu khusus gue bawain buat lo," jengah dengan pertanyaan Rose, Lisa menyodorkan kue lembut khas Bandung yang sedang viral itu.

Mendapati makanan yang begitu menggiurkan, Rose mendadak lupa dengan list pertanyaan yang sudah ia persiapkan selama satu minggu ini. Mendapati Rose yang terdiam, Lisa hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

Lisa senang bisa kembali ke sekolah. Kembali merasakan kehidupan remaja normal lainnya, tanpa dikejar-kejar masalah yang tidak sengaja ia masuki. Bukannya Lisa keberatan atas apa pun yang kini menimpanya dengan Tante Yuri, hanya saja, rasanya tidak menyenangkan saja. Memangnya siapa orang yang senang jika sedang di hadapkan masalah yang cukup rumit ini?

"By the way, Lis, lo tahu gak? Kak Jeonghan juga lagi ga masuk sekolah mulu loh," adu Rose dengan mulut penuh cake, bahkan ada lelehan coklat di sudut bibirnya.

"Kata Kak Jimin, Kak Jeonghan lagi izin gitu, pas banget gak masuknya barengan sama lo gitu," lanjut Rose.

"Jodoh kali gue sama Kak Jeonghan," jawab Lisa sambil tertawa. Meski terdengar bercanda, dalam hati kecil Lisa rasanya sedikit berharap.

Rose menanggapinya dengan ekspresi sebal.

"Ngarep banget lo?!" ucap Rose sambil menoyor kepala Lisa. Lisa hanya tertawa.

"Tapi, gue denger kabar, katanya, kemarin orang tua Kak Jeonghan ke sekolah. Terus ada murid yang denger kalau mereka lagi nyariin Kak Jeonghan masa," Rose masih sibuk bercerita sambil terus memakan kuenya.

Hati Lisa berdesir ngeri mendengar berita itu. Bagaimana jika mereka tahu jika Jeonghan sudah kembali ke sekolah? Bagaimana jika Jeonghan dijemput paksa? Diculik? Wajah Lisa pias.

"Heh, lo kenapa? Kok pucet muka lo?" Rose mendadak khawatir.

Lisa menggeleng sambil tersenyum lemah. Perasaan tak tenang menyelimuti perasaannya.

***


"Kak.."

Lisa berlari mengejar Jeonghan yang berjalan sendiri menuju perpustakaan sekolah. Ia harus meminjam beberapa buku untuk mengejar ketertinggalannya. Bagaimana pun ia sudah kelas tiga.

"Gak ke kantin, Sa?" jawab Jeonghan sambil menunggu Lisa agar bisa berjalan di sampingnya.

"Lo udah tahu kalau orang tua lo kemarin ke sekolah?" tanpa menjawab pertanyaan Jeonghan, Lisa malah bertanya hal lain.

Jeonghan sempat terdiam. Ia memang baru mendengar ini. Selama di sekolah, dia memang tak pernah bercakap-cakap dengan siswa lain jika tidak penting. Maka, ia memang akan selalu tertinggal berita apa pun yang sedang beredar di sekolahnya.

Belum selesai kekhawatiran mereka tentang orang tua Jeonghan, dering ponsel Jeonghan berbunyi.

"Halo, Pa.."

Hati Lisa berdesir cemas. Ia kini merasa takut. Apakah mereka akan baik-baik saja? Pa? Papanya? Kenapa Jeonghan angkat? Lisa merasa kesal, namun ia lebih khawatir.

***


Yuri sedang sibuk berkutat dengan laptopnya. Ada sedikit masalah di resort milik ibu Lisa yang kini ia kelola. Beberapa pengunjung mengajukan komplain terkait pelayanan pegawainya. Seharusnya ia tak harus turun tangan jika yang komplain bukan seseorang yang memiliki jabatan. Kenapa sih orang besar malah cenderung rewel? Yuri mendengus sebal. Ia muak dengan orang-orang yang sok berkuasa dan merasa paling penting hingga merasa berhak mendapatkan pelayanan ekstra.

"Sibuk?"

Wonwoo meletakkan cangkir yang ia bawa di meja makan di hadapannya. Yuri yang duduk di sebrang hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Baiklah, nanti saya aja yang jemput anak-anak dari sekolah,"

Yuri pun mengalihkan pandangannya dari laptop ke arah pemuda berkacamata di depannya. Wonwoo menyesap kopinya dengan santai.

"Maaf merepotkan,"

Wonwoo hanya menunjukkan gesture bahwa itu bukan masalah baginya. Dan dering handphone Yuri mendistraksi percakapan keduanya.

"Halo, Lisa.."

....

"Apa? Orang tua Jeonghan?"

Yuri berdiri panik. Lisa bercerita tentang orang tua Jeonghan yang datang ke sekolah kemarin, juga panggilan yang Jeonghan terima tadi saat jam istirahat. Jeonghan memanggil sang penelpon dengan sebutan 'pa'. 'Pa' bukan 'pak. Tentu hal itu membuatnya berpikir jika itu adalah sang ayah yang sedang mereka hindari. Dan rasa cemas itu kini juga melanda sang tante.

Wajah Yuri yang sudah penat atas masalah pekerjaannya, kini semakin tak karuan karena laporan Lisa.

"Nanti Lisa sama Jeonghan jangan keluar dari pagar sekolah sampai tante jemput, okay?!" titahnya sebelum mengakhiri panggilan dari keponakan cantiknya itu.

Wonwoo menatap Yuri meminta penjelasan. Ia ingin tahu, ah tidak, ia perlu tahu ada masalah apa. Sebagai pendamping hukum, ia memang harus tahu.

"Kemarin, orang tua Jeonghan datang ke sekolah. Dan tadi, Lisa denger Jeonghan terima telepon, dan Jeonghan manggilnya 'pa'..."

"Nanti saya aja yang jemput anak-anak," ucap Yuri.

"Saya dampingi,"

Yuri mengangguk sambil mencoba menelepon seseorang. Namun panggilannya tak mendapat jawaban. Wajar memang, karena Lisa baru saja menutup panggilan karena sudah masuk jam pelajaran. Namun, Yuri sedang bebal, ia kembali memencet tombol panggil. Entah Jeonghan yang tak melihat atau mendengar panggilannya atau memang Jeonghan sengaja tak mengangkat karena sedang belajar? Yuri tak tahu pasti, namun kecemasannya membuatnya frustasi.

Melihat Yuri yang kehilangan kendali, Wonwoo menawarkan segelas air pada Yuri.

"Minumlah, anak-anak aman selama masih di kawasan sekolah, Deka sudah bekerja sama dengan kepala sekolah dan wali kelas Lisa dan Jeonghan," Wonwoo menatap Yuri, "Berdoa saja," tutup Wonwoo.

Yuri hanya mengangguk pasrah. Kepalanya terasa penuh. Bahkan masalah yang sedang terjadi di resort saja belum selesai. Kali ini Yuri ingin mengeluh.

***


Pelajaran terakhir kali ini adalah bahasa Indonesia. Mereka sedang membedah sebuah puisi lama, karangan Sapardi Djoko Damono yang berjudul 'Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Francisco'.

Sebenarnya pelajarannya cukup menyenangkan. Bahkan sang guru membuat musikalisasi puisi 'ala-ala'. Anak-anak dengan semangat menyanyikan puisi yang beru saja mereka bedah. Sesekali bercanda jika terdengar suara sumbang karena nada yang tak pas. Namun, Lisa sama sekali tak menikmati pelajaran kali ini. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan buruk yang mungkin saja terjadi. Rasanya sulit sekali tetap berpikir positif di situasinya saat ini.

"Kabut yang likat dan kabut yang pupur... Lekat dan gerimis pada tiang-tiang jembatan...." terdengar suara merdu Rose dari tempat duduk di samping kiri Lisa.

Lisa pun menoleh, sambil tersenyum ia berkata, "Suara lo bagus banget," ucapnya tulus.

Rose pun tertawa sambil berterima kasih. Lisa ikut tersenyum. Nyanyian dari puisi barusan, berhasil menarik Lisa dari pikiran kusutnya. Harusnya Lisa lah yang berterima kasih pada teman sebangkunya itu. Lisa menarik napas dalam. Ia hanya berdoa meminta perlindungan. Memang apa lagi yang bisa ia lakukan sekarang?

****************

Senja (Lisa & Jeonghan) Where stories live. Discover now