Lima

215 30 11
                                    

Suasana sejuk di sekitaran pemakaman umum yang sepi tak membuat dua manusia yang saling berdiam diri di atas pohon itu mau bergeming. Pikiran mereka terlalu kusut untuk memikirkan khayalan tentang adanya hantu yang mungkin akan segera bergentayangan. Matahari telah bersiap untuk tenggelam, langit di cakrawala juga menyemburkan warna-warni indah dengan cahaya keemasan.

"Namanya, Jisoo.."

"Hong Jisoo.."

Jeonghan berbisik, beruntung suasana sunyi membuat Lisa masih bisa mendengar jelas setiap kata yang Jeonghan ucapkan.

"Dia sahabat gue, tapi udah meninggal lima tahun lalu.."

"Gue..."

Jeonghan menghela napas pelan. Air mata yang ia keluarkan tadi siang, entah bagaimana telah membuatnya sedikit lega. Dan kini ia sedang terkejut mendapati dirinya bisa bercerita tentang Jisoo tanpa menangis. Terlebih, ia bercerita dengan orang asing.

"Gue cuma punya dia.."

Lisa terdiam. Ia menunduk, mengamati kakinya yang berayun di teras rumah pohon sempit itu. Mereka duduk bersisian menghadap hamparan makam di bawah pandangan mereka.

"Orang tua gue, mereka otoriter, keras dan tanpa perasaan. Mereka gak segan mukul cuma untuk dituruti,"

"Dulu, cuma Jisoo yang bisa berani ngebantah mereka. Gue yakin, karena orang tua Jisoo yang lebih kaya, jadi bokap sama nyokap gue segan. Entah.."

"Tadi,"

Jeonghan menatap Lisa, ia terkesiap betapa lancarnya mulutnya bercerita.

"Kalau bukan karena ART gue bawa gue pergi, mungkin sekarang gue udah balik ke rumah sakit. Kayak biasanya..."

Lisa serta merta menoleh.

"Itu yang gue gak pengen lo tahu.."

Mereka bertatapan sebentar, sebelum Jeonghan memalingkan pandangannya ke makam sebelah kanan. Lalu ia menunjuk suatu tempat dan mengatakan, "Di sana, tempat Jisoo istirahat selamanya.."

Lisa mengikuti arah telunjuk Jeonghan. Matanya berubah menjadi lebih sendu. Lisa sendiri telah kehilangan orang tuanya. Kini ia hanya hidup bersama seorang tante yang harus pulang pergi Bandung-Jakarta setiap seminggu sekali. Karena tantenya memang bekerja di sana. Maka, Lisa tahu seberapa besar sakit karena kehilangan orang yang kita cintai. Dan rasa mengerti itu membuat Lisa tak mampu merangkai satu kalimat pun.

"Ini adalah pertama kalinya, gue bisa 'sedeket' ini sama orang lain setelah kematian Jisoo,"

"Jadi lo harus bangga.." Jeonghan berusaha bercanda untuk menghilangkan kecanggungan. Dan itu berhasil karena Lisa kembali menunjukkan raut muka sebal seperti sebelum-sebelumnya.

"Gue baru bareng sama lo dua hari kurang, tapi gue udah liat muka jengkel lo, muka nyebelin, muka sok tahu, muka ngerasa bersalah, muka takut, muka sedih, emmm.. ada lagi gak ya?" ucap Jeonghan masih berusaha bercanda.

"Gue kira lo cuma bisa ngomong hal-hal sinis aja, gak tau kalo lo bisa bercanda kayak gini," balas Lisa sinis. Jeonghan hanya tertawa.

"Gue emang ngebatasin diri gue dari segala macam bentuk hubungan sama manusia lain." ucap Jeonghan sambil mengawang jauh.

"Gue ngerasa udah cukup hancur sekarang," Jeonghan menyandarkan dirinya pada batang pohon di belakangnya, "Gue gak akan sanggup ngadepin kehancuran yang lain karena kemungkinan ditinggal lagi,"

"Seberapa lama lo gak nangis?" tanya Lisa seolah tak nyambung.

"Sejak hari kedua Jisoo pergi,"

Lisa mengangguk, "Gue yakin setelah ini lo bakalan ngerasa jauh lebih baik.."

"Penghiburan atas rasa sakit gak melulu harus karena orang lain atau hubungan baru apa pun, karena, waktu bakalan nemuin sendiri saat yang pas buat lo bisa sembuh,"

"Bahasa lo ngejelimet," ejek Jeonghan.

Lisa mengangkat bahunya. "Ayo pulang," ucapnya menatap Jeonghan. Kali ini ia tersenyum.

"Lo yakin mau bawa cowok balik ke rumah lo?" goda Jeonghan.

"Kemarin sih pengennya buang dia di tol tomang, sekarang kayaknya udah gak apa-apa.." ucap Lisa bercanda. Jeonghan kembali tertawa.

"Baikan?" Jeonghan mengeluarkan kelingkingnya. Lisa menyambut itu dan mereka tersenyum bersama.

***


"Jadi mau makan apa?"

Mereka kini telah berada di sebuah restoran cepat saji yang terdekat dari lokasi rumah Lisa. Wanita cantik itu menatap pria di sampingnya yang terlihat sangat tampan dengan jaket kulitnya.

"Apa aja lah, gue masih belum ada nafsu makan," jawab Jeonghan sambil melihat beberapa menu yang tak menarik.

Lisa pun mengambil alih. Ia memesan beberapa menu bento yang sering dipesannya. Pegawai restoran fast food ala jepang ini pun dengan sigap melayani pesanan Lisa.

Mereka memilih duduk di dekat jendela di lantai dua. Mereka menatap ke arah jalan yang dipenuhi oleh kendaraan yang berlalu lalang. Setelah perdamaian singkat sore tadi, kini mereka kembali pada aksi saling diam.

"Dimakan, Jeonghan.."

"Bukannya lo harusnya manggil gue kakak?" jawab Jeonghan sambil membelah sumpit di tangannya.

"Gak perlulah, udah terlanjur.." Lisa menyuap shrimp roll ke mulutnya.

"Kok kurang ajar," Jeonghan menjentikkan jarinya pada dahi Lisa perlahan. Lisa hanya tertawa saja.

Akhirnya mereka makan dengan tenang. Hingga saat makanan mulai habis. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan baru mereka untuk saling diam. Hingga beberapa menit berlalu.

"Gue balik aja,"

Lisa segera menoleh begitu Jeonghan mengucapkan hal itu. Tatapannya penuh tanya dan menuntut penjelasan.

"Gue biasa kayak gini, pulang malem, nyelinap ke kamar, ngunci diri sampe pagi, terus ke sekolah dan kayak gitu terus. Pokoknya yang penting gak sampe ketemu sama dua orang itu.."

Tentu Lisa tahu siapa yang dimaksud orang itu oleh Jeonghan. Meski Jeonghan tak pernah menjelaskan, Lisa cukup pintar untuk bisa mencari jawabannya dari cerita Jeonghan tadi sore. Dan ia hanya memberikan jawaban anggukan. Bagaimanapun ia memang tak bisa menampung Jeonghan. Atas alasan kesopanan saja.

"Mau nomor gue?" ucap Lisa dengan senyum tengil menggoda Jeonghan. Tangannya telah menggantung, meminta Jeonghan menyerahkan handphone-nya.

"Lo yakin gak kebalik?" balas Jeonghan tak kalah tengil, namun tangannya tetap mengulurkan hp pada Lisa. Perempuan itu pun berdecih.

"Gimana kondisi lo? Udah enakan?" tanya Lisa serius. Ia memang sudah tak melihat Jeonghan gemetaran seperti tadi pagi. Sepertinya ia sudah jauh lebih baik.

"Udah baik," jawab Jeonghan, "Thanks.." kini ia tersenyum.

"You are welcome," jawab Lisa manis.

"Jeonghan na,"

"Panggil gue kakak,"

"Kenapa lo yakin lo lebih tua dari gue?"

Jeonghan menaikkan satu alisnya. Pertanyaan macam apa itu.

"Pertama," jawab Jeonghan sok serius.

"Gue udah kelas dua belas,"

"Kedua, gue yakin lo adalah murid baru, karena gue sama sekali ga pernah liat lo di sekolah.."

"ketiga, rasanya kecil banget kemungkinan orang pindah sekolah di kelas dua belas.."

"Jadi, udah hampir bisa dipastiin lo adek kelas.."

Lisa mengangguk, cukup geli dengan penjelasan garing Jeonghan. Kenapa pula sampai begitu detail analisanya.

"Kelas sepuluh,"

"Ugh.. Anak kecil.." cibir Jeonghan. Lisa kembali mendelik tak suka. Perbedaan umur dua tahun bukan gap yang besar. Kenapa orang di depannya ini sok tua sekali?

Senja (Lisa & Jeonghan) Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora