Empat

222 26 3
                                    

Jeonghan turun dari mobil yang dikendarai oleh Lisa. Sepanjang perjalanan, mereka berdua lebih memilih untuk saling diam, tenggelam dalam pemikiran mereka masing-masing. Tak ada yang berniat untuk mencari bahan obrolan.

Ia berjalan menyusuri jalanan komplek yang nampak sangat sepi. Lisa sendiri masih di sana, memarkirkan mobilnya di pinggir jalan, di pertigaan menuju belokan rumah Jeonghan. Lisa melihat punggung Jeonghan yang terus menjauh. Hingga Lisa memutuskan untuk turun dari mobil. Entah untuk apa. Ia masih ingin melihat Jeonghan.

Jeonghan berjalan perlahan, ia menunduk, kedua tangannya ada di dalam saku jaket yang ia kenakan. Pikirannya terbang, semakin dekat langkahnya dengan rumah, ia merasa semakin enggan. Jeonghan tergoda untuk berbalik, berharap Lisa masih di sana, lalu meminta gadis itu membawanya pergi. Tapi, Lisa adalah orang asing. Meskipun setelah dipikirkan, orang asing terdengar jauh lebih baik dibanding siapapun yang ada di rumahnya.

Dalam perjalanannya yang lambat, Jeonghan berpikir, mengapa ia harus begitu galak dengan Lisa. Padahal sebenarnya ia tak seburuk itu. Sepertinya, ini sudah menjadi kebiasaannya untuk menarik diri dari orang-orang. Membuat dirinya tak ingin mendekat atau didekati. Ia hanya ingin bersama dengan sunyi. Semakin dekat dengan pagar rumahnya yang menjulang, Jeonghan semakin merasa menyesal telah meminta dipulangkan secepat ini. Ia merasa rumah Lisa cukup nyaman. Namun, ia terlambat.

"YOON JEONGHAN!!!"

Suara yang sangat keras, bahkan saat kaki Jeonghan baru saja menapak pada teras rumahnya. Terdengar derap langkah buru-buru membuka pintu depan.

"Jeonghan-na.." Seorang ibu paruh baya yang nampak kelelahan segera menghampiri Jeonghan. Tanpa berkata apa pun, ia menarik lengan Jeonghan menuju pagar. Memaksa lelaki tampan itu untuk sekali lagi menuju jalanan kompleknya yang lengang.

"Nak, jangan pulang dulu ya.." Ibu paruh baya itu bergumam dengan tangan yang masih mencekal lengan Jeonghan. Kakinya semakin mempercrpat langkahnya, membuat Jeonghan yang masih gemetaran menjadi semakin kepayahan.

Untung saja, Lisa masih ada di sana. Masih berdiri, menatap ke arah Jeonghan pergi tadi. Dan kini, gadis itu melihat bagaimana Jeonghan seolah sedang diseret paksa, menjauh dari rumah yang tadi dimasuki oleh Jeonghan.

"Jeonghan.." panggil Lisa cukup terkejut dengan pemandangan di hadapannya.

Jeonghan menghela nafas. Ia sudah mengira jika Lisa telah pergi. Hal ini lah yang tidak ingin diperlihatkannya pada orang lain, termasuk Lisa.

"Kau teman Jeonghan?" si ibu paruh baya tersebut bertanya dengan wajah gusar. Lisa mengangguk dengan raut muka bingung. Sesekali ia melirik Jeonghan yang nampak tak acuh.

"Baguslah.." Ibu itu segera menarik Jeonghan agar lebih mendekat pada Lisa. "Nak, tolong bawa Jeonghan pergi.." Ibu itu terus melihat ke belakang. Ia seperti sedang mengkhawatirkan sesuatu. "Cepatlah.." Ia memamsa Jeonghan dan Lisa untuk segera pergi.

Lisa yang kebingungan hanya bisa menuruti dengan membuka pintu mobilnya. Tanpa aba-aba, si ibu sudah mendorong Jeonghan untuk masuk.

"Pergilah, Nak," Si ibu meraih tangan Lisa sebentar, "tolong," lalu ia segera kembali menunu rumah yang tadi menjadi tujuan Jeonghan.

Di dalam mobil, Lisa yang kebingungan tak tahu harus berbuat apa.  Karena hal itu, Lisa harus menyaksikan sebuah tragedi.

"Pergilah, jangan perdulikan apa pun," Jeonghan berkata dengan dingin, "beliau akan baik-baik saja,"

Sambil menjalankan mobilnya, Lisa bertanya, "Dia siapa?" tanya Lisa hati-hati.

"Asisten rumah tangga," Jeonghan masih dengan nadanya yang dingin, "Dia bersama kami sejak gue bayi, dia wanita kuat," ada rasa getir dalam kalimat terakhirnya. Lisa tahu jika Jeonghan sebenarnya sangat mengkhawatirkan asisten rumah tangganya. Hanya saja, mungkin Jeonghan juga tidak bisa berbuat banyak.

"kalau laki-laki tadi ngeliat gue, mungkin nasib Ibu Rami bakalan lebih parah dari sekedar tamparan," ucap Jeonghan menjelaskan situasi tadi.

Lisa terdiam. Ia tak tahu harus merespon bagaimana. Lisa melihat Jeonghan sedang memejamkan mata. "Apa ada tempat yang pengen lo datengin?" tanya Lisa akhirnya.

Pria yang duduk termenung di kursi belakang nampak termenung. Sepertinya dia memang ingin ke suatu tempat, namun, mungkin ia ragu. Jeonghan menghela napas, "kuburan,"

***


Ada sebuah pohon di jalan setapak yang membelah antara lapangan dan kuburan. Pohon itu tak cukup rindang untuk membuatnya menjadi seram. Ada sebuah rumah pohon tua di salah satu rantingnya.

Jeonghan berhenti menatap rumah pohon itu. Tangga menuju ke atas telah rusak. Terlihat sangat tidak terawat. Namun, Jeonghan melihat dahan yang cukup untuk dijadikan tumpuan agar ia bisa ke atas.

"Jangan bilang lo mau naik?" Lisa melotot melihat gelagat Jeonghan. "Itu kelihatan lapuk banget," ucap Lisa panik.

Seperti tak mendengar himbauan Lisa, Jeonghan sudah meraih dahan pertama dan bersiap melompat ke teras rumah pohon itu. Lisa sempat memekik saat kayu-kayunya berderit.

Tubuh Jeonghan yang tinggi membuatnya sedikit kesulitan memasui rumah pohon yang kecil itu. Ya, ini memang sudah sangat lama. Terakhir mungkin saat ia masih SD. Saat segala sesuatunya masih baik-baik saja.

Di dalamnya, Jeonghan tergugu. Keadaannya masih sama. Kenangan demi kenangan membanjiri kepalanya membuat ia merasa pening. Dadanya sesak seperti ingin meledak. Dan sebuah pigura yang tergeletak di atas sebuah tempat tidur usang, membuatnya tak mampu menahan air mata yang sekarang telah membanjiri wajahnya.

Jeonghan benar-benar tak merasa baik. Rasa sesaknya kian tak tertahan. Matanya memburam oleh air mata yang tak berhenti keluar. Isaknya kini terdengar seperti rintihan menahan perih di hatinya. Ia memukul dadanya berkali-kali.

Lisa bisa mendengar itu. Isak perih Jeonghan di atas sana. Karena memang rumah pohon itu tidak terlalu tinggi. Ia pun memaksakan dirinya untuk naik. Lisa bukan ahlinya, tapi ia harus bisa bukan?

"Jeonghan.. "

Gadis cantik itu kaget melihat Jeonghan tertelungkup dengan bahu bergetar hebat. Rintihannya kini semakin keras. Bahkan Jeonghan sepertinya tak menahannya lagi. Ia menangis dengan keras.

Lisa duduk di samping pemuda itu. Pemuda yang dalam dua hari saja, telah membuat hubungan mereka masuk ke dalam situasi yang aneh. Bertengkar, tak berbaikan, namun entah bagaimana, ia ingin tetap peduli. Aneh.

Di dalam rumah pohon sempit dan berdebu itu, Lisa melihat beberapa potret lainnya di sana. Sebuah gambar yang membuat Lisa terpana. Wajah itu sangat tampan dengan tawa ceria. Tawa yang dalam dua hari ini, menurut Lisa tak akan pernah bisa Jeonghan keluarkan. Sebuah keceriaan murni.

 Sebuah keceriaan murni

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Jeonghan-na,"

Lisa menepuk pundak Jeonghan perlahan. Ia takut dianggap melewati batas. Ini memang bukan urusannya. Tapi, apakah salah jika Lisa ingin berbuat sesuatu untuk meringankan beban Jeonghan? Beban yang menbuatnya menangis sedemikian hebatnya. Dan lagi, sebenarnya, Lisa penasaran, siapa orang yang ada difoto ini? Seseorang yang Lisa yakin menjadi alasan tawa Jeonghan di sana.

Senja (Lisa & Jeonghan) Where stories live. Discover now