16. Kebohongan

61 9 15
                                    

Langgeng sedikit terkejut saat berhenti di depan rumah Gati. Belum turun dari atas motor, berulang kali ia melihat rumah di depannya dengan Gati yang sudah lebih dulu turun bergantian. "Lo anak keraton apa gimana?"

Gati mendesis. "Keraton apa, sih? Ini tuh bukan istana ya, cuma rumah tradisional, di mana-mana juga Joglo kayak gini bentuknya. Nggak usah lebay, deh. Ayo masuk dulu."

Langgeng sangsi, tetapi tak peduli. Memutuskan mengekor Gati masuk lewat pintu utama, melewati pendopo besar khas rumah keluarga Gati itu. Meski begitu, Langgeng tak seperti teman-teman Gati atau Gale yang rata-rata akan melihat-lihat jika sampai di sana. Lelaki itu terkesan abai.

"Duduk dulu, tungguin aku di sini," ujar Gati di ruang santai, lagipula tak mungkin membiarkan Langgeng berdiam di ruang tamu yang otomatis ada di pendopo, kan. "Biar aku minta tolong Mbok buat bikinin minuman."

Langgeng mengangguk santai dan duduk di sofa tanpa ragu. Sedang Gati berlalu, ia memilih mengutak-atik ponsel. Baru akan membuka aplikasi perpesanan, sebuah panggilan masuk. Nomor tanpa nama tertera di layar ponsel pintarnya.

"Injih? Kadospundhi? " (Iya, bagaimana?) Ekspresi Langgeng berubah masam seketika, seolah panggilan ini sama sekali tak diharapkannya. Itu juga yang membuatnya memilih tak menyimpan nomor tersebut, tentu ia tahu siapa pemilik suara di seberang.

"Langgeng rumaos ingkang kaserat rumiyin sampun jangkep, saguh Langgeng tampi, dhereaken kemawon ingkang dipunkersani Ibuk. Ananging wekdal punika Ibuk njih mengertosi, Langgeng taksih enem, dereng jangkep anggenipun ngagem ageman sakral punika. Percados Buk, Langgeng mboten wantun ndamel Ibuk kuciwa. Langgeng janji badhe wangsul menawi sampun wekdalipun, supados saget anetepi janji punika."

(Langgeng merasa apa yang tertulis sudah pas--jelas--sanggup Langgeng terima, ikut saja apa yang Ibuk kehendaki. Namun, waktu itu Ibu ya paham, Langgeng masih muda, belum layak untuk memakai pakaian sakral itu. Percaya Buk, Langgeng tidak berani membuat Ibuk kecewa. Langgeng janji akan pulang kalau sudah waktunya, supaya bisa menepati janji itu)

"Wow! It's kinda gorgeous skill of communication." Gati berdiri di sana sambil membawa nampan berisi segelas minuman juga setoples kukis.

Buru-buru Langgeng mengucap salam dan menutup panggilan. "Sejak kapan lo berdiri di situ?"

"Not long time ago. Kamu lancar banget Jawa alusnya." Gati akhirnya mendekat, meletakkan gelas serta toples ke atas meja. 

Langgeng tak mau menanggapi untuk yang satu itu, lagipula dia memang orang Jawa. Ia memilih mengembuskan napas panjang dan meminum cairan berwarna hijau yang memang diperuntukkan untuknya. Bicara dengan sang ibu cukup menguras tenaga sejujurnya.

"Coba ngomong sesuatu ke aku pake bahasa krama alus," pinta Gati tiba-tiba.

Sebelah alis Langgeng diangkat tinggi. "Apa?"

"Apa aja, terserah."

Satu ujung bibir Langgeng membentuk lengkungan. "Gimana kalau gue ngomong pake bahasa kramanya nanti aja di depan orang tua lo? Menawi keparang putri panjenengan kula ajak gesang bebrayan sesarengan lan menawi panjenengan paring pangestu, benjang kulo dherekaken tiyang sepah kulo sowan mriki."

Apa ini? Sial! Wajah Gati memanas, tetapi ditahannya kuluman senyum itu agar tak lolos. 

Menggemaskan. Tahu Gati malu, Langgeng mengalihkan pembicaraan, "Lo siap-siap emang secepet ini?" Mata Langgeng memicing, baru sadar penampilan Gati sudah berubah. 

Dalam balutan kaos putih lengan pendek bergaris hitam horizontal dipadukan straight pants milo beraksen pita di pinggangnya, Gati yang belum mengenakan alas kaki itu berkacak pinggang. "Emang harus berapa jam?"

Re-DefineWhere stories live. Discover now