15. Baik-Buruk di Mata Cinta

49 11 8
                                    

"Ja, orang mati bunuh diri itu takdir atau bukan?" Dalam gelap suasana dapur kos Dree, Gati bicara pada Janggan di seberang. Setelah lelah memikirkan ucapan Chiza perihal Langgeng, ia menyerah, memilih menghubungi Janggan yang mungkin bisa memberinya penjelasan lebih.

Jam dinding yang digantung menghadap pintu utama sudah menunjukkan pukul 23.43, tetapi tak ada kantuk sama sekali yang menggelayut di mata Gati. Untung saja di sana Janggan juga belum tidur. 

"Kamu tanya begini bukan karena punya pikiran mau bunuh diri, kan, Gat?"  tanya Janggan di seberang dengan nada sangsi.

Gati berdecak, "Ngawur, yo ora, lah. Aku cuma pengen tahu."

Embusan napas panjang terdengar, seolah kalimat Gati barusan mengantar perasaan lega kepada lawan bicaranya.

"Meminjam penjelasan guruku, kalau aku bilang itu bukan takdir, artinya aku nggak mengimani  qodho' dan qadar. Kalau aku bilang itu takdir, seakan aku sedang menyalahkan takdir dan berprasangka buruk pada Allah. Pembahasan bunuh diri  itu riskan, Gat. Kita nggak bisa menjustifikasi seseorang atas itu, tapi juga nggak bisa membenarkannya.

"Sederhananya begini, selama kita meyakini semua hal adalah takdir Allah, selama kita bisa dan mau menerima segala situasi dan beban yang diberi-Nya, tidak akan ada yang bunuh diri. Kita punya tempat bersandar paling kokoh yang nggak akan berpaling dari kita, punya tempat bergantung, tempat meminta tanpa batas: Allahush-shomad, untuk apa khawatir?

"Kita diberi beban bukan untuk dipikul sendirian, serahkan saja pada-Nya. Luruhkan beban-beban itu saat bersujud, luapkan segala perasaan lewat tangis, Allah nggak akan biarin kita bergelut sendirian dengan beban-beban itu."

Lama Gati merenung, hingga satu kalimat terlontar, "Berarti, bisa dibilang, mereka yang bunuh diri itu jauh sama Allah? Sama aja kita menjustifikasi mereka, kan?"

"Bukan!" balas Janggan cepat, "aku nggak bilang mereka yang bunuh diri itu jauh dari Penciptanya. Mereka hanya nggak mampu menerima kenyataan atas hidup mereka, mereka nggak mau menerima situasi susah yang dihadapi. Ditambah mungkin nggak punya support system yang baik. Mereka bingung di mana harus meletakkan beban."

Gati mengubah posisi duduknya menjadi bersila di atas kursi, menumpu siku di atas meja. Matanya berpendar lemah dalam kegelapan itu. "Jadi, kita memang harus menerima semua takdir yang datang, nggak peduli itu baik atau buruk, kita nggak boleh protes. Begitu, kan?"

Janggan terdengar bergumam. Gati hampir mengira bahwa lelaki  itu sudah setengah tidur andai tak melanjutkan.

"Konsepnya, kalau kita mengimani qodho' dan qadar, sudah pasti kita akan menerima semuanya. Kalau kita menerima, nggak mungkin kita protes.

"Lagipula perkara baik-buruk itu sejatinya nggak ada, Gati. Itu hanya value yang muncul dari penilaian manusia. Tuhan nggak bisa dijangkau dengan nilai baik dan buruk, dua value itu hanya berlaku untuk makhluk. Jadi, kalau kita sudah berada di tingkat tinggi sebuah penerimaan, baik buruk itu menjadi bias, karena Allah mengatur dan menakar semuanya berdasarkan ketetapan hukum alam dan kehendak-Nya."

Tangan Gati yang bebas dari ponsel mengurut pelipis, sedikit pening. "Tapi Ja, baik-buruk, gelap-terang, panas-dingin, dan semua hal yang kontradiktif itu nyatanya ada di hidup kita. Kita hidup berdampingan dengan hal-hal kontradiktif itu. Kita pun dinilai Tuhan berdasarkan tindakan baik dan buruk. Kita dihisab nanti berdasarkan amal baik dan buruk. Jadi mana mungkin--"

"That's why aku bilang, Gati, baik-buruk itu dimensinya  manusia, dimensi makhluk, hanya berlaku pada makhluk. Baik dan buruk nggak bisa menjangkau Tuhan sejati. Kita nggak bisa menilai, oh ketetapan Tuhan yang ini baik, takdir Tuhan yang ini buruk. Nggak bisa! Manusia mengenal baik dan buruk untuk belajar, agar bisa memahami suka dan duka, mengerti mana yang boleh dilakukan dan mana yang nggak.

Re-DefineWhere stories live. Discover now