11. Polarisasi

49 13 1
                                    

Sudah ada jaket yang tersampir di pundak Gati, sebuah jaket bomber berwarna cokelat muda milik lelaki yang kini duduk di sampingnya. Sementara jaketnya berpindah, hanya kaos hitam polos dan celana jeans robek di bagian lutut yang kini melekat di tubuh lelaki tersebut.

"Sorry buat yang semalem, gue emang kelewatan." Lelaki itu angkat bicara setelah sebelumnya membungkam bibir rapat.

"Semudah itu?" Gati menoleh, sedikit memiringkan kepala dengan satu alis terangkat tinggi. 

Lelaki itu balas memiringkan kepala, mengunci tatapan pada manik mata Gati lekat, menyelaminya. "Terus lo berharap gimana?"

Bersamaan dengan dikedikkannya bahu, Gati kembali mengatur tubuh ke posisi semula, mengamati gemercik air dari air mancur di depannya. "Aku pikir kamu akan memberikan ... at least sedikit pembelaan."

Decakan lolos sebagai tanggapan, lebih terdengar seperti mengejek. "Buat apa gue bela diri kalau emang salah?"

Gati terkekeh kecil. Kembali ia menoleh, melihat fitur samping wajah beralis tebal tersebut. Jika diperhatikan, Gati baru sadar bila lelaki itu memiliki bekas luka di atas alis kirinya. "Tadi adik kamu?"

Gelengan lemah diterima. "Dia pasien di sini, kanker darah, udah telat dapat penanganan karena biaya."

"Kok kamu bisa kenal? Kayaknya deket banget."

Dengusan lolos dari bibir lelaki itu, dibarengi kekehan ringan. "Gimana mungkin gue nggak kenal sedang gue yang bawa dia ke sini?"

Gati berjengit, sedikit membulatkan mata sebelum mengerjapkannya beberapa kali. "Maksudnya, kamu yang bantuin biaya pengobatan dia?"

"Nggak juga, pengobatan cancer mahal, duit dari mana gue?" Kembali kekehan lolos dari bibir lelaki itu. "Gue kenalin Aza dan ibunya sama salah satu yayasan kanker yang bisa bantu mereka. Semacam itu."

Kerjapan mata Gati semakin intensif, sangsi menyusup. Tak ada uang katanya? Gati ingat lelaki itu punya motor dengan harga yang lumayan.

"Kenapa?" Lelaki itu menatap Gati geli. Gadis itu seolah tak percaya padanya. 

"Motor kamu mahal, nggak mungkin kamu orang nggak berduit," beo Gati tanpa rasa bersalah.

Tawa lelaki itu pecah hingga tubuhnya membungkuk, sedang tangannya memegang perut. Ini sungguh menggelikan. "Emang lo pikir dengan punya sesuatu menandakan orang itu berduit?"

"Seenggaknya itu image yang bisa dibangun dengan kepemilikan suatu barang." Gati mengedikkan bahu tak acuh.

"Terlalu simpultif. Lagian, itu motor hasil nyicil empat tahun kali."

"Oh ... oke."

"BTW, kita belum kenalan secara resmi, loh." Ganti lelaki itu mengulurkan tangan, memberi kode pada Gati untuk menyambutnya dengan dagu.

Disambutnya tanpa ragu tangan tersebut, kekesalan semalam benar-benar sudah menguap. "Gati Rukma."

Lelaki itu mengangguk beberapa kali. "Panggil aja Langgeng."

Usai melepas jabat tangan, Gati bertanya hati-hati, "Oh iya, anak itu ... maksudku Aza, Dokter beneran bilang kalau umur dia nggak bakal lama?"

Langgeng mengembuskan napas panjang. "Secara nggak sengaja ... iya. Aza nggak sengaja denger waktu Dokter bahas penyakit dia sama ibunya."

"Anak sekecil itu ...," lirih Gati, kepalanya tertunduk dalam dengan dada yang terasa diremas kuat.

"Tapi dia nggak pernah takut mati, Gat." Pandangan Langgeng menerawang ke gumpalan awan di atas sana, senyum lebar terbit di bibirnya. "Dia cuma khawatir, kalau nanti dia dipanggil, nggak ada lagi yang nemenin ibunya."

Re-DefineWhere stories live. Discover now