12. Seseorang untuk Berkompromi

58 13 8
                                    

"Jaket siapa?"

Akhirnya, tanya yang dipendam Janggan begitu Gati kembali terwakilkan oleh Gale. Lelaki itu segan, terlebih tahu suasana hati Gati tak terlalu baik tadi. 

Tak menjawab, Gati justru balik mencecar, "Mas kenapa nggak pernah berubah, sih? Selalu berusaha nyakitin diri sendiri kalau ngerasa bersalah, yang bahkan bukan salah Mas. Apa dengan kayak gitu, Mas pikir semuanya bisa membaik? Mas pikir Ibuk bakal berubah pikiran?"

Gale bungkam, meneliti wajah sang adik yang berdiri kaku di depan brankarnya. Ada emosi dan kekhawatiran yang dapat ia tangkap dari sorot mata Gati.

"Mas, aku bukan anak kecil yang apa pun masalahnya harus Mas yang tanggung jawab. Aku bisa nanggung itu semua, jadi please ... tolong jangan selalu coba ambil alih rasa sakit yang harusnya milik aku." Tak ada tanggapan, membuat Gati melanjutkan, "Dengan aku ngerasain sakit, bukan berarti Mas juga harus ngerasain hal yang sama. Stop, ini terakhir kalinya Mas lakuin hal stupid karena aku."

"Maaf." Hanya itu yang mampu diucapkan Gale seraya tertunduk dalam. Bukan atas tindakannya, tetapi penyesalan sebab tak mampu melindungi sang adik. Ia merasa gagal menjadi kakak.

Diembuskannya napas panjang seraya memejamkan mata, mencoba mendinginkan isi kepala yang sempat kembali mendidih saat mendapati tampang Gale. "Gara-gara Mas, aku jadi keluar rumah kayak gembel begini, untung masih pake sendal jepit. Asem tenan!"

Mendengar umpatan kecil Gati, senyum Gale jua Janggan terbit. Itu tandanya, gadis itu sudah kembali seperti semula. 

"Untung dapet jaket." Janggan berusaha menyinggung, kali saja Gati mau menjelaskan asal-muasal jaket kebesaran itu. 

"Tenang aja, sih. Aku nggak nyolong," balas Gati tajam, "dipinjemin temen."

"Temen kamu di sini? Kenapa nggak diajak masuk dulu?" tanya Gale. 

"Udah pulang, lagian nggak sengaja ketemu tadi. Dia ada urusan di sini."

Rasa penasaran Janggan belum usai, terbukti dengan bertemunya pangkal alis lelaki itu. "Temen yang mana?"

Gati memutar bola mata malas. "Kamu nggak kenal, percuma aku kasih tahu."

Kali ini bukan hanya Janggan yang menatap gadis itu sangsi, melainkan Gale juga. Kepalanya mulai menyusun banyak asumsi, bagaimana tidak? Sepengetahuannya, semua teman sang adik diketahui Janggan, jikapun tidak, perempuan itu akan dengan gamblang mengatakan siapa. Cukup aneh.

Tak ingin suasana menjadi lebih kaku, Gale kembali angkat bicara, "Semalem saka ngendi, Gat? Kamu pulang larut malam, tho?"

"Iya?" sambar Janggan, "sendirian?"

Gati menyeret langkah ke sofa dekat jendela, menghempaskan tubuh di sana sebelum sekali lagi menghela napas panjang. "Ke tempat Ben, ngopi."

Mata Gale melotot lebar, bukannya ingin mengungkit, tetapi ingat pakaian seperti apa yang Gati kenakan semalam membuatnya meradang. Namun, coba ditahannya nada suara agar tak meninggi saat berujar, "Lain kali jangan ke sana sendiri, apalagi baju kamu semalam ... at least ajak Janggan, Gati. Di sana banyak cowok pada nongkrong."

Gati mengedikkan bahu. "Ya terus kenapa kalau banyak cowok pada nongkrong? Santai aja sih, Mas. Kalau aku ajak Janggan, yang ada bukan nenangin diri, tapi nambah emosi karena diomelin. Lagian, temen aku yang tadi juga di sana, kok. Aman. Ada Ben juga, kan."

Merebahkan tubuh lebih nyaman, Gati menutup mata dengan lengan kanannya, menghalangi sorot mentari yang masuk lewat jendela. 

Janggan jadi makin penasaran dengan teman yang dimaksud Gati, terlebih gadis itu terkesan menutupinya.  Namun ... sudahlah, selama orang itu orang baik-baik, tidak akan ada masalah, bukan?

Re-DefineWhere stories live. Discover now