10. Mau Berdamai?

40 13 10
                                    

Selama bulan Ramadan jadwal update kuganti di jam 5 sore, tetap di hari Jum'at.

-o0o-

Pagi hari saat membuka mata, Gati tak mendapati suara apa pun seperti hari-hari sebelumnya. Terkesan hening. Suara sang ibu yang biasa sibuk menggedor gendang telinga membangunkannya pun tak ada pagi ini.

Bangkit dari posisi rebah, Gati mengamati sekeliling kamar. Laptop di atas meja masih terbuka meski layarnya tak menyala, buku-buku masih berserakan sisa memaksa diri belajar, kursi pun masih berada pada posisi asal, setelah ia duduki semalam tanpa dikembalikan.

Jendela kayu dengan bingkai ukiran khas Majapahit masih tertutup rapat di sisi kiri ranjang, bak memandangi Gati yang mengerjap berulang kali. Di atas nakas, masih memproyeksikan gambaran semesta lampu tidur kaca berbentuk bulat yang dibeli saat kelulusan SMA.

Gati menunduk, membiarkan surai panjang menutup wajah sepenuhnya. Helaan napas panjang lantas lolos, sekembalinya sadar yang mencelos bahwa semalam ia telah menerobos batas yang selama ini diagungkan sang ibu. Lalu, apa lagi setelah ini? Berhenti? Tentu tidak. Lihat saja langkah nekat Gati selanjutnya.

Kekehan memenuhi penjuru ruang. "I'll be what I wanna be."

Usai membersihkan diri, sewaktu keluar kamar, lagi-lagi Gati tak menemukan tanda-tanda kehidupan di rumahnya. Hanya siluet asisten rumah tangga yang tampak mondar-mandir di dapur dan ruang makan.

"Mbok, Mas Gale sama yang lain pundi tho? Kok rumah sepi banget." Gati memutuskan angkat bicara daripada tak tenang seharian sebab penasaran. Meski tengah perang dingin, Gati bukan yang sepenuhnya tak acuh perihal keluarga.

"Sebelum subuh tadi Ibuk sama Bapak buru-buru ke Solo, Mbak. Katanya ada teman yang kecelakaan, kebetulan asli orang Medan dan di Solo ndak ada kerabat. Kalau Mas Gale ... sejak semalam Mbok ndak lihat Mas Gale."

Gati mengerutkan kening dalam, kakaknya belum keluar kamar?

"Nggih sampun, Mbok, kalau begitu. Aku mau coba ke kamar Mas dulu."

Wanita berisi itu hanya mengangguk menanggapi putri sang majikan.

Sampai di depan pintu kamar Gale, Gati langsung mengangkat tangan, bersiap mengetuk. Namun, tangannya berakhir menggantung di udara saat ragu menyergap. Ucapannya semalam kembali terngiang dalam benak.

Menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan, Gati menatap pintu berbahan jati itu lekat sebelum meneruskan niat. "Mas, Mas Gale?"

Tak ada jawaban. Gadis itu tak menyerah. "Mas, udah bangun, kan?"

Kembali tak ada balasan.

Memutuskan berbalik badan, hendak beranjak karena Gati pikir, Gale masih tidur. Paling memungkinkan lelaki itu tak ingin menemuinya untuk beberapa waktu. Namun, ia tak jadi melangkah saat mendengar racauan dari kamar sang kakak. Entah keuntungan atau kesialan bahwa kamar lelaki itu tak kedap suara.

"Mas nggak apa-apa, kan?" Gati memutar 180 derajat, kembali mengetuk pintu kamar. Nada panik mulai menyusup dalam suaranya. "Mas Gale!"

Racauan lagi-lagi terdengar, membuat dada Gati semakin digedor kuat oleh kekhawatiran. Tidak mungkin lelaki itu sekadar mimpi buruk, apalagi sudah jam setengah enam begini.

Gati lantas berderap cepat ke arah dapur, berteriak, "Mbok, kunci cadangan kamar Mas Gale di mana, ya?"

"Di laci meja ruang tengah, Mbak. Ada apa, tho?" Mau tak mau Mbok Sarmi ikut panik.

Memilih tak menjawab, Gati buru-buru menuju tempat yang ditunjuk Mbok Sarmi. Diubeknya isi laci meja, mencari keberadaan benda kecil tersebut. Begitu berada dalam genggaman, ia segera kembali ke kamar Gale, membuka pintu tak tenang.

Re-DefineWhere stories live. Discover now