1. Berdalil Bukan Berilmu

79 20 18
                                    

Bisik-bisik memenuhi aula dengan kapasitas 200 orang itu, tak terkecuali para panitia yang berdiri di bagian belakang. Beberapa orang lagi sibuk mengamati pemuda yang berdiri tegap tanpa gentar di tengah-tengah bangku audiens. Sedang sisanya, melemparkan sorot takjub tanpa kedip.

Lima detik lalu, statement penuh istilah sulit usai dilontarkan pemuda yang duduk di semester 6 Ilmu Politik tersebut sebagai tanggapan. Seminar semacam ini tentu menjadi ajang unjuk gigi para aktivis kampus sepertinya, mungkin. Kesempatan berbicara langsung di depan narasumber kondang tentu tak mungkin disia-siakan, apalagi salah satunya adalah rektor sendiri. Syukur-syukur, mahasiswa sepertinya bisa dilirik untuk ikut project kampus, bagus lagi kalau dilirik beasiswa jenjang selanjutnya.

"Kenal dia?" bisik pemuda berkemeja flanel di barisan kedua dari depan. Sedikit-sedikit ia menoleh pada si pemberi tanggapan yang berdiri beberapa baris di belakangnya.

"Shaka, Sekjen HMJ," jawab perempuan berjilbab pashmina di samping pemuda itu. "Dia emang lumayan vokal di banyak forum. Lebih mencolok dia malah ketimbang ketua HMJ. But ...."

"But ... kenapa?"

"He's too ideal, Gal. Idealisme mahasiswa, you know ... sering nggak realistis. Belum masuk dunia kerja aja dia."

Kali ini, Gale mengangguk setuju. Memang, dari rentetan panjang yang dilontarkan pemuda bernama Shaka itu, ia tak menemukan realitas sama sekali, terkesan hanya beretorika. Terbantu hafalannya terkait istilah-istilah ilmiah yang hanya dipahami kalangan akademika.

Namun, Gale terkekeh juga, menatap perempuan di sampingnya geli. "Tapi, kita juga mahasiswa btw, Dree."

"Seenggaknya aku realistis, nggak banyak omong kayak dia. Pinter ngomong doang, aksinya nggak ada." Dree kembali fokus ke depan saat moderator kembali memimpin berjalannya seminar sore ini.

Di akhir acara, keduanya tak langsung keluar dari aula, melainkan membiarkan yang lain keluar lebih dulu agar tak berdesakan.

"What do you think it was?" Dree mulai merapikan tas, memasukkan buku catatan yang sejak tadi ia gunakan untuk menulis poin-poin penting yang disampaikan narasumber.

"Not bad, pertama kali ikut seminar kayak gini nggak terlalu buruk lah, ya." Gale masih duduk santai, bahkan ranselnya masih tergeletak di bawah, sebelah kaki. "Tapi tetap lebih gampang belajar dari buku menurutku. Listening to others' opinion sounds like ... lil bit boring for me. Subjektif, apalagi kalau nemu kayak Shaka tadi, cara dia menyampaikan sesuatu nggak efektif, susah dipahami. Terkesan cuma pengen kelihatan kayak kaum intelek." (Mendengar opini orang lain terdengar sedikit membosankan bagiku)

Kali ini kekehan lolos dari bibir Dree. Menyampirkan ujung jilbab yang jatuh menjuntai ke depan, perempuan itu mencondongkan posisi duduk. "Justru itu, orang-orang kayak Shaka tadi kebanyakan lahir dari orang suka baca kayak kamu. Mereka kedoktrin sama bahasa-bahasa ilmiah dalam buku yang nggak semua orang awam paham. Mereka terpaku sama fenomena yang disajikan penulis, yang ada di sekitar penulis. In the end, mereka skeptis cenderung apatis sama fenomena yang terjadi di sekelilingnya sendiri. Masalah subjektivitas, bukannya kalau kamu baca buku sama aja dengan kamu lagi menyelami opini penulisnya, ya?"

Sekakmat! Gale kalah lagi kali ini. Ia akui, menang argumen melawan Dree sama saja dengan menasihati adiknya yang keras kepala, mustahil.

Gale menghela napas panjang. "Baiklah, Tuan Puteri. Lain kali hamba akan lebih sering ikut seminar biar nggak kebanyakan baca buku dan berakhir seperti Shaka sebagaimana yang Tuan Puteri bilang."

"Halah lebay!" Totebag Dree terayun ringan ke arah lengan atas Gale, menabraknya pelan.

Bukannya kesakitan, pemuda 21 tahun itu justru terbahak seraya menyambar tasnya, ikut bangkit dan mengikuti Dree yang sudah melangkah keluar.

Re-DefineOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz