1

7 0 0
                                    


Sabrina turun dari taksi. Netranya menatap tajam gerbang tinggi menjulang yang menyelimuti bangunan kokoh di dalamnya. Ada sekitar selusin penjaga berpakaian serba hitam yang mengelilingi gerbang istana itu. Hanya dengan melempar tatapan, salah satu dari mereka langsung bergegas membuka gerbang dan Sabrina merangsek masuk dengan tidak sabar. Langkahnya terayun dengan tergesa, wajahnya merah penuh amarah. Sabrina sempat melirik mobil hitam yang terparkir angkuh di pelataran, berarti yang dia cari ada di dalam.

Sabrina membuka pintu utama hunian megah ini dengan kasar.

"Bi Arum!"

"Ya Non," yang di panggil muncul dengan raut panik, seolah paham hanya dari nada suara kalau cucu dari majikannya itu datang dalam kondisi tidak baik-baik saja. "Kenapa, Non?"

"Opa dimana?"

"Tuan ada di ruang kerjanya Non," Tatapan Bi Arum jatuh pada rok seragam cucu majikannya yang kotor. "Astaga Non, itu kenapa roknya kotor gitu? Non habis jatuh?"

Sabrina ikut menatap roknya. "Iya tadi kesenggol orang waktu di studio,"

"Ayo Bibi bantu buat bersihin Non,"

Sabrina menggeleng. "Aku harus ketemu opa sekarang Bi,"

"Tapi Non—"

Sabrina melengos begitu saja. Dia tidak bisa menunggu sedikit lebih lama untuk membersihkan diri dan mengganti rok seragamnya yang kotor.

Brak!!!

Pintu itu dibuka kasar disusul teriak berang si perempuan.

"Maksud Opa apa?!"

Yang di tuntut penjelasan ada didepan sana, bersama sang sekertaris pribadi dan seorang ajudannya. Tiga pasang mata itu menatapnya dalam waktu hampir bersamaan. Dilihat dari meja kerja opanya yang terdapat beberapa tumpukan map, sepertinya mereka tengah membahas soal pekejaan. 

Faisal menghela,menyerahkan dokumen laporan perusahaan pada sang sekretaris dan memerintahkan mereka untuk keluar. Setelah pintu ruang kerjanya tertutup, ia kembali membalas tatapan berapi-api milik cucunya.

"Mamamu tidak mengajarkan etika berbicara pada orang yang lebih tua, Bri?"

Persetan dengan sopan santun dia hanya sedang marah. Marah pada pria itu. Marah pada opanya.

Sabrina merengut. "Nggak usah bawa-bawa Mamaku," desisnya serupa peringatan. "Opa tau sendiri, aku nggak akan bertindak begini kalo bukan karena ada sesuatu yang mengusik aku."

Faisal tersenyum miring seraya menurunkan kacamata bacanya. Dari delapan cucunya yang lain hanya Sabrina yang tidak sekalipun pernah gentar untuk menentangnya.

"Ikut campur apa? Opa nggak ngerti maksud kamu,"

Sabrina berdecih. "Kenapa tiba-tiba sekolah cabut kebijakan ngasih beasiswa kuliah diluar negeri buat siswa yang berprestasi?" langkahnya terayun memangkas jarak. "Dan kenapa dari kelima siswa peraih tingkat paralel itu, cuman aku yang haknya dicabut?"

Sebenarnya tanpa beasiswapun Papa dan Mama sangat mampu untuk menguliahkannya di luar negeri. Tapi bukan itu yang Sabrina mau. Dia hanya ingin meraih mimpinya lewat perjuangan. Dan beasiswa itu adalah salah satu bentuk pembuktian pada seseorang di balik meja persegi panjang itu yang selalu menganggap remeh kemampuannya.

Sabrina ingin Opanya tau kalau dia mampu. Kalau dia bisa. Dan kalau dia juga berkompeten meski sebagai seorang perempuan.

Ya, dalam keluarga dalam citra luar biasa ini, terlahir sebagai perempuan dianggap sebagai kesalahan. 

"Sabrina dengar," Faisal mengetuk meja dengan telunjuk. "Berapa kali Opa bilang kalo kamu kuliah di Indonesia aja. Banyak kampus bagus disini yang pasti dengan senang hati mau menerima kamu," ia beranjak mendekati cucunya. "Atau kalo emang butuh, Opa bisa bantu kamu masuk kampus terbaik manapun yang kamu mau tanpa melakukan test apapun."

Sabrina menelan harga dirinya.

"Lagian buat apa perempuan kuliah jauh-jauh? Kamu nantinya akan menjadi seorang istri, dan tugas utama seorang istri adalah mengabdi kepada suami dan mengurus anak."

Patriarki.

Opanya adalah seorang patriarki sejati.

"Jadi buat apa kamu harus kuliah sejauh itu? Cuma buang-buang waktu, karena nanti juga kamu hanya akan berakhir di dapur, dan itu artinya ilmu yang kamu dapat juga nggak bakal tersalurkan kemana-mana."

Sabrina menarik napas tajam.

Mungkin Opa adalah pebisnis sukses yang namanya masuk dalam jajaran lima konglomerat di Indonesia versi wikipedia. Tapi dibalik otak jenius dan karir cemerlangnya sebagai pengusaha, dari segunung pencapaian yang diraih, serta citra tanpa cela didepan publik, ada mindset dangkal yang pria itu miliki dalam menilai seorang perempuan.

Perempuan tidak boleh memimpin laki-laki. Perempuan tidak boleh lebih sukses dari laki-laki. Perempuan tidak usah bekerja. Perempuan hanya boleh mengurus rumah.

Gadis itu tertawa sinis sambil membawa kakinya maju sebanyak dua langkah. 

"Ternyaya Opa masih aja takut yaa, kalo nanti aku yang bakal nerusin papaku buat jadi pemimpin di perusahaan,

Mata cantiknya terang-terangan menyorot remeh.

"Opa tau aku mampu ada disana, tapi Opa nggak mau itu terjadi. Aku juga tau loh kalo Opa sefrutasi itu sampai harus menekan empat sepupu laki-laki aku yang sering opa katain berandal. Udah nggak punya cara lagi ya karena Abangku, satu-satunya harapan besar Opa malah lebih milih ngabdi buat orang lain?"

Ia belum ingin berhenti.

"Menurut Opa yang harus jadi pemimpin cuman laki-laki, yang boleh meneruskan perusahaan cuman cucu laki-laki Opa, sementara cucu perempuan cuman boleh duduk manis dirumah nggak perlu menempuh pendidikan tinggi-tinggi,"

Giginya bergemelatuk tanpa sadar.

"Tapi Opa lupa siapa Mamaku dan apa profesinya,"

Sabrina menyeringai puas waktu melihat kedua telapak tangan tua itu mengepal.

"Mamaku itu, menantu dikeluarga ini yang selalu dapat perlakuan nggak mengenakan dari Opa," Ia kembali membeberkan fakta. "Nggak menghabiskan waktu seumur hidupnya cuman buat mengurus suami dan anak-anaknya, Mamaku membagi adil waktu miliknya untuk kami dan pekerjaanya, dan Papaku anak kebanggaan Opa itu selalu mendukung penuh semua mimpi-mimpi yang sekarang berhasil diraih istrinya."

Sabrina memiringkan kepala.

"Opa mau tau? Aku bersyukur Papaku nggak terlahir dengan karakter yang sama kayak Opa."

Faisal berseru keras. Jari telunjuknya dipancung tepat dihadapan wajah sang cucu. "SABRINA!!!!"

"APAAA??? OPA MAU APA?"

Mama pasti akan menghukumnya kalau dia tau putri kesayangannya berani membentak Opa. Tapi Sabrina sedang tidak peduli.

Sungguh, dia hanya sedang marah. Marah karena meledak, marah karena Opa membuatnya meledak, marah karena lagi-lagi Opa masih saja berusaha menghalangi mimpinya.

Faisal memejamkan mata dengan napas tidak beraturan. Dengan gemetaran telunjuknya beralih menunjuk pintu. "Keluar," desisnya.

Sabrina masih menatap Opa yang tidak mau menatapnya. Ia sudah membayangkan paling tidak akan mendapat satu tamparan dari telapak tangan tua itu.

"Opa,"

Yang dipanggil seketika menghunus tatapan tajam. Seolah ingin memutilasi setiap bagian tubuhnya inci per inci.

Tapi Sabrina tidak gentar. Tidak akan pernah gentar.

"Seperti Opa yang selalu menghalangi mimpi aku, seperti itu juga aku akan menggagalkan keinginan Opa yang ingin perusahaan dipimpin oleh cucu laki-laki di keluarga ini."

Ini bukan gertakan. Ini adalah pembuktian. Pembuktian untuk semua perilaku tidak adil Opa padanya hanya karena dia terlahir sebagai seorang perempuan.

"Aku akan jadi pemimpin perusahaan Opa. Aku janji, aku pasti akan ada disana."


Bersambung...




dasar opa, perusahaan doang di kembangin tapi pola pikirnya sendiri malah stuck.

LOVE SPACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang