Ano Hi Arawerata Kanojo no Koto

0 0 0
                                    

Aku tahu kalau apapun yang ada di dunia ini tak semua berjalan sesuai dengan keinginanku. Dunia tidak semanis itu. Dunia memang sekejam itu. Tapi tak berarti semuanya membuatku tersakiti. Sebagian besarnya membuatku bahagia menjalani hidup ini.

Termasuk, tentang keberadaan orang itu.

Satu napas yang lolos dan terasa berat tak terhindarkan ketika memikirkannya. Membuat mataku yang semula melihat gedung bertuliskan nama sebuah perguruan tinggi melirik jauh.

Harusnya ia ada di sini bersamaku.

Aku hanya tak pernah menyangka kalau apa yang disebut dengan seleksi alam oleh orang-orang itu datang pada teman-temanku. Orang-orang yang tulus itu justru harus menghilang dari tempat ini dan berhenti berjalan lantas mengarah pada jalan lain yang tak pernah mereka dan aku bayangkan sebelumnya.

Bayangan keseharian yang seolah berjalan sebagaimana mestinya dulu kembali melintas seiring langkahku yang terus menjelajahi tempat ini. Sungguh menyakitkan kalau boleh jujur. Namun, aku sendiri dalam kondisi tidak boleh bersedih karena suatu hal.

Semacam ... bahkan langkah yang sedang kutapaki sekalipun bisa saja mengarah seperti mereka.

Aku nggak akan bertanya apapun padamu soal hal yang belum bisa kausampaikan saat ini. Tentang hal-hal yang mengambang dan dikatakan oleh orang-orang. Bahkan setelah ini, kauboleh pergi dan mengabaikanku. Kauboleh hidup dengan caramu. Urusanmu denganku saat ini hanya soal skripsi dan kelulusan. Jadi, tolong balas ya? Apa yang mau kamu lakukan dan harapkan sekarang?

Pesan yang kukirim hari ini tak mendapatkan balasan. Aku tak bisa berbuat lebih selain menanyakan apa yang ia harapkan dan baiknya ia lakukan. Aku tak akan memaksa. Aku tak bisa memaksa. Orang itu yang tahu kondisinya saat ini. Jadi, aku tak berhak menuntut ia mencapai kelulusannya. Namun, setidaknya, aku ingin bertanya hal itu.

Sebab, di ambang batas kritis sebagai mahasiswa semester 'akhir'. Aku pun tak bisa membantu banyak. Aku bahkan tidak bisa membantunya. Tapi tidak bohong kalau aku ingin orang itu juga lulus bersamaku.

Orang yang mendadak hadir di pagi semester dua setelah aku mendadak kehilangan teman sekelasku. Orang yang bahkan tak kusadari keberadaannya di semester satu lantas menjadi bagian besar kehidupanku. Orang yang paling bisa kuandalkan ketika keegoisanku berkata kalau aku harus mengambil alih semua tugas kelompok karena tak sedikit yang mengerjakan namun berakhir tak sesuai itu. Orang yang setahun lalu masih berbicara tentang harapan dan masa depannya padaku. Kini, aku akan kehilangannya juga. Bahkan, aku telah kehilangannya.

Tapi setidaknya, aku ingin mendengarkan keinginannya untuk terakhir kali. Sebelum jalan yang menarik kami semakin jauh. Lantas tak terhubung lagi. Setidaknya, aku tak akan menyesalinya−meski jelas itu tak mungkin.

Tuhan, kalau seandainya pagi itu ia tak menyapaku. Apa ia tak akan berakhir seperti ini? Apa ia akan tetap lulus dengan lancar bersama teman-temannya yang lama? Dosa apa yang membuatku menyeretnya sampai di sini? Kenapa aku tidak bisa menolongnya?

Jelas, jawaban itu tak bisa kudapatkan sekarang. Sungguh, itu bukan pertanyaan yang pantas di saat seharusnya aku bisa lebih berusaha dari pada meratapi hal-hal yang hilang sepanjang jalan. Tapi, kenapa sesakit ini?

***

Bogor, 20 Februari 2024

Kimiiro Palette - NPC 29 Daily Writing Challenge 2024Where stories live. Discover now