Epilog

20.7K 437 7
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
.
.
.
.
.

Tapak kaki terlihat semakin terdengar di rungu kedua anak Adam yang sedang memadu kasih. dan tak lama pula, ketukan yang terdengar sopan mengalihkan pandangan mereka menuju kearah sumber suara.

" Kakak, ini aku. bisa buka pintunya? " seru seorang lelaki diluar sana.

" Sebentar ya mas, " ujar Ning Ziya yang menyingkirkan tangan suaminya dari semula pria itu bermanja-manja dengan dirinya. namun hal tersebut mendapat penolakan dari sang empu.

" Masuk saja Al. pintunya tidak dikunci, " balas Gus Varo sedikit berteriak tanpa menghiraukan Ning Ziya yang sudah memberontak meminta dilepaskan.

" Mas, lepas dulu. malu kalau Albirru lihat, " kesal Ning Ziya sembari memperhatikan pintu kamarnya yang mulai perlahan dibuka dari luar.

" Mas biasa saja. kenapa harus malu? mas peluk istri sendiri. bukan peluk-peluk perempuan lain, " sanggah Gus Varo terus mengabaikan.

" Kak, " panggil Albirru termangu didepan pintu dan berdiri dengan kikuk melihat pasangan didepannya yang sedang menebar keromantisan.

" Kamu membawa apa Al? " tanya Gus Varo penasaran akan sesuatu yang berada ditangan Albirru.

" Rujak buah. kak Ziya yang minta, " jawab Albirru yang langsung memberikan makanan tersebut kepada Ning Ziya sebelum terburu untuk pergi meninggalkan ruangan mereka tanpa mau mendengarkan omelan dari suami kakaknya.

" Albirru pergi dulu. jangan lupa dimakan ya kakak ku sayang! " lanjut lelaki itu langsung berlari keluar dan tidak lupa menutup pintu ruangan mereka.

Sementara Gus Varo yang mendengar ucapan Albirru sontak menatap mata teduh istrinya dan menghentikan kegiatan bermanja-manja dengan Ning Ziya.

" Jam berapa ini? kamu makan rujak buah malam hari seperti ini? pakai cabai berapa? pasti pedas bukan? yang benar saja sayang. sini berikan pada mas. kamu tidak boleh makan ini malam-malam, " omel pria itu tanpa henti sembari mengambil alih rujak buah ditangan istrinya.

" Mas. aku mau makan rujaknya. kamu tega sama aku? apa kamu sudah tidak sayang sama anak kita? " cerca Ning Ziya yang sudah memperlihatkan kristal di mata indahnya.

" Mas hanya mengikuti instruksi dari dokter sayang. jangan menangis! " ujar Gus Varo penuh kelembutan dan tangannya tergerak untuk menghapus buliran bening yang mengalir di pipi lembut istrinya.

" Hanya sekali, " lirih Ning Ziya hampir tak terdengar.

Karena tidak tega melihat kesedihan Ning Ziya, Gus Varo akhirnya mengalah untuk memberikan rujak buah yang menjadi menu mengidam wanita itu kali ini.

" Janji cuma sekali? " tanya Gus Varo dan dibalas anggukan kecil oleh Ning Ziya.

" Sini mas suapi rujaknya "

" Boleh? mas marah sama aku? " tanya Ning Ziya ragu-ragu untuk menerima suapan yang disodorkan suaminya.

" Boleh. tapi sedikit saja ya. sisanya nanti akan mas habiskan, " ucap pria itu menenangkan istri tercintanya.

Karena rasa mengidam yang sudah tidak bisa wanita itu tahan sejak tadi, Ning Ziya menerima suapan demi suapan dari tangan Gus Varo. dan disela-sela makannya, Ning Ziya menyeletuk kan suatu hal.

" Kenapa mas sabar? terkadang, suami diluar sana langsung memarahi istrinya, " celetuk Ning Ziya menatap wajah tampan Gus Varo berharap adanya jawaban yang keluar dari bibir suaminya.

" Lelaki harus tahu bahwa mendidik perempuan itu dengan tutur kata yang rendah lagi lembut, niscaya mereka akan mudah memahami. bukan dengan kata yang keras lagi kasar, mereka akan menangis. itu sebabnya mas selalu berusaha berbicara dengan nada yang teramat lembut sama kamu. mas juga tidak mau menyakiti hati kamu atas perkataan yang terlontar dari diri mas sendiri, " jelas Gus Varo.

Guliran Tasbih Aldevaro [Segera Terbit]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant