Bab 7 || Khawatir

219 80 9
                                    

"Jangan! Jangan apa-apakan saya! Saya masih umur 16 tahun, saya masih ilegal. Saya masih mau hidup. Jangan mendekat! Jangan! Aaaaaaaa!!!" teriakku mengigau dalam mimpi.

Aku terkesiap setelah teriakan tersebut dan langsung membuka mataku. Nafasku terengah-engah tak beraturan, keringat dingin membanjiri keningku, dan badanku masih bergetar tak karuan.

Beberapa menit pandanganku masih kosong. Namun, setelahnya aku tersadar, aku sedang berada di kursi penumpang sebuah mobil. Seketika aku mengedarkan pandanganku, dan menemukan seseorang yang tengah menunduk memegang setir di balik kursi pengemudi. Sepertinya dia tertidur.

"Jangan-jangan dia orang yang mau nyulik gue tadi?! Astaga, gue kan udah keculik ini namanya! Gue harus cepet-cepet keluar dari sini." kataku pada diriku sendiri dengan suara sangat pelan.

Saat aku hendak membuka pintu mobil tiba-tiba terdengar sebuah suara.

"Mau kemana lo?" tanya orang tersebut, dari suaranya dapat dipastikan dia seorang laki-laki.

"Ampun pak, mas, bang, om, akang, encang, pak de, aki, engkong, atau siapapun anda! Saya gak berniat untuk kabur kok. Saya cuma mau ngetes pintu mobilnya, masih berfungsi apa nggak. Siapa tau rusak, kalo rusak biar saya coba benerin." kataku takut-takut dengan mata terpejam, dengan posisi masih memegang pintu mobil.

"Hahaha... Kocak lo, gak sekalian aja lo manggil gue sayang." dia tertawa kencang.

Tunggu dulu, sepertinya aku mengenal suara tawa itu. Suara itu sangat familiar di telingaku. Hmm.. suara itu seperti tawa dari-

"Lo?!" seketika aku membuka mata dan menemukan titisan jelangkung itu lagi. Benar firasatku bahwa pemilik suara tawa tersebut adalah Edwin.

"Lucu juga lo kalo lagi takut gitu." katanya dengan sisa-sisa tawa.

"Sialan, gausah ngetawain gue lo! Ngapain gue bisa ada di mobil lo?! Lo mau nyulik gue ya?!" tuduhku dengan menatapnya tajam dari kursi penumpang.

"Dih, siapa juga yang mau nyulik lo? Ge-er banget jadi orang" ucapnya dengan wajah usilnya yang menyebalkan.

"Trus kalo bukan mau nyulik, kenapa gue bisa ada disini?" ucapku padanya.

"Tunggu-tunggu, jangan bilang kalo lo orang yang ngikutin gue pake mobil tadi?!" tanyaku dengan nada tinggi, sambil memasang raut wajah sehoror mungkin.

"Ck, pede banget lo!" ucapnya seraya menoyor keningku.

"Asal lo tau ya, gue itu gak ngikutin lo. Gue cuma gak sengaja liat lo yang lagi jalan kaki malem-malem gini. Niat gue baik mau nyamperin lo, eh baru gue samperin lo malah ketakutan. Baru gue pegang bahu lo, lo malah langsung pingsan. Nyusahin emang lo, mana badan lo berat banget lagi!" ucapnya panjang kali lebar, dengan wajah malas.

"Siapa suruh lo nyamperin gue! Gue gak minta tuh! Trus sekarang kita lagi dimana?" kataku malas.

"Ck, emang gak tau terimakasih." ucapnya pelan, namun masih bisa kudengar.

"Apa lo bilang?!" tanyaku untuk memperjelas sambil memelototkan mataku menatapnya curiga.

"Masih ditempat tadi, dipinggir jalan pas lo pingsan." katanya mengalihkan.

"Ini udah jam berapa?" seketika aku teringat bahwa aku belum mengabari orang tuaku, detik itu juga aku mulai panik.

"Jam setengah 8." jawabnya sambil melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya.

"What?! Udah satu jam gue pingsan?!" kagetku setelah mengetahui hal tersebut.

"Seperti yang lo tau. Lo pingsan udah kayak koma, lama banget. Gue bosen nunggu lo sadar." ucapnya datar.

My True First LoveWhere stories live. Discover now