10. Mau Berdamai?

Start from the beginning
                                    

"Mas Gale kenapa, Mbak?" Mbok Sarmi yang sedari tadi mengekor mengulang tanya.

"Bentar, Mbok. Aku juga belum tahu." Memutar kenop begitu berhasil, Gati membuka lebar pintu kamar sang kakak.

Di sana, di lantai kayu mengkilat kamar, dekat lemari, Gale meringkuk dengan wajah pucat.

"Mas Gale!" pekik Gati dan Mbok Sarmi bersamaan, lantas menyusul pemuda itu.

"Maaf, maaf." Racauan Gale baru terdengar jelas sekarang.

"Mas ngapain sih, tidur di bawah?" Telapak tangan Gati menyentuh dahi sang kakak. Selain pucat, wajah pemuda itu juga banjir keringat dengan suhu menyengat. "Mas demam."

Beberapa kali pun Gati bicara, ditambah kepanikan Mbok Sarmi, Gale tetap tak membuka mata. Bahkan saat Gati mengusap wajahnya, pemuda itu bergeming.

Gati panik. Menoleh kanan-kiri, mencari keberadaan ponsel lelaki itu. Pasalnya, mencari ponselnya sendiri yang masih mati bukan hal efisien. Ia menemukan benda pipih itu di dekat kaki kursi. Gati menggunakan lututnya untuk mencapai ponsel Gale, tak peduli akan menemukan memar setelah ini.

Napas Gati memburu begitu berulang kali salah memasukkan kunci pola ponsel tersebut. "Kunci polanya Mas Gale gimana, sih?"

Sebelah tangannya yang bebas terangkat, menggigiti kuku. Tangannya yang memgang ponsel pun gemetar kuat, ia sungguh takut Gale kenapa-napa.

"Argh!" Kembali merangkak ke arah Gale, ingat untuk menggunakan sidik jari pemuda itu alih-alih berusaha menebak pola yang tidak pernah diketahuinya.

"Mbak Gati," cicit Mbok Sarmi.

Berhasil menemukan kontak yang dicari, dengan pipi basah, Gati mendekatkan benda itu ke telinga. "Ayo angkat!"

"Ya Mas, ada ap--"

"Tolong Mas Gale, Ja!" sambar Gati, "buruan anterin ke rumah sakit!" lanjut Gati setengah berteriak sebab khawatir

 -o0o-

Tak henti Gati mengusap kasar wajah, juga mengacak-acak rambut yang sudah awut-awutan. Peduli apa soal penampilannya yang masih mengenakan baju tidur tipis? Ia sama sekali tak memikirkannya.

Setelah dokter memeriksa kondisi Gale tadi, Gati semakin merasa bersalah. Ini pasti karenanya. Seperti yang selalu dijadikan senjata oleh sang ibu, di antara mereka, Gale yang memiliki ketahanan tubuh paling lemah. Sebab itu pula, tiap merasa bersalah, Gale akan menghukum diri sendiri dengan tidur di lantai dan berakhir jatuh sakit. Selalu seperti itu, anggap saja sebagai salah satu bentuk sifat kekanak-kanakan lelaki itu.

"Kenapa lagi kali ini?" tanya Janggan, matanya lurus menatap Gati. Kini, keduanya berada di luar ruang kamar inap Gale, duduk di kursi selasar.

"Semalem aku berantem sama Ibuk, bener-bener berantem." Sorot mata Gati kosong menatap ujung kakinya yang beralas sandal jepit. "Secara sengaja nggak sengaja, aku ungkapin kecemburuan aku atas perlakuan Ibuk yang berbeda antara ke aku dan Mas Gale. Mungkin gara-gara itu Mas Gale jadi begini." 

Gati memejamkan mata erat setelahnya. Dua menit penuh diam tanpa percakapan, gadis itu tiba-tiba bangkit. "Titip Mas Gale bentar ya, Ja. Aku laper, asli."

Janggan menjatuhkan rahang mendengar penuturan kelewat jujur Gati. Bagaimana tidak, di saat seperti ini, perempuan itu masih ingat makan. Baiklah, ia akui Gati terbiasa disiplin makan, berkat sang ibu tentunya. Jadi, dalam situasi apa pun, tentu saja ia akan makan tanpa terganggu isi pikiran, kecuali jika situasinya seperti semalam.

Re-DefineWhere stories live. Discover now