THP-02

19 5 1
                                    

Tiga minggu kemudian,

Setelah menjalani masa pemulihan, akhirnya Ilzam kini bisa kembali ke rumah. Meski begitu, ia masih harus rutin kontrol agar bisa pulih sepenuhnya, juga agar bisa mengetahui perkembangan ingatannya. Awalnya, Fawwaz menolak Ilzam keluar terlalu cepat karena suatu alasan. Namun, Ilzam yang keras kepala bersikukuh membujuk Fawwaz agar mengijinkannya dengan berbagai alasan, salah satunya karena ia merasa suntuk berada di kamar setiap hari dan makan makanan rumah sakit yang hambar. Serta syaratnya pun ada, yaitu Ilzam akan menuruti semua perintah Fawwaz asal ia bisa keluar dari rumah sakit itu.

Malam itu, tepat pukul 20.08, tibalah mereka saat ini di depan gerbang bercat hijau dan rumah minimalis bernuansa cream dengan pekarangan bunga lili yang tertata rapi di depan rumah tersebut. Mereka berdua turun dari mobil. Fawwaz segera turun terlebih dahulu agar ia bisa membantu sang kakak. Saat Ilzam keluar dari mobil, ia mengedarkan pandangannya, anehnya ia merasa tak asing dengan pemandangan yang menurutnya pertama kali ia lihat. Apa mungkin karena tubuhnya sudah mengenal nuansa itu?

Mereka berjalan masuk ke rumah itu, Fawwaz menekan kenop pintu yang tidak terkunci. Itu artinya ada seseorang di dalam. Fawwaz diam sebentar lalu segera membukanya.

"Assalamualaikum," ucap Fawwaz diikuti oleh Ilzam.

Setiap inci rumah Ilzam perhatikan, mulai dari saat ia masuk di ruang tamu. Ia melihat sofa coklat serta meja kaca beralaskan taplak berwarna cream dengan bunga rose pink sebagai hiasan diatasnya. Wajahnya nampak kagum, keadaan rumah itu sangat bersih sehingga tak ada satupun debu yang ia lihat pada marmer putih yang diinjaknya.

Mereka berjalan dengan Fawwaz sebagai pemandu mengantarkan Ilzam menuju kamar di bagian paling dalam, berdekatan dengan dapur. Ruangan dengan nuansa hijau ini membuat mata Ilzam terpukau dan mulutnya sedikit terbuka. Keadaan buku yang tersusun rapi di rak, juga dinding bergambar pemandangan hutan dan burung-burung yang berterbangan, meja belajar terletak di dekat jendela, di mana kita bisa melihat keadaan luar rumah saat duduk di sana sungguh menambah kesan estetika yang banyak diminati anak perempuan.

Meski rumahnya minimalis, kamar mereka cukup luas sehingga di sana terdapat 2 ranjang terpisah yang ditaruh berdampingan dan meja coklat sebagai pembatas jaraknya.

"Bang, duduk! Gak capek ngang-ngong gitu perhatiin rumah? Biasa aja kali," tegur Fawwaz yang tengah duduk enteng di kasur sambil memainkan ponselnya.

"Fa, lo yang bersihin nih rumah?" tanpa berpaling, Ilzam bertanya sambil memperhatikan isi kamar mereka yang dilihatnya sangat bersih dan rapi.

"Iya, siapa lagi? Kan papa sering gak di rumah," jawab Fawwaz tanpa ekspresi, lalu kembali fokus pada ponselnya.

"Papa?" Ilzam mengerutkan keningnya saat mendapat anggukan sebagai jawaban dari Fawwaz. "Kita punya? Terus kenapa kemarin pas gue di RS dia sama sekali gak muncul sedikitpun?" tambahnya, merasa tak terima.

"Kerjaannya numpuk karena lo," Fawwaz menjawab tanpa sekalipun menatap Ilzam. Ia hanya fokus pada layar LED dengan posisi setengah berbaring.

"Kok gue?"

Fawwaz menghela nafas hendak menjawab pertanyaan Ilzam, namun ia urungkan kala melihat sosok pria yang tengah berdiri di ambang pintu menatap mereka berdua. Dengan pakaian yang terlihat sedikit acak-acakan, lengan bajunya digulung hingga siku serta satu kancing kemeja putihnya dibiarkan terbuka.

Ilham namanya. Ia berjalan mendekati mereka, terlihat ia sedikit lunglai entah apa yang terjadi padanya.

Fawwaz memutar bola matanya malas. "Tuh, dia," ucapnya pada Ilzam yang tak menyadari kehadiran pria paruh baya itu.

Ilzam berbalik menghadap ke belakang, ia menatap pria yang berjalan mendekatinya itu dengan intens. "Papa?" ucapnya tanpa sadar.

Ilham, pria paruh baya yang disebutnya ayah, nampak tersentak kala Ilzam menyebutnya ayah. Ia semakin mempercepat langkahnya hingga akhirnya...

THE HIDDEN PUZZLEWhere stories live. Discover now