(7) Solar Heat

19 9 0
                                    

Kombinasi warna kuning, oranye, dan merah tampak menghiasi horizon kala itu. Matahari belum sepenuhnya naik ke permukaan dan dari balik atap rumah salah satu tetangga yang berada tepat di depan balkon kamarnya, Zafia dapat melihat cahayanya yang samar-samar. Ditemani semilir angin yang berhembus kencang membuat barisan pot gantung di balkon tersebut saling berbenturan.

Zafia tampil polos dengan gaun putih selututnya, dia tampak menyoroti kolam air mancur yang dikelilingi taman bunga sambil menyipitkan mata untuk memastikan apakah para ikan yang berenang di situ masih berjumlah sama dari terakhir kali ia menghitungnya.

Zafia berdiri di dekat pagar balkon sambil menggenggam sebuah gawai. Matanya menjelajahi setiap sudut halaman rumahnya sambil bertopang dagu. Kemudian ia kembali melirik ke arah nomor yang sama—yang sudah dihapalnya di luar kepala itu dengan perasaan ragu. Nama diiringi emoji matahari tersebut membuat Zafia mengerutkan dahinya cukup lama.

'Sun'

Setelah memantapkan hatinya, akhirnya Zafia memberanikan dirinya untuk menekan nomor tersebut. Terpantau jika keduanya sudah mulai jarang berkomunikasi, chat terakhir dari Zafia bahkan tidak dibacanya sama sekali padahal itu sudah berlalu sejak tiga hari yang lalu. Balasan dari Sandi pun masih berada jauh di atasnya, dan pada umumnya pesan-pesan tersebut hanya berasal dari Zafia sendiri.

Zafia segera mendekatkan benda itu ke telinganya setelah mendengar bunyi nada sambung. Ujung jarinya kembali menekan nomor yang sama begitu panggilan tersebut nyatanya tidak diangkat. Lagi-lagi terus begitu hingga Zafia merasa jengkel sendiri.

"Kok ngga diangkat, sih?"

Untuk yang ke sekian kali, Zafia memencet tombol hijau itu dengan sisa-sisa harapan yang ia miliki. Jika tidak, dirinya memutuskan kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Sebelum rencana itu terealisasi, telinganya langsung menangkap suara seseorang di dalam ponsel tersebut. Saking dia tidak percaya bahwa itu adalah nomor Sandi, Zafia sampai menjauhkan ponsel itu dari telinganya sambil menatap layarnya lamat-lamat.

"Halo?" sapaan yang terdengar kelewat ramah itu menyapanya pertama kali. Hal itu sudah cukup membuat Zafia bungkam seribu bahasa. Gadis itu menunjukkan gestur kebingungan sambil mengira-ngira apakah dia salah menyimpan nama kontak orang.

Angin menerbangkan surai hitamnya hingga menutupi sebagian wajahnya. Zafia dapat merasakan kecanggungan di antara mereka hingga dirinya sendiri merasa kikuk untuk bersuara. "Say–"

"Kamu ngapain di sini?"

Zafia menghentikan bicaranya, suara lain tiba-tiba menginterupsinya dan Zafia lebih dari tahu siapa pemilik suara itu.

"Ini penjual bunga yang waktu itu, ya?"

Panggilan itu langsung terputus sebelum Zafia diberi kesempatan untuk berbicara. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa, tangannya yang menggenggam ponsel itu langsung terkulai lemas. Segalanya berjalan begitu cepat sehingga dia kesulitan untuk mencerna apa yang baru saja terjadi.

Tidak berselang lama ponselnya berdering. Zafia menatap layar pipih itu cukup lama. Dia sempat khawatir karena telah menganggu Sandi meskipun di hari seperti ini biasanya Sandi memilih meliburkan diri, atau bila memungkinkan dia akan masuk siang.

"Za?"

Zafia menggigit bibirnya. "Hai, apa ... kabar?"

"Baik."

Zafia membuang wajahnya ke arah lain. Di depan kaca besar itu dirinya terlihat aneh dengan gaun ini.

"Sandi."

"Kenapa?"

"Sorry udah ganggu kamu pagi-pagi. Kamu mau siap-siap ke sekolah, ya? Kalau gitu nanti aja deh pas pulang sekolah ngomongnya biar enak, telponnya biar aku...."

"Nggak, kok. Hari ini aku nggak masuk." Cowok itu berdehem pelan.

Zafia mendengar gedebuk yang lantas membuat matanya refleks terbelalak. "Tadi itu suara apa?"

"Nggak, nggak ada."

Namun Zafia dapat mendengarnya sesekali menahan geraman meskipun laki-laki itu sudah berusaha menjauhkan ponselnya dari telinga. Alis tipis itu menukik tajam dan kerutan di dahinya semakin dalam, Zafia menyandarkan perutnya di pagar balkon dengan satu tangan mencengkram besinya. "Kamu jatuh?"

Dengusan geli itu sudah cukup menjawab pertanyaan Zafia. Sandi menghela napas kemudian menjawab pelan, "Kamu nggak ke sekolah? Kok jam segini masih santai-santai aja? Nggak takut telat?"

"Lagi sakit," Zafia langsung menunduk mengamati kakinya yang berada di atas rumput sintetis itu dengan pipi mengembung. "Tapi ngga parah, kok. It is just a normal fever, nanti juga sembuh kalo minum obat." Zafia bohong, tentu saja. Gadis itu tampak masih sehat bugar dan tubuhnya itu juga tidak menunjukkan gejala dari penyakit yang ia sebutkan di atas.

"Oma sama Opa di rumah, 'kan?" tanya Sandi perlahan, "udah minum obat?"

"Ada. Aku ... aku juga udah minum obat, kok."

"Ya udah."

Zafia menarik napas panjang. Pembicaraan ini sebetulnya amat menyesakkan. Gunanya berlatih di depan cermin itu apa jika pada akhirnya mereka hanya bercakap-cakap tidak jelas seperti ini. Lagi pula, mereka bisa melakukannya tanpa perlu berbicara lewat telepon, bukan?

Tujuan Zafia menghubungi Sandi tentu saja karena ingin menuntut kejelasan darinya, dia ingin semuanya jelas. Ini saja sudah membuat kepalanya pusing, belum lagi jika cowok itu masih berusaha menghindar lagi. Zafia tidak bisa membayangkan akan seperti apa dirinya nanti jika terlalu lama 'digantung' oleh cowok itu.

"San, sebenernya aku mau ngomong serius sama kamu."

"Lain kali aja, ya? Ini dipanggil Bapak soalnya."

Zafia meringis pelan memikirkan berbagai cara agar telponnya tidak segera diputus oleh cowok itu. "Tapi aku bener-bener pengen nanyain kamu tentang banyak hal. It will not take more than fifteen minutes if we are serious. Aku janji nggak bakal bertele-tele dan ... dan juga nggak bakalan maksa kalau seandainya kamu merasa kurang nyaman sama obrolannya. Kita bisa bahas hal itu di lain waktu. Tapi, sekarang ...."

"Aku harus tutup ini dulu, nanti ditelpon lagi kalau bisa."

Zafia menarik napas panjang. Ternyata Sandi masih betah terperangkap dalam hubungan tidak jelas rupanya. Apa cowok itu terlalu senang bermain-main dengannya? Oh, ayolah, Zafia juga bisa melakukannya hanya saja ... dia tidak ingin.

"Tunggu dulu!"

Zafia kembali mendekatkan ponsel itu ke telinganya sambil memasang wajah jengkel. "Ada apa lagi?"

Sayup-sayup Zafia mendengar suara omanya memanggil-manggil di depan pintu. Itu pasti karena Zafia belum turun-turun juga ke bawah, mereka juga tidak tahu kalau Zafia meliburkan diri hari ini. Zafia lantas kembali melirik ponselnya untuk memastikan apakah panggilan itu masih terhubung atau tidak.

"Sandi? Halo?"

"Yang angkat telpon kamu tadi ..."

Zafia mengedip cepat. "Aku nggak–"

"... anak bos aku. Maaf, ya."

---oo0oo---

Before My Star Falls  Where stories live. Discover now