(5) Lost to Earth

28 18 3
                                    

Ilalang tampak menari-nari dari kejauhan seolah sedang menyambutnya dengan penuh sukacita. Lokasi tersebut berada di kaki bukit yang dikelilingi oleh pepohonan besar dan hamparan sawah yang tampak hijau. Opa bilang, pohon-pohon itu sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Tak heran, jika bentuknya lumayan mencolok dari yang lain.

Kaki-kaki kecil melangkah gesit berpindah dari satu pematang ke pematang lain dengan tangan saling merentang seperti sayap kupu-kupu. Sandal pink kesayangannya ikut terayun mengikuti pergerakan sang gadis seolah menikmati kesyahduan pemandangan alam di sekitarnya.

Zafia tampil feminim dengan rok berwarna beige dan cardigan rajutnya. Sebelum berangkat, Oma bahkan sudah berinisiatif mengepang rambut panjang gadis itu terlebih dahulu dan juga dengan berbaik hati meminjamkan Zafia topi rajut kesayangannya.

"Opa, masih jauh nggak?" teriaknya ke arah seorang pria yang berdiri tidak jauh di depannya. Wajahnya tertutupi oleh topi bundar yang dikenakannya. Berbeda dengan Zafia yang tetap ingin terlihat menarik dengan rok, yang kini roknya itu telah melambai-lambai diterbangkan angin, Opa sendiri hanya memakai kaos lengan panjang biasa dan juga celana yang biasa ia pakai ke kebun guna melindungi dirinya dari serangan serangga.

Jika Zafia menikmati pilihan pertamanya dengan tidak menggunakan alas kaki, maka Opa sudah prepare dengan sepatu bot lengkap dengan kaos kaki yang membungkus kedua kakinya itu. Sang kakek bahkan sudah memperingati cucunya itu agar lebih baik menggunakan alas kaki ketimbang tidak memakai apa-apa mengingat tapak kaki Zafia yang belum terbiasa bersentuhan langsung dengan rumput pematang sawah bisa saja membuat kulit kakinya itu terluka.

"Lumayan. Kamu capek?" tanya Opa sembari memusatkan perhatiannya ke arah gadis remaja di belakangnya. Dia tertawa pelan memperhatikan sang cucu yang tampak kepayahan menyusuri pematang sawah milik salah satu warga yang kebetulan licin.

"Nggaklah, masih semangat, dong!" kata Zafia sambil menunjukkan deretan gigi atasnya yang rapi. Gadis itu kembali fokus menatap jalanan sambil berusaha keras menjaga keseimbangannya. Sedikit saja dia tidak hati-hati maka tubuhnya itu akan bermandikan lumpur.

Melupakan masalah sejenak tidak akan membuat langit runtuh dan menyenangkan diri selama satu hari adalah pilihan yang tepat. Di antara rasa sedih dan marah yang mengerubungi dadanya, setidaknya Zafia masih memiliki tempat untuk menitipkan semua rasa tidak nyaman itu.

Zafia menoleh ke belakang. Sejauh mata memandang, yang dia temukan hanyalah pemandangan yang tidak henti-hentinya membuat gadis itu melongo takjub. Terhitung sejak kedatangannya dua tahun lalu, baru kali ini dia diberi kesempatan untuk menjelajahi alam bersama sang kakek. Seandainya, jika seseorang mengingatkannya supaya membawa kamera pocket-nya sebelum berangkat, mungkin hal ini tidak hanya menjadi ingatan yang tersimpan apik di dalam kepala. Namun, juga abadi dalam kamera kesayangannya untuk sewaktu-waktu bisa dilihat kembali kala rindu mendera.

"Opa, itu, bukan?!" teriak Zafia antusias. Gadis itu memekik senang sambil mendahului pria tua yang tampak keberanan dengan tingkah cucu perempuannya itu. Zafia meloncat-loncat dan tertawa-tawa menghampiri aliran sungai yang mengalir dari arah perbukitan. Airnya tampak jernih, bahkan, dia bisa melihat bebatuan kecil dan juga pasir di bawahnya.

Butuh waktu beberapa menit sampai Opa datang dengan pancingan yang sudah siap di tangannya. Opa menyodorkan umpannya kepada Zafia, yang lantas dengan begitu polos langsung ia terima tanpa perlu melihatnya terlebih dahulu.

"Bawa sini cacingnya." Titah Opa pelan. Pria itu tampak sibuk membenarkan posisi mata kailnya yang tersangkut.

"Hm? Oh, seben–"

Before My Star Falls  Where stories live. Discover now