Chapter 7

1 0 0
                                    

Salah satu pagi terindah di Seoul adalah pagi di musim semi. Wangi bunga terbang bersama udara sejuk dan embun yang perlahan menguap tertimpa hangat matahari. Sangat sayang untuk dilewatkan. Dalam setahun pagi-pagi seperti itu hanya terjadi paling lama tiga bulan. Dan hari ini adalah ketiga kalinya Kyun Gi telah membuang suasana pagi indah musim semi itu karena ia harus terkurung di dalam kamar dengan selimut tebal membungkus tubuhnya.

“Haaatttchim!” Kepala Kyun Gi akan menyengat hebat setiap kali ia bersin dan mengeluarkan virus flu yang menyiksanya tiga hari ini

Jangankan untuk menikmati pagi indah musim semi. Melihat cahaya matahari sedikit saja membuat kepalanya pusing. Yah, Ia demam sekarang. Tubuhnya yang lemah hanya bisa berbaring menyedihkan di atas ranjang dengan mata bengkak dan hidung berair.

“Hatchhim! Arggh sial!” Umpatan itu keluar saat cairan di hidungnya juga keluar. Cepat-cepat Kyun Gi mengambil tisu dan membersihkan hidungnya. Istirahat tiga hari sepertinya sama sekali tak membuatnya membaik.

Menyebalkan.

Yang lebih menyebalkan adalah fakta kalau keadaan menyedihkannya ini sebenarnya karena ulahnya sendiri yang tak tidur dua hari dua malam dan hanya menangis seperti orang bodoh. Akibatnya tubuh manjanya ini tumbang.

Terlalu banyak kesialan yang terjadi padanya dalam seminggu terakhir. Pertengkarannya dengan Tae Yoon yang tak kunjung selesai, adik satu-satunya itu masih merajuk dan menolak bicara padanya. Baiklah, mungkin untuk urusannya dengan Tae Yoon, itu sepenuhnya salah Kyun Gi. Ia telah menampar Tae Yoon. Wajar kalau adiknya itu sakit hati.

Lalu ada Hwan Joon, kekasih kurang ajar yang berani-beraninya selingkuh dua kali dan hampir memperkosanya.

Juga, masalah yang terakhir ... “Hwaa!” Bahkan mengingatnya saja membuat Kyun Gi kembali menangis. Silahkan menanggap Kyun Gi kekanakan atau apa sekarang. Kyun Gi benar-benar dibuat kacau setelah mendengar pernyataan cinta dari muridnya itu. Dan sialnya, dari semua masalahnya, entah kenapa justru Jimmy yang paling menguasai otaknya.

Setelah Jimmy mengantarnya ke rumah. Rasanya jiwa dan raganya seakan terpisah. Dengan otak yang kusut Kyun Gi menyeret dirinya ke kamar, mengunci diri di sana untuk menangis sejadi-jadinya.

Ia yang seperti itu bukan dirinya. Biasanya seorang Kyun Gi adalah manusia berkepala batu yang pantang menangis. Akan tetapi beban pikirannya akhir-akhir ini terlalu berat. Apa semakin tua seseorang, tekanan hidupnya juga semakin besar. Lalu kenapa ia harus mendapat tekanan hidup seberat dan sekonyol ini.

Jeremy Park sialan.

“Hatttchim!!! Heung~”

“Kau tak akan sembuh jika terus menangis.” Dari luar muncul suara lembut yang Kyun Gi kenal.

Itu milik Tae Yoon. Gadis manis itu sudah berdiri di ambang pintu dengan membawa nampan dan nafas berat yang lolos kasar.

Mata Kyun Gi menyipit, agak tak percaya dengan apa yang ia lihat. Selama tiga hari terbaring sakit, ini kali pertama Tae Yoon masuk ke kamarnya. Aksi merajuk anak itu benar-benar membuatnya tega menelantarkan sang kakak yang sedang lemah ini.

“Apa yang kau lakukan di sini?”

“Membawakanmu makanan dan obat. Memang apa lagi?” Jawaban Tae Yoon terdengar ketus, namun ia tetap mendekat dan meletakan nampan berisi makanan dan obat flu ke meja di samping ranjang dengan ia sendiri yang duduk di sisi Kyun Gi.

“Ku pikir kau tak peduli padaku lagi,” gerutu Kyun Gi memancing raut wajah tak ikhlas adiknya. Meski begitu, Kyun Gi yang pada dasarnya sudah terlalu mengenal sang adik masih bisa melihat dengan jelas kilat kekhawatiran di mata Tae Yoon untuknya.

“Sudahlah jangan banyak bicara. Makan saja.” Tak ingin membantah. Kyun Gi mengambil sendiri makanannya yang hanya berupa sereal itu dan menikmatinya pelan. “Setelah itu minum obatnya. Kalau hari inipun kau tak sembuh, nanti sore kita ke dokter.”

Hening.

Kyun Gi tak menjawab, hanya mengunyah makanannya yang sebenarnya sudah sangat lembut itu sambil memperhatikan Tae Yoon. Anak ini pakai seragam sekolah, yang artinya ia memang akan berangkat sekolah. Tapi cara duduk dan bagaimana Tae Yoon menolak untuk menatapnya membuat Kyun Gi merasa aneh.

“Aku tak mengerti apa masalahmu dengan si Hwan Joon itu. Tapi jika kau terus menangisinya seperti ini. Kau yang rugi.” Ujung mata Tae Yoon mengarah pada Kyun Gi, memastikan sang kakak mendengarnya.

Ia bukan orang bodoh yang tak bisa membaca keadaan. Yang ia tahu seminggu lalu sang kakak memergoki mantan kekasihnya yang bernama Hwan Joon itu berselingkuh untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu emosi sang kakak sangat kacau.

Untuk seusianya. Sangat sulit bagi Tae Yoon memahami cinta. Ia sendiri bahkan kesulitan menata sesuatu yang disebut cinta bersama Ian. Lalu di sini ia dihadapkan pada persoalan cinta sang kakak yang lebih berat. Perlahan Tae Yoon mengeyampingkan urusan cintanya sendiri dan memilih menunda aksi merajuknya untuk menolong sang kakak.

“Siapa bilang aku menangisinya.” Tae Yoon berdecih.

“Katakan itu pada matamu yang bengkak.” Siapapun yang berada di posisi Tae Yoon pasti menganggap Kyun Gi bohong telah menyangkal bahwa ia menangisi Hwan Joon.

Ya, Kyun Gi bohong. Namun ia tak sepenuhnya bohong juga, ada beberapa hal lain selain Hwan Joon yang membuat air matanya Kyun Gi tak bisa berhenti. Ia malas membahasnya sekarang.

Terlihat Kyun Gi meletakan mangkuk serealnya yang isinya cuma berkurang setengah. “Kenapa tak dihabiskan?”

“Aku tak selera.”

“Kalau begitu minum obatnya.”

“Kau memberiku sereal. Mana bisa obatnya bekerja jika yang kumakan adalah susu.”

“Lalu kenapa kau memakannya. Harusnya kau bilang ingin makan yang lain!”

“Aku tak ingin membuatmu repot, Tae! Kau mau masuk ke kamarku saja_ ah sudahlah.” Suara Kyun Gi yang semakin tinggi itu mendadak mengantung di udara. Kesadaran memperingatkannya. Bahwa tak seharusnya ia berteriak. Tae Yoon baru saja berusaha bersikap baik padanya. Ini peluang untuk mereka berbaikan sekaligus celah untuk dia bicara pada Tae Yoon pelan-pelan tentang kekasih berandal adiknya ini.

Satu nafas panjang Kyun Gi menyulap suasana menjadi hening. Ia melihat Tae Yoon mencibir dan membuang muka padanya. Kyun Gi bersyukur anak ini tak kembali merajuk lalu pergi. “Ok, baiklah.” Mulai Kyun Gi lembut dan ia memiringkan kepalanya, berusaha mencari wajah Tae Yoon. “Aku minta maaf karena telah menamparmu. Jadi sekarang apa kau sudah berhenti merajuk?”

Sebelum menjawab Tae Yoon melirik Kyun Gi. “Akan ku teruskan saat kau sembuh nanti.”

Dasar anak keras kepala. Kyun Gi dibuat menggeleng pusing. “Tapi kita tetap harus bicara, Tae.” Dan Kyun Gi akan lebih keras kepala. Itu sudah sifat turun temurun dari ibunya.

“Kalau kau mau bicara tentang Ian. Kami sudah berpisah, kau puas!” Pembicaraan mereka dengan mudah kembali menegang. Sekuat-kuatnya Kyun Gi berusaha tenang. Ia mendengus juga dijawab kasar oleh Tae Yoon.

“Kau tak perlu membentakku, Tae! Kita bisa bicara baik-baik. Aku hanya ingin kau mengerti kalau dalam berhubungan kau tak boleh memilih sembarang orang.”

“Dan kau pikir Ian adalah orang yang ku pilih sembarangan, begitu? Kau bahkan tak tahu siapa Ian.”

“Aku tahu dia. Dia berandal yang hidupnya beran_”

“Kau hanya tahu sebatas itu!” Saat Tae Yoon mengeluarkan seluruh suaranya untuk berteriak. Kyun Gi justru terdiam. Bukan karena ia takut. Tapi karena ia tahu teriakan hanya akan membuat keadaan menjadi lebih buruk. Tae Yoon bukan Jimmy yang akan semakin keras jika ia balas dengan teriakan juga. Tae Yoon adalah makhluk rapuh, yang akan hancur bahkan dengan suara yang sedikit lebih tinggi saja.

“Baiklah, kalau begitu jelaskan apa yang belum kutahu. Apa yang membuatnya begitu penting untuk kau bela mati-matian seperti ini. Kau bahkan sudah berani membangkang. Ini bukan dirimu.” Sesaat Kyun Gi mendesah lelah lalu memutar matanya dan menjatuhkan punggungnya pasrah pada kepala ranjang. “Sepertinya dia telah mengubah Tae Yoon yang manis dan penurut menjadi seorang yang keras kepala seperti ini. Katakan padaku bagaimana caranya agar aku tak berpikir buruk padanya.” Saat mengatakan itu Kyun Gi tak lagi menatap lawan bicaranya. Namun menatap nanar ke samping dengan kepala menggeletak di kepala ranjang. Jujur saja, sakit kepalanya bertambah sekarang.

Ada keheningan panjang sebelum bisa mendengar jawaban Tae Yoon. “Ya, dia telah merubahku.” Tae Yoon memutar tubuhnya menghadap Kyun Gi dan menatap sang kakak serius. “Dan itu terjadi sudah sejak dua tahun lalu. Biar ku tebak, kau pasti tak menyadarinya,” lirih Tae Yoon. “Tentu saja, kau bahkan tak pernah sadar bagaimana perasaanku saat dulu kau menyeretku ke kota ini. Kau tak perduli aku ketakutan dengan lingkungan baru. Kau bahkan tak bisa menangkap keadaan bahwa di sekolah aku menjadi murid terkucilkan karena asal kita yang dari kampung.”

Keduanya kini saling menatap dengan sorot sengit. Kyun Gi tak berkomentar, memilih menunggu apapun yang ingin Tae Yoon katakan. Ia tahu ada banyak yang ingin adiknya ini tumpahkan sekarang. “Saat itu Ian lah satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara.” Ada helaan nafas panjang dari Tae Yoon sebelum gadis itu menunduk. Jemarinya saling memainkan satu sama lain seiring bibirnya yang mulai bicara.

Tae Yoon mengatakan apa yang ingin ia katakan. Semuanya tanpa terkecuali. Semua tentang ia dan Ian juga perasaan hatinya sejak kematian orang tua mereka, perasaan yang tak Kyun Gi sadari.

Sudah tujuh tahun sejak mereka kehilangan orang tua dalam kecelakaan mobil. Kala itu Kyun Gi berumur lima belas tahun dan ia sendiri berumur sebelas tahun. Angka yang masih terlalu kecil untuk mendapat kenyataan bahwa mereka yatim piatu.

Kenyataan itu merubah Tae Yoon menjadi pribadi yang pendiam dan menutup diri pada dunia. Ia menjadi enggan bergaul, lebih senang menjauh ke tempat yang sunyi di mana hanya ada ia dan dirinya.

Keadaan semakin memburuk saat ia lulus sekolah menengah. Kyun Gi yang berhasil mendapatkan beasiswa kuliah di Seoul dan bekerja sebagai guru kontrak di SMA Bang Shik memaksanya harus ikut ke kota ini. Kota yang sangat asing untuk Tae Yoon.

Kyun Gi menyekolahkannya di sana. Tanpa perduli Tae Yoon dan pribadinya yang kaku ini kesulitan untuk menghadapi perubahan lingkungannya. Alasan mengapa ia tak ingin diketahui sebagai adik dari sang guru konseling karena ia tak ingin membuat keadaannya lebih buruk. Fakta dirinya yang pendiam dan berasal dari kampung saja sudah membuat semua orang di sekolah itu menganggapnya aneh. Ia akan semakin dijauhi jika orang-orang tahu ia adalah adik si guru yang pekerjaannya adalah mengawasi tingkah laku murid-murid.

Pada akhirnya yang ia lakukan hanya datang, belajar, lalu pulang, lalu mengurung diri di rumah seharian karena tak punya teman bermain keluar. Ia tak perduli jika ia tak pernah mengelilingi kota Seoul yang ramai ini. Kegiatan yang ia lakukan jika bosan dengan aktifitas sehari-harinya hanyalah melarikan diri ke atap sekolah dan bicara pada dirinya sendiri.

Yah, hanya dirinya yang bisa membuatnya nyaman. Itulah pendapat yang tertanam di otak Tae Yoon selama bertahun-tahun. Pendapat yang hancur seketika di hari ia bertemu Ian untuk yang pertama kali.

Kilas Balik

Kala itu sedang musim gugur pertama yang Tae Yoon lalui di sekolah itu. Seperti biasa ia akan meluangkan waktu pergi ke tempat favoritnya di sekolah. Atap. Tempat di mana ia bisa melakukan apa saja termasuk memutar sepiker musiknya dengan suara kencang. Tak akan ada yang protes. Toh ini atap, siapa yang mau datang ke tempat paling terpencil sekolah itu.

Tae Yoon menyukai hiphop, dan ia memutar musik itu sambil berbaring di kursi tua dan memejamkan mata. Menikmati setiap hentakan ritme dengan jari-jarinya yang menepuk-nepuk di atas dada.

Tap tap tap tap.

Ada yang aneh dari musiknya, seperti ada tepukan lain yang bukan berasal sepikernya. Tae Yoon membuka mata, ingin mengecek keanehan itu dan bergerak bangkit dari kursi. Hanya untuk menemukan dirinya terkejut. Sekaligus heran.

Bunyi aneh yang mengganggu musik Tae Yoon tadi kini ada di depannya. Bunyi yang berasal dari sepasang sepatu yang menghentak di lantai kotor atap. Milik seorang laki-laki yang tengah menari mengikuti musiknya.

Sangat detail dan kuat. Itulah yang Tae Yoon tangkap dari setiap gerakan rumit yang laki-laki itu buat. Ia terpukau, sangat terpukau hingga melupakan kalau laki-laki ini datang tiba-tiba dan menari tanpa alasan.

Beberapa detik yang Tae Yoon lakukan hanya duduk di kursi tuanya. Memperhatikan si laki-laki tinggi bersurai hitam berbadan tegap sangat gagah namun berwajah imut itu menari. Ia ingin melihat sampai kapan orang asing ini bisa menari.

Sepertinya dia belum menyadari kalau Tae Yoon sudah bangun dan menatapnya. Terlalu asik dengan musik dan gerakan tubuhnya. Ia meliuk-liuk, melakukan poppin lalu berputar ke kanan dan ke kiri hingga tak sengaja wajahnya menoleh ke arah Tae Yoon.

“Ah! Kau mengagetkanku!” Laki-laki itu terlonjak sendiri mendapati Tae Yoon menatapnya dengan dengan sama terkejutnya. Namun binar kekaguman di mata Tae Yoon masih belum pudar, dan laki-laki itu menyadarinya. “Tarianku tak sehebat itu,” gumamnya santai menyahut apa yang ada dalam kepala Tae Yoon bahkan sebelum Tae Yoon mengatakannya.

“Siapa kau?” Nada dingin itu Tae Yoon keluarkan sambil jarinya mematikan musik di ponselnya. Secara otomatis sepikernya juga mati. “Dan kenapa kau tiba-tiba menari?”

Pertanyaan Tae Yoon hanya mendapat senyum tipis dari si laki-laki tampan. Ia meletakan tangannya ke saku celana dan berjalan hingga ke hadapan Tae Yoon lalu merunduk. Membuat wajah mereka hanya terpaut beberapa senti. “Seharusnya itu pertanyaanku. Siapa kau, dan apa yang kau lakukan di tempat tidurku?”

Tae Yoon tak mengerti apa yang laki-laki ini maksud dengan tempat tidur. Tapi laki-laki itu mengarahkan telunjuknya pada kursi yang Tae Yoon duduki. “Sejak kapan ini jadi tempat tidurmu?”

“Sejak sebelum kau datang ke sekolah ini. Kau itu murid baru, ya?” Tae Yoon mengangguk. Menciptakan desahan kasar dari si laki-laki. Lalu memilih menjatuhkan tubuhnya di samping Tae Yoon. “Pantas.” Ia menyerah untuk berdebat. Sepenuhnya mengurungkan niat untuk mengusir si anak baru.

Lagipula ini tak buruk. Laki-laki tampan itu melirik sepikar yang Tae Yoon bawa. Sepertinya mereka memiliki selara musik yang sama, hiphop. Ini menarik, dan anak baru ini juga keliatan menarik.

“Well, karena kau lebih dulu yang bertanya siapa aku. Perkenalkan, namaku CHRIS. TI. AN, kalau kau sulit menyebutkannya, panggil saja Ian.” Nama itu menggema dengan lantang bersama sebuah tangan terulur pada Tae Yoon yang hanya membeku di tempat. Berkenalan adalah hal yang sudah lama tak ia lakukan. Namun Tae Yoon tetap membalas uluran tangan laki-laki yang bernama Ian.

“Kim Tae Yoon.” Ian mengangguk sebagai respon lalu melirik pada sepiker Tae Yoon, suaranya bagus dan berkualitas. Benda yang menjadi alasan ia belum mengusir Tae Yoon dari tempat kekuasaannya ini. “Kuakui tarianmu sangat hebat,” komentar Tae Yoon, dan itu membuat laki-laki yang ia puji mendadak tersenyum. Sayangnya Tae Yoon enggan menatap Ian.

“Kau hanya belum melihat teman-temanku, aku tidak ada apa-apanya.”

“Benarkah?” Mendadak mata Tae Yoon yang sudah besar menjadi lebih melebar. Sulit rasanya membayangkan ada yang lebih hebat dari Ian saat laki-laki tampan ini saja sudah sangat hebat untuk Tae Yoon.

“Hei. Kenapa kau seterkejut itu? Bukankah ada banyak penari muda yang jauh lebih baik dariku di Hongdae?”

“Hongdae? Apa itu sebuah klub?” Topik pembicaraan itu seketika mencairkan atmosfir canggung di antara keduanya.

Untuk beberapa saat Ian dibuat bingung dengan gadis di depannya. Siapa orang di Seoul ini yang tak tahu Hongdae, salah satu daerah yang paling terkenal di kalangan anak muda. “Sebenarnya kau berasal dari planet mana? Bagaiaman bisa kau tak tahu Hongdae?”

Tae Yoon menerawang sesaat sebelum menggeleng. Ia mengutuk dirinya sendiri yang tak pernah keluar rumah setelah hampir enam bulan tinggal di Seoul.

“Aku baru di sini.” Alasan yang bisa diterima Ian. Ia mengangguk paham lalu menceritakan sedikit tentang Hongdae, bahwa tempat itu adalah salah satu titik di mana para seniman jalanan yang kwalitasnya tak kalah dengan para idola Kpop untuk menunjukan bakatnya.

Penjelasan Ian mendapatkan respon lebih dari yang laki-laki tampan itu harapkan. Sepertinya benar dugaan Ian, gadis bernama Tae Yoon ini berasal dari planet lain, karena reaksinya terlihat sangat takjub. Reaksi yang menurut Ian sangatlah lucu.

“Tempat itu pasti sangat keren.” Sebenarnya sejak di Daegu Tae Yoon selalu tertarik dengan musik dan seni. Namun karena rumah mereka yang berada di daerah jauh dari keramaian kota, sulit untuk Tae Yoon menemukan komunitas musik dan sebagainya. Hingga perlahan ia melupakan minatnya itu.

“Tentu saja, setiap jum’at malam aku dan beberapa temanku juga melakukan pertunjukan di sana.” Tae Yoon menganguk dengan mulutnya yang sejak tadi menganga.

“Kalau kau mau, kau bisa ke sana besok malam dan menonton kami. Aku jamin kau tak akan menyesal telah datang.”

... ... ...

Apa laki-laki ini baru saja mengajaknya? Perlu beberapa saat untuk Tae Yoon berpikir. Hari ini untuk pertama kalinya ia bicara pada seseorang di sekolah, dan sekarang orang pertama yang mengajaknya bicara ini juga mengajaknya untuk datang ke tempat yang tak pernah Tae Yoon datangi sebelumnya.

Melihat lawan bicaranya terdiam. Ian menyadari sesuatu. “Kau tak tahu ke mana jalan menuju Hongdae?” tebaknya. “Kalau kau benar-benar ingin ke sana, temui aku di ujung blok depan sekolah jam tujuh malam besok, bagaimana?”

Tae Yoon masih tak menjawab.

“Kau bisa memikirkannya.” Mengerti gadis bernama Tae Yoon ini terlihat sedang berpikir keras, Ian tak mau mengganggu konsentrasi si murid baru yang menurutnya lumayan manis ini. Ia beranjak dari samping Tae Yoon sambil berjalan mundur dengan santai. “Aku tahu kau akan datang, kau terlihat sangat tertarik pada Hongdae,” gurau Ian lalu berbalik dan menuju pintu keluar atap. “Jangan lupa, besok jam tujuh malam! Aku akan menunggumu!” Teriakan itulah yang Ian keluarkan sebelum menghilang dari balik pintu.

Kilas Balik berakhir

Tae Yoon pikir waktu itu Ian hanya main-main mengajaknya. Ia sendiri juga tak berniat untuk menerima ajakan Ian.  Jum’at malam setelah pertemuan pertama mereka, Tae Yoon memilih untuk kembali mengurung dirinya di dalam kamar tanpa ingin keluar kecuali jika ia lapar. Kebetulan malam itu ia kelaparan dan kebetulan juga semua stok makanan di lemari pendingin mereka habis.

Dengan alasan lapar dan tak ingin mengganggu sang kakak yang terlihat sedang sibuk dengan pekerjaan sekolahnya, Tae Yoon menyeret dirinya untuk pergi keluar. Tadinya ia hanya ingin pergi ke supermarket terdekat. Namun sudut otaknya mengiangkan suara Ian yang mengajaknya.

“Jangan lupa, besok jam tujuh malam! Aku akan menunggumu!”

Tae Yoon tergoda untuk membuktikan perkataan laki-laki itu. Dan sebelum ia sadar, kakinya sudah membawa dirinya melangkah menuju ujung blok di dekat sekolah mereka. Tae Yoon tak berpikir Ian benar-benar akan ada di sana. Bagaimanapun mereka adalah dua orang asing yang hanya bicara sekali, sangat tak memungkinkan untuk saling menunggu dan pergi bersama ke suatu tempat.

Tapi Ian di sana, bersandar di tiang listrik sambil mendengarkan musik dari earphone yang ia sumpalkan ke telinga. Ian benar-benar menunggunya.

Malam itu terasa begitu panjang untuk Tae Yoon. Ia pergi ke Hongdae, melihat suasana malam yang ramai dan menikmati berada di tengah orang banyak untuk yang pertama kali selama lima tahun terakhir hidupnya. Itu semua karena Ian.

Laki-laki itu yang membuatnya menikmati malamnya di sana. Bukan hanya malam itu, karena hari-hari berikutnya Ian menjadi tertarik untuk mengajak Tae Yoon ke berbagai tempat di Seoul. Keduanya menjadi dekat secara alami, perlahan Ian membawa Tae Yoon keluar dari zona amanya dan kembali menatap dunia yang dulu sempat Tae Yoon tinggalkan.

Ian mengembalikan dirinya seperti semula. Menjadi Tae Yoon yang ceria seperti sebelum orang tuanya pergi. Tae Yoon seakan mendapat alasan untuk kembali ceria, dan alasan itu adalah Ian.

Ajaibnya segala proses itu sama sekali tak tertangkap perhatian Kyun Gi. Kyun Gi punya perannya sendiri dalam hidup mereka. Setelah kematian orang tua mereka, secara otomatis kendali keluarga harus Kyun Gi pikul sendiri.  Dibebani tanggung jawab untuk memperjuangkan hidup mereka dan merawat Tae Yoon, menempa Kyun Gi menjadi pribadi yang hanya tahu bekerja keras dan mendidik Tae Yoon agar bisa memiliki masa depan yang cerah. Membuatnya melupakan fakta kalau ada sisi emosional Tae Yoon yang harusnya juga ia perhatikan.

Tae Yoon tak menyalahkan Kyun Gi atas semua ini, bagaimanapun. Posisi Kyun Gi juga pasti sangat sulit. Melihat sang kakak memimpin keluarga dan berkerja keras agar mereka bisa hidup layak cukup membuatnya tak ingin menuntut banyak. Karena itu ia tak pernah protes saat Kyun Gi tak perduli padanya tapi justru selalu mengatur hidupnya. Tae Yoon bisa mengerti kalau kakaknya mungkin merasa bertanggung jawab untuk menuntunnya ke jalan yang benar. Dan ia tak akan menentang sang kakak. Yang Tae Yoon inginkan sekarang hanyalah sebuah pengertian.

“Ian tak seburuk yang kau pikirkan. Meski kadang dia memperlihatkan sisi dunia yang sedikit gila padaku, tapi dia tak pernah mendorongku ke dalamnya. Dia melindungiku seperti yang selalu kau lakukan. Dia hanya ingin aku sedikit bersenang-senang. Dan yang terpenting, Ian adalah orang pertama yang membawaku keluar dari kesedihanku setelah kehilangan ayah dan ibu.”

Kepala Kyun Gi tertunduk, tak lagi bisa menatap Tae Yoon. Ia malu. Pada Tae Yoon, pada dirinya sendiri, dan pada mendiang orang tuanya. Tae Yoon baru saja menamparkan fakta padanya bahwa ia telah gagal menjaga Tae Yoon selama ini, ia telah gagal mengisi kekosongan yang di tinggalkan orang tua mereka. Yang dipikirkannya hanyalah berusaha agar Tae Yoon tak kekurangan satu apapun. Membuat Tae Yoon bisa bersekolah dengan layak dan menggapai mimpinya seperti anak lain meski ia tak punya sokongan dari orang tua.

Kenyataannya, itu justru membuat Tae Yoon kehilangan hal paling berharga untuknya. Kehangatan sebuah keluarga dan kebahagiaan masa remajanya. Secara tak langsung Kyun Gi membiarkan Tae Yoon terpuruk bersama kenangan orang tua mereka dan menderita sendirian.

"Maafkan aku, Tae Yoon. Aku tak tahu kalau kau selama in_”

“Tak ada yang perlu kau mintai maaf. Kau telah melakukan yang terbaik yang bisa kau lakukan. Aku sudah sangat bersyukur akan itu. Aku hanya ingin kau mengerti sepenting apa Ian untukku. Dia terlalu penting untuk ku tinggalkan hanya demi menuruti prasangka burukmu. Aku tahu kau hanya khawatir dia akan mengacaukan masa depanku yang kau perjuangkan dengan sangat keras. Tapi aku mohon sebelum kau berpikir buruk tentangnya, kenali dia lebih dalam dari yang selama ini kau ketahui.”

Kyun Gi tak menjawab, ia sibuk dengan pikiran kusutnya sendiri yang kini ditambah masalah baru. Rasanya kepalanya mau pecah sekarang. Raut frustasi Kyun Gi sangat terlihat di mata Tae Yoon. Mengerti ia terlalu menekan sang kakak yang sedang sakit ini, Tae Yoon merasa ia tak bisa bicara lebih banyak. Satu nafas panjang ia loloskan sebelum perlahan beranjak dari tempat tidur Kyun Gi.

Apa yang mengganjal di hatinya sudah ia tumpahkan, janjinya pada Ian untuk berusaha membuat sang kakak mengerti tentang hubungan mereka juga sudah Tae Yoon lakukan. Ia tak menyesal telah membuat kakaknya ini kelihatan kacau. Yang terpenting adalah mereka sudah saling terbuka. Sekarang ia hanya harus menyerahkan segalanya pada sang kakak.

“Sebaiknya kau istirahat,” lirih Tae Yoon. “Aku juga harus pergi ke sekolah sekarang. Jangan lupa minum obatnya. Hubungi aku jika kau memerlukan sesuatu.” Dengan itu Tae Yoon melangkah pelan menuju pintu. Ia sama sekali tak mendengar tanda-tanda Kyun Gi akan bicara, memberitahunya bahwa sang kakak benar-benar ingin waktu untuk sendiri.

***

Hampir sebagian dari siswa di sekolah SMA Bang Shik sudah berada di kelas masing-masing. Tapi di sini Tae Yoon masih berlari di lorong sunyi menuju lockernya. Pembicaraan panjangnya tadi pagi bersama sang kakak membuatnya ketinggalan bis dan berakhir ia terlambat.

Saking tergesanya Tae Yoon yang kini sudah terengah karena berlari tanpa henti dari halte bis sampai ke lantai tiga sekolahnya hingga ia tak sadar ada seseorang yang sejak tadi mengikuti dari belakang.

Secepatnya Tae Yoon sampai di lokernya. Dengan kilat ia mengambil satu-persatu bukunya tanpa ada firasat sedikitpun bahwa ia sedang diawasi. Hingga saat ia menutup pintu lockernya dan menemukan orang itu sudah bersandar santai pada locker di sampingnya. Tae Yoon terkesiap. “Aaah!!”

“Kenapa kau seterkejut itu? Apa sekarang aku sudah berubah menjadi ancaman untukmu?” Sepasang mata tajam milik laki-laki tampan yang bersandar di loker menatapnya setengah kesal. Meski begitu pemilik mata itu justru terlihat lucu saat merengut seperti itu di mata Tae Yoon. Begitulah Ian, ia tak akan bisa menakuti Tae Yoon dengan sorot tajamnya.

“Kau mengagetkanku, Ian,” gumam Tae Yoon sekilas dan berlalu santai di depan Ian yang matanya tak lepas dari sang kekasih.

Tae Yoon tak ada waktu untuk meladeni laki-laki ini. Ia terlambat dan harus segera masuk kelas jika masih ingin ikut pelajaran pertama. Lagipula bukankah Ian juga harus segera ke kelasnya. Tapi yang Tae Yoon dapatkan justru sebuah cengkraman keras di satu lengannya.

“Kau tak merindukanku?” Tae Yoon tak berani menjawab. Hatinya sudah berteriak bahwa ya, ia sangat merindukan Ian. Akan tetapi sekarang ia bukan dalam posisi berhak mengatakan itu. Ia yang meminta hubungan mereka untuk diistirahatkan, ia harus konsisten pada keputusannya.

“Aku tahu kau merindukanku.” Tae Yoon lupa kalau di depannya ini adalah Ian. Orang kedua setelah Kyun Gi yang sangat mudah menebak perubahan emosi wajahnya. Dan ia hanya berkedip kosong melihat Ian bisa menebaknya dengan tepat.

Tanpa banyak bicara dan tanpa menunggu respon Tae Yoon, Ian menyeret gadis manis itu dari area loker. Gerakan tiba-tiba Ian tentu saja membuat Tae Yoon kembali panik.

“Tunggu, Ian. Kita mau kemana, hei!”

“Membawamu pergi dari sini.”

“Apa maksudmu dengan pergi. Ini sedang jam belajar!”

“Lalu kenapa?”

“Kau mau kita membolos?” Ian tak menjawab dan hanya menariknya melewati setiap lorong kosong yang Tae Yoon tahu lorong itu menuju area belakang sekolah. Sepertinya Ian benar-benar serius membawanya pergi dari sini. “Ian, aku tak mau membolos!” Mungkin Ian sudah biasa melakukan ini, tapi ia tidak. Ia mungkin bukan murid teladan tapi bukan berarti ia boleh membuat catatan kejahatan satupun di sekolah ini. “Ian, apa kau mendengarku! Berhenti menyeretku! Kakakku akan melempar kita ke ruang konselingnya.”

“Memang itulah yang ku inginkan. Berhadapan dengannya dan memperjuangkan hubungan kita.” Pernyataan itu membuat mata Tae Yoon melebar. Demi Tuhan ia sudah terkena serangan panik sekarang.

“A_apa maksudmu! Yak! Kita tak bisa melakukan ini. Kau gila, Ian!”

“Ya, aku memang sudah gila. Jadi turuti saja caraku dan nikmati kencan kita sekarang sebelum berperang melawan kakakmu.”

“Tapi, tapi, Ian!” Si laki-laki tampan bersurai hitam itu tak lagi memperdulikan teriakan Tae Yoon. Hanya tahu menyeretnya keluar dari sekolah lalu menuju halte bis yang akan membawa mereka jauh dari sana. Tak lagi ada jalan untuk Tae Yoon kembali.
***

“Kyun Gi~ Kyun Gi~ Kemana dia.”

Si pemilik nama tahu benar kalau bibinya di luar sana tengah panik mencarinya. Tapi ia sama sekali tak ada keinginan untuk keluar dari persembunyian. Hanya memeluk kaki dan menenggelamkan wajahnya yang sudah basah oleh air mata.

Tak ada yang tahu kalau bocah lima belas tahun itu kini berada di sudut ruangan, di balik tumpukan bunga yang di rangkai besar untuk ucapan belasungkawa. Menangis bisu dengan tubuhnya yang bergetar.

Ia takut keluar, ia takut untuk melihat kenyataan kalau orang yang berada dalam dua peti mati yang tengah diberi penghormatan terakhir oleh semua orang itu adalah ibu dan ayahnya.

Dan yang paling menakutinya adalah permadangan seorang anak bersurai karamel yang meraung di depan mendiang orang tuanya. Ia takut anak itu akan memandangnya dengan manik hitamnya yang penuh air mata dan seakan berkata...

‘Kita tak punya siapapun lagi, Kak’

Wajah Tae Yoon yang menatapnya penuh air mata lima tahun lalu saat upacara kematian orang tua mereka menampar keras alam bawah sadar Kyun Gi hingga ia terbangun dari tidur singkatnya dalam keadaan terengah dan keringat dingin.

Sudah lama mimpi itu tak datang menghantui tidurnya. Tapi hari ini, setelah Tae Yoon menjelaskan perasaan hatinya yang sebenarnya, perasaan betapa berat sang adik melalui masa remajanya tanpa orang tua, membuat mimpi buruk Kyun Gi kembali. Bersama rasa bersalah yang amat besar atas kelalaiannya selama ini yang tak cukup baik sebagai seorang kakak untuk Tae Yoon.

Dibanding memikirkan tentang hubungan sang adik dengan laki-laki berandal bernama Ian. Perhatian Kyun Gi kini menjadi lebih terfokus untuk memikirkan cara bagaimana ia meminta maaf pada Tae Yoon dan menjadi kakak yang lebih baik untuk sang adik di masa depan.

Di kamar sunyinya yang gelap Kyun Gi mematung di atas ranjang dengan manik yang menerawang kosong pada langit-langit. Pikirannya yang mengambang jauh benar-benar tak siap dengan sebuah dering ponsel yang tiba-tiba bergema.

Keningnya berkerut saat menemukan nama ‘Guru Kim Se Jin’ sedang memanggil di layar ponselnya. Firasat Kyun Gi mendadak buruk. Laki-laki bernama Se Jin ini tak pernah membawa kabar baik jika menghubunginya.

Dengan malas Kyun Gi menjawab panggilan Se Jin dan bergumam “Halo?” dengan sama malasnya.

“Kyun Gi, bagaimana keadaanmu?” Se Jin basa-basi dulu.

“Tak ada perubahan, masih flu dan sakit kepala. Ada apa? aku tak yakin kau menghubungiku hanya untuk bertanya keadaanku, kan?” Decihan pelan di sebarang sana menjawab tebakan akurat Kyun Gi.

“Sebenarnya aku tak ingin mengganggu istirahatmu, tapi ini darurat.”

Ok, tak ada kata yang lebih buruk dari kata darurat yang keluar dari mulut seorang Se Jin. Biasanya kata itu berdampingan dengan sebuah nama. Jeremy Park. Ah, Kyun Gi mohon, jauhkan dulu anak itu darinya.

Tak mendapat jawaban apapun dari Kyun Gi, Se Jin merasa harus melanjutkan kalimatnya. “Satu jam lalu sekolah kita kedatangan polisi dan mereka mencari Jimmy.”

Firasat buruk ternyata tak pernah berbohong. Ada apa lagi dengan anak itu sekarang. “Mereka bilang seseorang melaporkan Jimmy atas kasus kekerasan fisik yang ia lakukan tiga hari lalu. Dan sekarang mereka mencari Jimmy untuk dibawa ke pengadilan,” lanjut Se Jin lagi.

“Melaporkan Jimmy?” Di tengah pikirannya yang mendadak kusut, Kyun Gi mencoba mencerna apa yang Se Jin katakan. Ada seseorang yang melaporkan Jimmy atas kasus kekerasan fisik, mungkinkan itu dari orang-orang yang Jimmy pukuli, mengingat hobi anak itu yang suka berkelahi. Dugaan Kyun Gi terdengar masuk akal. “Siapa yang melaporkannya, salah satu orang tua murid?”

“ Bukan.” Tanpa Se Jin tahu, kening Kyun Gi berkerut bingung dengan jawabannya. “Tapi seorang pengusaha muda, kalau tidak salah namanya Kim ... Kim ...?”

Kyun Gi tak perlu mendengar kalimat Se Jin lagi, ingatannya terseret kembali pada apa yang terjadi tiga hari lalu. Ya, tiga hari lalu Jimmy memang melakukan kekerasan. Pada seseorang yang ia kenal.

Jeremy Park. Akan ku ingat nama itu. Aku akan menuntutmu.

“Kim Hwan Joon,” lirih Kyun Gi gelap, mendadak kepalanya seperti berasap. Bajingan itu benar-benar menuntut Jimmy.

“Ya! Kim Hwan Joon! Bagaimana kau bisa tahu?”

“Ceritanya panjang. Lalu apa yang terjadi? Mereka membawa Jimmy?” Yang lebih menjadi pusat perhatian Kyun Gi kini keadaan Jimmy.

“Jimmy tak pernah masuk sekolah sejak tiga hari lalu, dan karena itu mereka meminta pihak sekolah juga mencarinya. Pihak polisi sedang menyelidik kasus ini dan mengumpulkan bukti untuk melakukan sidang. Singkatnya adalah … Jimmy jadi buronan sekarang.” Di tempatnya Kyun Gi sudah mengacak surainya frustasi sekarang.

Jimmy jadi buronan. Ini gila. Bagaimana bisa Jimmy yang kini menjadi pihak yang bersalah saat ia jelas-jelas hanya ingin membantunya dari perbuatan bejat Hwan Joon. Jimmy tak bersalah!

Ya, Jimmy tak bersalah, dan ia satu-satunya orang yang tahu kebenarannya.

Melupakan tubuhnya yang sebenarnya lemah bagai jeli dan kepalanya yang terasa akan pecah atau hidungnya yang penuh lendir. Kyun Gi menutup panggilan Se Jin lalu melompat dari tempat tidur untuk menuju lemari dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang sehangat mungkin untuk kemudian dengan tergesa keluar dari rumah. Menyambar mobilnya yang untungnya sudah selesai diperbaiki dan kini siap mengantarnya ke kantor polisi. Ia harus mengatakan pada mereka kalau Jimmy tak bersalah.

***

Musim semi adalah waktu yang tepat untuk semua orang memakai kaos tipis dan celana pendek, membiarkan udara sejuk membelai lembut kulit mereka. Tapi di sini, berkat flu. Kyun Gi membungkus tubuhnya dengan pakaian musim dingin.

Secepatnya mobil merahnya berhenti di depan sebuah gedung besar kantor polisi, ia melompat keluar, melangkah tergesa menuju pintu masuk.

Belum lagi pintu itu ia lalui, langkahnya mendadak berhenti, semangatnya turun dan kobaran api di matanya pudar. Mata itu berubah menyipit saat menemukan laki-laki yang ia kenal keluar dari arah pintu kantor polisi.

“Tuan Park?”

Tentu saja, ia terkejut mendapati orang itu muncul di sini saat yang Kyun Gi tahu tuan pengusaha itu sibuk dengan pekerjaannya dan tak peduli pada Jimmy.

Keterkejutan yang terjadi pada Kyun Gi juga terjadi pada Tuan Park “Guru Song?” Panggilan penuh nada heran itu tak begitu Kyun Gi pedulikan, ia lebih tertarik pada alasan apa yang bisa membuat orang tua ini mau membuang waktu untuk mengurus masalah anaknya. Itupun kalau tebakannya benar, kedatangan Tuan Park untuk menyelesaikan masalah Jimmy, bukan justru semakin memarahi anak itu. “Apa yang kau lakukan di sini? Apa polisi memanggilmu juga?”

Kali ini Kyun Gi tak lagi bisa tetap diam. “Aku ingin memberitahu pada polisi bahwa Jimmy tak bersalah. Dan karena kebetulan anda juga di sini, kurasa anda juga harus mendengar cerita yang sebenarnya sebelum ikut menyalahkan Jimmy,” tegas Kyun Gi.

Mengingat betapa keras dan tak perdulinya Tuan Park pada Jimmy, mudah untuk Kyun Gi menduga kalau orang tua ini mungkin langsung mengamuk pada Jimmy setelah mendapat laporan bahwa Jimmy diburon polisi.

Yang luput dari dugaan Kyun Gi hanyalah, sikap tenang yang kini terpancar dari Tuan Park. Lihat saja, setelah keluar dari kantor polisi wajahnya datar seperti tak terjadi apa-apa. Kyun Gi jadi bertanya-tanya apa yang sebenarnya dilakukan tuan ini di sini tadi.

“Tak perlu, aku sudah menyerahkan semuanya pada kuasa hukumku. Dengan atau tanpa keteranganmu, Jimmy tetap akan dibebaskan dari tuntutan.” Kalimat itu menjawab semua pertanyaan di otak Kyun Gi bahkan sebelum ia mengatakannya. Dan kedua manik kecil Kyun Gi melebar, terkejut, takjub dan tak habis pikir. Jadi intinya masalah ini sudah selesai dengan begini saja? Terkadang Kyun Gi lupa betapa kaya dan berkuasanya para orang tua dari murid di sekolahnya. Seperti orang di depannya ini sekarang, ia tak menyangka Tuan Park dengan mudahnya mengandalkan uang, membayar seorang kuasa hukum dan meleyapkan semua masalah hanya dengan satu letikan jari.

Desisan hambar lolos dari bibir Kyun Gi. Ia mendadak teringat fakta yang dikatakan Jimmy tentang ayahnya. Dia menggunakan uang untuk mengendalikan apapun. Dan sekarang uang tuan ini mungkin baru saja mematahkan hukum.

Fenomena yang membuatnya mendesah miris. Mungkin kali ini Kyun Gi tak akan mempermasalahkan itu. Yang lebih mengkhawatirkannya adalah tentang anak dibalik semua kekacauan ini.

Jeremy Park.

Jika semuanya sudah selesai harusnya ia bisa melihat anak itu sekarang bersama sang ayah. Akan tetapi Kyun Gi tak menemukan sosok itu di manapun.

“Di mana Jimmy?”

Bukannya menjawab. Tuan Park justru melempar balik tatapan bingung pada Kyun Gi. “Itulah yang ku tanyakan padamu? Di mana kau menyembunyikan berandal kecil itu?”

“Aku?” Kyun Gi menunjuk dirinya sendiri sebelum ia menyadari sesuatu. “Anda juga tidak tahu di mana Jimmy? Anda tidak tahu di mana anak anda sendiri?” Pertanyaan Kyun Gi mengantung sesaat tanpa jawaban. Pembicaraan keduanya disela oleh asisten Tuan Park yang entah kenapa baru Kyun Gi sadari keberadaannya, laki-laki muda bersurai coklat itu berbisik pada tuannya. Entah apa yang ia katakan, namun bisikan itu membuat wajah Tuan Park mengeras dan melirih gelap “Anak itu ...,” sebelum menghela nafas kasar dan menoleh pada Kyun Gi “Dia mungkin kabur lagi. Asistenku mengatakan pelayan rumah kami tidak melihatnya pulang sejak tiga hari yang lalu. Ponselnya pun tak pernah dijawab.” Tuan Park mengatakan itu dengan tenang dan anggun. “Anak itu selalu saja mencari perhatian.” Sangat berbanding terbalik dengan Kyun Gi yang matanya melebar dua kali lipat.

“Mencari perhatian anda bilang? Dia menghilang! Mungkin dia ketakutan setelah tahu polisi mencarinya!” Bahkan Kyun Gi tak sadar ia sudah histeris sekarang. Ajaibnya reaksi panik Kyun Gi tak berpengaruh pada si tuan di depannya. Kepalanya hanya miring sedikit dengan wajah heran menyaksikan guru aneh di depannya. Seingatnya guru berkulit pucat ini sangat tenang dan tegas kala bertemu dengannya terakhir kali. Sekarang guru ini bahkan tak bisa mengendalikan paniknya.

“Kurasa tidak. Karena polisi baru datang kemarin malam saat ia sudah kabur. Lagipula anak itu tak akan mudah dibuat ketakutan hanya dengan polisi. Dia sudah berulang kali berurusan dengan polisi saat masih SMP. Dan sekarang, karena dia menghilang, aku harus terbang dari LA ke sini hanya untuk mengurus masalahnya.”

Kyun Gi tak lagi mendengarkan, ia sibuk merogoh saku mantelnya untuk mencari ponsel. Ingin menghubungi Se Jin atau Kepala Sekolah atau Tae Yoon atau siapapun yang mungkin tahu tentang Jimmy walaupun sedikit.

Merasa tak diperdulikan lawan bicaranya yang tergesa memencet ponsel, Tuan Park menggeleng sebelum bicara. “Aku akan menyuruh orang untuk mencarinya. Kau tenang saja dan pulang. Yang penting sekarang semua masalah dan kasus hukumnya sudah kuselesaikan. Kalau dia sudah bosan atau uangnya habis, mungkin dia akan pulang sendiri.” Suara itu menghentikan gerakan Kyun Gi yang akan meletakan ponselnya ke telinga. Ia menoleh pada Tuan Park yang mulai berbalik dengan tenang seakan satu kalimatnya itu sudah mampu menyelesaikan segalanya.

Sikap yang memancing sesuatu yang panas merayap ke kepala Kyun Gi. Bagaimana bisa Tuan Park bisa setenang itu saat kehilangan anaknya sendiri. Tangan Kyun Gi mengepal hingga jarinya memutih. Yang terjadi selanjutnya Kyun Gi membuat Tuan Park mengurungkan niatnya untuk pergi dan berbalik menatap Kyun Gi murka setelah mendengar teriakan sang guru muda itu.

“Anda mungkin bisa menyelesaikan kasus hukumnya! Tapi anda belum menyelesaikan masalah prilaku sosialnya!” Kyun Gi bergetar hebat setelah berteriak. Wajahnya memerah parah karena ia menggunakan seluruh tenaga tubuhnya yang sebenarnya masih demam ini. Ia akan merasa lebih demam jika tak menumpahan kemarahannya pada orang tua tak bertanggung jawab ini.

Karena sumpah serapahnya itu, sosok yang menjadi objek teriakannya itu seketika dikelilingi aura gelap. Sepertinya ia telah membuat Tuan Park melampaui batas kesabarannya. Wajahnya mengeras dengan mata siap membunuh.

Sedikitpun Kyun Gi tak menghindari tatapan tajam Tuan Park. Tatapan yang mungkin bisa membuat orang lain bisa bergetar dengan manik hitam itu, tapi itu tak berlaku untuk Kyun Gi yang sudah biasa berhadapan dengan sorot murka itu di mata Jimmy.

Kyun Gi sudah menduga Tuan Park mungkin akan akan balas berteriak, atau memarahinya, atau bahkan mungkin menamparnya. Kyun Gi sudah mengantisipasi apapun itu dan menyimpan erat ketakutannya. Namun yang ia dapatkan hanyalah helaan nafas tipis dan Tuan Park menggeleng untuk kemudian membalikan tubuhnya lagi, memilih tak perduli dengan kalimat Kyun Gi.

Sikap itu terkesan seperti merendahkan Kyun Gi. Menyulut dengan mudah bara di kepala Kyun Gi. Detik berikutnya Kyun Gi bahkan tak bisa mengontrol apa yang keluar dari mulutnya. Semua yang ia inginkan hanyalah mengeluarkan semua amarahnya. “ANDA PIKIR AHLI KUASA HUKUM DAN UANG BISA MENYELESAIKAN MASALAHMU DAN JIMMY? ANDA BENAR-BENAR ORANG TUA YANG GAGAL!”

“JANGAN PURA-PURA TAK MENDENGAR, TUAN PARK!”

“AKU BENCI MENGATAKAN INI. TAPI JIMMY BENAR! ANDA TAK PANTAS DISEBUT AY_,” Kyun Gi melupakan fakta kalau amarahnya kini terlalu besar untuk bisa ditangani oleh tubuhnya yang tengah lemah dan panas tinggi. Akibatnya Kyun Gi kehabisan nafas di tengah sumpah serapahnya. Wajahnya sudah luar biasa merah dan memanas. Kepalanya terasa sangat berat namun seperti begitu ringan sekaligus.

Hal terakhir yang terjadi adalah, Kyun Gi tak lagi bisa melihat dengan jelas bayangan Tuan Park yang menoleh ke arahnya. Laki-laki paruh baya itu menatapnya terkejut sebelum berlari kearahnya dan... BRUKK!!!

Satu-satunya yang bisa Kyun Gi rasakan adalah tubuhnya ditangkap Tuan Park. “Guru Song? Anda kenapa? Guru Song!” Kyun Gi tak lagi bisa melihat sekitarnya, semuanya gelap dan perlahan pikirannya seakan tenggelam sangat dalam seiring matanya yang tertutup.

***

Hal pertama yang Kyun Gi temukan saat membuka mata adalah warna putih di sekitarnya dan wangi obat-obatan yang kuat. Memberitahu Kyun Gi bahwa kini ia ada di kamar rumah sakit. Saat Kyun Gi memaksa otaknya bekerja lebih keras untuk menyadari keadaannya dan memperhatikan sekitar, di situlah ia sadar bahwa ia tak sendirian di ruang itu, tapi bersama seseorang yang terakhir kali ia ingat tengah bersamanya. Tuan Park.

Tanpa suara laki-laki itu bergerak ke arahnya santai dengan tatapan datar saat mengetahui Kyun Gi telah sadar dan mencoba untuk duduk. Ia tak membantu juga tak melarang. “Anda yang membawa saya ke sini?”

“Memang siapa lagi,” singkat Tuan Park, masih sangat datar.

Desahan lelah lolos dari bibir Kyun Gi dan memilih menatap ke arah lain. Meingat-ingat mengapa ia bisa dibawa ke tempat ini. Karena ia tengah sakit, lalu ia berteriak pada Tuan Park hingga melampaui batas kemampuan tubuhnya lalu pingsan. Ada sedikit rasa tak enak hati mengingat kenyataan bahwa orang yang tadi ia teriaki dengan penuh murka kini justru membantunya.

“Maafkan saya,” lirih Kyun Gi tiba-tiba tanpa berani menatap objek yang ia mintai maaf. “Saya hanya terlalu khawatir pada Jimmy, dan di saat yang sama anda justru meremehkan keadaan. Jadi saya terpancing amar_”

“Aku tak mengerti jalan pikiranmu,” potong Tuan Park cepat, sesungguhya ia tak tertarik mendengar ocehan Kyun Gi, ia juga tak perlu permintaan maaf guru ini. Yang lebih menarik untuknya kini justru kenyataan apa yang telah Kyun Gi lakukan pada Jimmy. “Guru mana yang mengeyampingkan keadaannya demi pergi ke kantor polisi untuk membela muridnya. Kau tahu benar kau sedang sangat sakit. Aku bisa merasakan betapa tinggi demammu tadi saat membawamu ke sini. Tapi bukannya perduli pada diri sendiri, kau malah mengurusi masalah orang lain. Keras kepala sekali.” Kalimat terakhir Tuan Park ucapkan setengah berbisik heran.

Karena ucapan itu Kyun Gi melirik sengit pada Tuan Park yang kini enggan menatapnya. Laki-laki penuh wibawa itu hanya berdiri di samping tempat tidurnya santai dengan kedua tangan yang tak pernah keluar dari saku celana.

Beberapa saat yang dilakukan Kyun Gi hanya menatap tuan itu sebelum Kyun Gi lalu mengerutkan kening menyaksikan kilat marah di mata Tuan Park perlahan melembut. Orang tua itu menghela nafas kasar. Helaan yang lebih terdengar seperti teriakan menyerah untuk Kyun Gi.  “Apa kau seperduli itu pada Jimmy?” gumam Tuan Park lagi.

“Memangnya anda tidak?” sambar Kyun Gi cepat. “Sudah saya katakan sejak awal, Jimmy tak bersalah dan saya harus segera meluruskan masalah Jimmy. Dan anda dengan segala kekuasaan yang anda miliki malah menyelesaikan itu dengan instan tanpa memikirkan Jimmy. Jadi apa salah jika saya mengatakan bahwa anda ayah yang_”

“Ada banyak hal yang harus kau ketahui sebelum kau mengkritikku sekasar itu.” Lagi-lagi suara Kyun Gi di potong. Selain hobi mengandalkan uang untuk menyelesaikan masalah, sepertinya Tuan Park juga hobi memotong pembicaraan orang.

Kalimat itu menciptakan raut ingin tahu yang amat besar di wajah Kyun Gi yang hanya dijawab Tuan Park dengan senyum tipis sekilas. “Orang tua yang gagal.” Tuan Park tetap bersikeras tak menatap Kyun Gi saat menggumamkan itu. Namun ia bergerak pelan mengambil tempat di ujung tempat tidur Kyun Gi. “Kau bicara seakan aku tak pernah berusaha pada anak itu.”

“Setelah puluhan kali menolak panggilan kami ke sekolah, melihat anda beradu pukul dengan Jimmy dan sekarang anda sangat tenang saat Jimmy menghilang. Sebutan itu adalah yang terbaik yang bisa saya berikan pada anda,” jawab Kyun Gi santai. Usaha mengendalikan gugup dan menahan sakit tubuhnya berhasil.

“Ini tak sesederhana yang kau lihat. Dia membenciku! Itulah masalahnya!” Mata bermanik hitam yang persis seperti Jimmy itu kembali menyorot tajam pada Kyun Gi.

“Dia membencimu. Karena dia punya alasan. Karena anda tak pernah memenuhi peran anda sebagai orang tua setelah kematian ibunya. Dia merasa anda telah membuangnya.”

“Hanya itu yang bisa kau simpulkan?”

Bahu Kyun Gi terangkat, ia berusaha terlihat tenang  “Itulah yang saya lihat dari mata Jimmy. Dia membencimu karena merasa terlantar.” Tak perlu waktu panjang untuk membuat Kyun Gi sadar apa yang sebenarnya menjadi masalah Jimmy. Meski selama ini Jimmy menyangkal bahwa ia membuat ulah bukan untuk mencari perhatian, melainkan untuk membuat sang ayah pusing dengan kenakalannya saja. Kyun Gi dan pemikiran rasionalnya tetap tak bisa menerima itu.

Jika ia mengingat apa yang Jimmy teriakan pada sang ayah waktu itu. Juga betapa erat Jimmy memeluknya setelah pertengkaran dua Park ini. Kyun Gi, bahwa Jimmy sebenarnya butuh perhatian, perlu tempat besandar setelah kehilangan ibunya, tempat yang sepertinya tak pernah ayahnya berikan. Itulah spekulasi Kyun Gi.

Spekulasi yang dibantah telak oleh laki-laki tua Di depannya. “Bukan. Anda salah besar.” Bantahan itu berlalu tegas dan gelap seakan sangat tak rela dengan tuduhan yang sang guru berikan padanya. Kontak mata mereka diputus sepihak oleh Tuan Park. Ia mendesah kasar lalu menatap kosong langit-langit kamar putih itu. “Akan sangat panjang jika aku menjelaskan segalanya dari awal.”

“Kalau begitu ceritakan dari sekarang, aku punya banyak waktu untuk mendengarkannya.” Bujukan Kyun Gi seakan dorongan pelan untuk Tuan Park kembali ke masa lalunya.

Detik berikutnya, guru dari putranya itu. Orang asing yang baru ditemuinya dua kali berubah menjadi tempat menumpahkan kenangan masa lalu yang berjejalan di otaknya.

“Jika anda mengenal Jimmy lebih awal. Anda tak akan menduga anak itu tumbuh seperti sekarang. Sebenarnya dia anak yang baik. Sifatnya hangat dan ceria. Selalu lembut dengan siapa saja tanpa sedikitpun memiliki keberanian untuk menyakiti siapapun. Itulah yang selalu diajarkan ibunya. Dia dididik menjadi persis seperti ibunya yang juga sangat lembut. Karena itulah juga Jimmy menjadi sangat dekat dengan ibunya. Jika ada orang yang paling ia Sayangi. Itu adalah istriku, ibu dari Jimmy. Berkat Jimmy dan istriku, keluarga kami menjadi hal terindah yang bisa ku dapatkan. Kami semua bahagia dan saling menyayangi dalam kehangatan.”

Sebuah senyum tipis yang mengejutkan Kyun Gi melintas di wajah Tuan Park saat menyebut istrinya. Kyun Gi hanya diam, tak ingin menyela dan membiarkan orang tua ini mengatakan semua yang ia inginkan.

Sayangnya senyum Tuan Park bak bintang jatuh yang menghilang dalam satu kedipan. Wajah itu mengeras lagi untuk kemudian memutus kontak mata dengan Kyun Gi. “Tapi tentu saja. Setiap kehidupan harus menemui kesulitannya masing-masing. Dan itu terjadi pada istriku. Kala itu Jimmy berada di tahun terakhir sekolah menengah pertamanya. Masih terlalu polos dan lemah untuk menerima kenyataan bahwa ibu yang sangat dia sayangi itu mengidap kanker dan tak bisa lagi lebih lama di sisinya.”

Ya, semakin Tuan Park bercerita, Kyun Gi bersumpah garis wajah laki-laki itu semakin tegang. Sangat jelas bahwa Tuan Park sedang berusaha keras mengendalikan emosinya sedihnya sendiri.

“Istriku memutuskan untuk menyembunyikannya dari Jimmy. Ia tahu benar kenyataan itu tak akan bisa Jimmy terima dengan mudah. Ia tak ingin keadaannya membuat anak itu terluka di saat seharusnya anak seusianya selalu hidup bahagia.

Dengan beralasan pekerjaan, istriku pergi ke Paris sendirian dan tinggal bersama perawat pribadinya untuk menjalani pengobatan. Ia tak ingin aku mengikutinya karena itu akan membuat Jimmy curiga. Aku hanya mengunjunginya dua atau tiga kali sebulan. Untuk seorang Jimmy yang lahir dari ibu dan ayah seorang pebisnis besar, ia sangat tahu kesibukan orang tuanya. Ia sungguh tak menduga apapun dan hanya berpikir ibunya akan pergi dan pulang seperti biasa.

Akan tetapi kian hari ibu Jimmy kian lemah, hingga suatu hari ia merasa putus asa dengan hidupnya. Ia sadar ia akan segera pergi dan ia tahu apa yang akan ia tinggalkan. Yaitu aku, laki-laki yang menggantungkan seluruh hidup padanya dan putra lelakinya yang masih tumbuh dan perlu peran orang tua. Ia merasa tak bisa meninggalkan kami begitu saja. Semakin hari ia semakin resah siapa yang akan mengurus kami. Lalu pemikiran gilanya datang. Ia merasa bisa pergi tenang jika melihat kami telah memiliki penggantinya.”

Sepanjang cerita Tuan Park. Tak ada reaksi yang berarti dari Kyun Gi selain menautkan alisnya serius. Sampai satu kata terakhir Tuan Park membuat Kyun Gi menaikan alisnya.

“Pengganti?”

“Singkatnya. Ia ingin aku menikah lagi. Sebelum ia pergi, ia ingin memastikan ada seseorang yang mendampingku dan merawat Jimmy. Dengan begitu ia bisa pergi dengan tenang, begitu katanya.”

Di tempatnya Kyun Gi menatap iba sosok yang kini tengah bernafas berat. Menjelaskan betapa sesak dada orang tua ini saat mengingat masa lalunya. Rasa bersalah mulai mengganggu Kyun Gi. Selama ini ia berpikir Jimmy yang pembangkang itu berasal dari sang ayah yang berhati batu. Sekarang apa yang ia lihat di hadapannya seakan menamparnya. Jimmy dan Tuan Park. Dua laki-laki keras itu ternyata lemah jika sudah menyangkut tentang sesuatu yang mereka sayangi.

Dari cerita Tuan Park tentang ibu Jimmy, Kyun Gi sangat paham mengapa dua sosok keras ini bisa dibuat lemah pada sang ibu. Karena wanita itu punya kasih sayang yang luas. Sekilaspun Kyun Gi bisa menyimpulkan betapa wanita itu menyayangi suami dan putranya. Tak ada wanita yang rela melihat suaminya menikah lagi saat ia sendiri sekarat. Ia masih memikirkan kehidupan sang suami dan putranya padahal ia sendiri tak yakin bisa bernafas ke esokan harinya. Di sini, sisi sensitifnya mulai bisa merasakan sesak yang Tuan Park rasakan.

“Kebetulan saat itu satu-satunya orang yang paling dekat dengannya adalah dokter sekaligus perawat pribadinya. Victoria.” Wajah Kyun Gi bereaksi lagi, merasa mengenal nama itu. Victoria, ibu tiri Jimmy. Kyun Gi mulai bisa menebak alur cerita ini.

“Dan Victoria memiliki semua yang istriku inginkan untuk menjadi pengantinya. Wanita muda yang cantik, lembut dan tulus. Tentu saja awalnya keinginan istriku tak berjalan lancar, perlu waktu panjang untuknya membujukku dan membuat berbagai macam cara agar Victoria menyukaiku. Tapi nyatanya ia berhasil.

Di sisi lain Jimmy tak tahu apapun, tak tahu ibunya sedang sekarat, tak tahu hubungan yang terjadi antara aku dan Victoria. Yang ia tahu hanyalah ia sering melihatku membawa Victoria ke rumah sambil bertanya-tanya kapan ibunya pulang. Bagaimanapun Jimmy tak bodoh, meski ia masih sangat muda namun ia bisa menyimpulkan bahwa ada sesuatu antara kami, dan sesuatu itu mulai ia hubungkan dengan banyak hal tentang ibunya yang tak kunjung pulang. Di saat yang sama kondisi ibu Jimmy semakin  memburuk. Aku terlalu sibuk dengan keadaan ibu Jimmy, keinginannya untuk menyatukanku dengan Victoria dan urusan pekerjaanku sampai-sampai aku melupakaan fakta bahwa di sini ada seorang anak yang merasa terlupakan dan mulai membenciku karena menganggap aku sudah mengkhianati keluarga kami saat ibunya pergi.

Puncaknya terjadi saat hari di mana Jimmy melihat ibunya yang enam bulan lebih meninggalkannya akhirnya pulang dalam bentuk abu. Semua dugaan buruknya seakan mendapat konfirmasi hari itu. Bahwa aku telah mengkhianati ibunya. Pengkhianatan yang membuat ibunya pergi dari rumah. Pengkhianatan yang membuat ibunya terluka hingga meninggal. Jimmy berubah dalam satu malam. Detik itu juga ia menuliskan namaku di otaknya sebagai orang yang paling ia benci dan paling ingin ia hancurkan sampai hari ini.”

Prihatin. Itu terbaca jelas dari raut miris Kyun Gi. Perlahan ia mengerti apa yang sebenarnya ingin Tuan Park katakan padanya. Bahwa semua kebencian Jimmy dan pemberontakannya selama ini punya alasan. Alasan yang telah salah paham.

“Lalu kenapa anda tak mengatakan yang sebenarnya pada Jimmy?” Sepasang manik Tuan Park memandang Kyun Gi lagi sebelum tersenyum hambar.

“Dan dia akan menganggap kebenaran itu hanyalah bentuk pembelaan diriku. Jangankan untuk mendengarkanku, dia bahkan tak lagi menganggapku ada. Sejak kehilangan ibunya dia menganggap dirinya sendirian dan tak ingin percaya pada siapapun lagi termasuk ayahnya sendiri.

Aku bukan tidak berusaha untuk memberinya pengertian. Namun kebenciannya padaku benar-benar membuat hatinya tertutup. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan padanya. Satu-satunya yang bisa kuberikan kini untuk memenuhi kewajibanku sebagai seorang ayah hanyalah materi yang ku punya. Dan ternyata itu justru membuatnya semakin membenciku.

Semuanya terlalu kacau sekarang. Kekacauan yang sejak awal memang kesalahanku. Andai aku bisa mengembalikan segalanya, mungkin aku akan mengatakan yang sebenarnya pada Jimmy tentang ibunya, meski waktu itu ia masih terlalu kecil, nyatanya pada akhirnya ia tetap harus tahu. Bukannya menyembunyikannya dan berakhir menjadi seperti ini. Aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Rasanya aku sudah menyerah padanya.”

Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Jika Tuan Park telah menyerah pada Jimmy lalu bagaimana dengan masa depan anak itu yang mungkin saja hancur jika tak ada yang menuntunnya untuk kembali ke jalan yang benar. Kyun Gi kembali dibuat khawatir sekarang.

“Lalu anda akan membiarkan Jimmy seperti ini selamanya?” tanya Kyun Gi hati-hati. Ia bukan tak mengerti keputus-asaan sang ayah ini untuk memperbaiki anaknya. Namun bukan berarti sang ayah bisa menyerah begitu saja.

Pertanyaan Kyun Gi meluap tanpa jawaban dengan Tuan Park yang enggan untuk menatap sang guru. Dari garis tegang di kening Tuan Park. Sangat jelas kalau ia tengah berpikir keras sebelum orang tua itu akhirnya menghela nafas pasrah. “Memang apalagi yang bisa ku lakukan. Jimmy menolak untuk mendengarkanku. Dia juga menutup diri dari dunia. Satu-satunya orang yang berarti untuknya juga sudah meninggal. Jimmy tak punya siapapun sekarang. Itulah yang yang tertanam dalam pikirannya. Ia sendirian dan rapuh,” jawabnya tenang. Seakan sudah mampu mengendalikan emosi internalnya. Pribadi keras tuan ini perlahan kembali. Ia beranjak dari tempat tidur Kyun Gi. Berdiri santai dengan masih meletakan kedua tangan di sakunya anggun.

“Dan melihatmu yang memperhatikan Jimmy. Sejujurnya aku sangat bersyukur. Setidaknya ada sesuatu yang membuat Jimmy merasa dihargai. Meski jika kau memperlakukannya sama seperti semua muridmu, dan Jimmy juga kerap kali membangkang padamu. Namun saat mengetahui betapa kau bisa mengendalikannya. Aku yakin sedikit banyak ada sisi dari Jimmy yang terbuka padamu.”

Mendadak, ada sesuatu yang mengganjal hati Kyun Gi saat mendengar setiap ucapan Tuan Park. Tanpa bisa ia hentikan otaknya membawa Kyun Gi pada ingatan di mana Jimmy menyatakan cinta padanya. Jemari Kyun Gi di atas paha mengerat mencengkram selimut. Pelan-pelan ia mulai bisa menghubungkan penjelasan Tuan Park dan alasan mengapa kalimat cinta itu tiba-tiba keluar dari bibir Jimmy.

Apa mungkin karena ia satu-satunya orang yang kebetulan memperhatikan Jimmy selama ini? Seperti yang Tuan Park katakan. Jimmy itu rapuh. Jimmy itu sendirian dan kesepian. Sangat mungkin jika ada seseorang yang memperhatikannya, meski jika perhatian itu hanyalah dalam bentuk formal seperti yang Kyun Gi berikan. Jiwa kesepian Jimmy yang sudah terlalu lama sendirian akan dengan mudah menganggap itu sebagai kasih sayang yang serius. Dan untuk kasus Kyun Gi, ia secara tak langsung membuat laki-laki dengan kobaran emosi mudanya itu jatuh cinta. Cinta yang Kyun Gi tebak sangat tak Jimmy pikirkan dengan matang.

Bisakah Kyun Gi menyimpulkan sekarang? Bahwa pernyataan cinta Jimmy waktu itu hanya emosi labil Jimmy yang berlangsung sesaat? Ya, pasti begitu, setidaknya dengan menyakini pemikirannya sekarang ia bisa bernafas sedikit lebih lega dan merasa lebih siap jika harus berhadapan dengan Jimmy lagi nantinya.

“Baiklah, Guru Song.” Suara itu menarik Kyun Gi dari lamunannya. Saat ia menangkat kepala, ia melihat asisten Tuan Park yang entah kapan masuk ke kamarnya sudah berdiri dengan memegang tas dan jas sang tuan.

Laki-laki paruh baya itu mengambil jasnya lalu memakainya sambil bicara. “Aku ada urusan. Jadi aku harus pergi sekarang. Kau istirahatlah. Jangan pergi dari sini sebelum kau benar-benar sembuh. Aku sudah mengurus semua administrasimu sampai kau sembuh total.”

Menyadari Tuan Park mencoba membiayai pengobatannya, Kyun Gi menggeleng panik. “Tidak. Anda tak harus melakukan itu. Aku bisa membayar perawatanku sendiri.”

“Aku tak mengambil lagi apa yang telah ku berikan.” Ucapan yang sedikit sombong itu keluar dengan raut wajah yang kontras oleh sebuah senyum tipis yang ia lemparkan pada Kyun Gi. Setelah itu, tanpa menunggu jawaban Kyun Gi, ia tergesa melangkah keluar. Hanya untuk kembali berhenti di depan pintu dan menoleh lagi pada Kyun Gi.

“Dan satu lagi, Terimakasih telah mengurus Jimmy. Kalau aku boleh mengatakan, aku menggantungkan harapanku padamu. Entah mengapa aku merasa bahwa kau lah satu-satunya orang yang bisa memperbaikinya”

Kata-kata itu. Begitu singkat namun seolah meletakan beban yang sangat besar di bahu Kyun Gi. Ia satu-satunya orang yang bisa membantu Jimmy? Yang benar saja. Jika tuan ini tahu apa yang telah putranya lakukan pada Kyun Gi, mungkin ia akan menyesal telah mengatakan itu. Mengatur perasaannya saja Kyun Gi kesulitan, bagaimana bisa setelah ini ia harus memperbaiki anak itu.

Entahlah, Otak Kyun Gi terlalu kusut sekarang untuk berpikir terlalu jauh. Setelah pintu kamarnya tertutup dan ia sedirian di sana, Kyun Gi melemparkan tubuhnya telentang dengan kedua tangan yang sudah memeras surai pirangnya dan menutup matanya erat.

“Arrgghhhh!” Mungkin sekarang ia sudah terlihat seperti gadis labil dalam drama kacangan. Masa bodoh, ia hanya terlalu lelah sekarang. Rasanya ingin melempar semua masalahnya ke langit, dengan begitu ia bisa mengistirahatkan otak dan tubuhnya terlebih dahulu.

Untuk masalah Jimmy, ia akan pikirkan lagi nanti.


You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 02 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Let Me be Your ManWhere stories live. Discover now