Bab 7: Bad Mood

42 7 0
                                    

╔═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╗
~ HAPPY READING ~
╚═══❖•ೋ° °ೋ•❖═══╝


≪━─━─━─━─=== • ✠ • ====─━─━─━─━≫

Tak terasa waktu menunjukkan pukul satu siang. Ana bermaksud ingin mandi, setelah itu berfoto-foto untuk mengabadikan momen di pantai itu, karena pantai merupakan tempat yang paling ia sukai. Sehingga, ia tak mau perjalanannya jauh-jauh ke sini sampai membohongi orang tuanya berakhir sia-sia.

Namun tiba-tiba, ia melihat Mukhlis seperti orang linglung yang mabuk, bicaranya melantur ke mana-mana, benar-benar sudah tidak nyambung.

Ana yang mengetahui itu pun menjadi bad mood, bahkan ia sampai menangis. Atus menenangkannya dan menyuruhnya untuk segera mandi supaya tidak pulang terlalu sore.

Selesai mandi, Ana merapikan pakaian dan juga rambutnya yang basah bersama Atus, anaknya, dan juga Rafif yang sudah selesai mandi, sedangkan Mukhlis masih mandi.

Lalu Ana pun terlihat sedikit menangis di depan mereka.

“Aduh, Mbak. Kamu emang nggak pernah, ya, ngurusin orang mabuk kayak gini? Makanya kelihatan marah sedih bingung gelisah gini,” tanya Atus terlihat khawatir dengan Ana.

“Iya, emang nggak pernah. Ini tuh pertama kali buat aku, jadi aku kayak kaget aja,” jelas Ana dengan wajah sedih.

“Udahlah, lu gak usah nangis. Kalau lu nangis dan lu buat susah, yang ada tuh malah makin lama rasanya. Mending lu buat santai aja, deh. Atau gak gitu apa yang Mukhlis omongin lu tanggapin aja. Lama-lama dia juga bakal sadar sendiri, kok,” usul Rafif sambil meminum kopi.

Ana cuma mengangguk, lalu bertanya, “Emang tadi dia minum berapa banyak kok sampai mabuk?”

“Ya over, sih. Gua cuma habis satu perempat, sedangkan dia habis tiga perempat sendiri. Makanya sampai kayak gitu, dan kayaknya ini pertama kali buat dia minum sebanyak itu. Dia juga kalau gak sama gua gak pernah minum,” tukas Rafif sambil menyalakan rokok.

Ana pun terlihat gelisah. “Terus ini gimana jalan keluarnya? Ini udah jam dua, loh. Nanti kita sampai rumah bakal sore kalau kita ngulur waktu kayak gini,” tanya Ana terlihat bingung. Ia hanya bisa duduk sambil menunduk.

“Ya kita gak mungkin pulang kalau keadaan dia masih mabuk kayak gitu. Ntar ada apa-apa di jalan, gimana?” jawab Rafif ikut bingung.

“Ya terus supaya dia cepat sadar gimana?” tanya Ana lagi.

“Udah, gua mau beli kelapa muda dulu. Kelapa muda itu cepet buat nyadarin orang mabuk, cepat netralin semuanya,” ucap Rafif sambil berdiri.

“Ya udah, kalau gitu gue titip, ya,” pinta Ana yang terlihat sudah mulai melupakan kesedihannya.

Setelah itu, Rafif pun pergi ke warung sebelah untuk membeli kelapa muda. Meskipun Mukhlis telau selesai mandi dan Rafif menyuruhnya untuk minum kelapa muda, tetap saja Mukhlis tidak sadar secepat itu.

Pukul tiga lebih mereka baru keluar dari pantai, sedangkan jarak tempuh antara pantai sampai ke rumah Ana membutuhkan waktu dua jam lebih. Ana tahu sudah pasti akan pulang sangat sore sekali.

Di perjalanan, Ana teringat perkataan Atus, bahwa orang mabuk jika ditanya apa pun akan jujur. Sehingga saat di jalan, Ana memanfaatkan kesempatan Mukhlis yang masih belum sadar sepenuhnya.

Ia menanyakan mengapa Mukhlis selalu saja mengajaknya berhubungan badan. Padahal mereka masih di bawah umur. Mukhlis mengatakan bahwa ia tahu bahwa itu salah. Namun, ia jujur bahwa ia sudah kecanduan dan rasanya ada yang kurang jika dia tidak mendapatkan itu.

Terlebih ia sudah terbiasa mendapatkannya dari Ana. Ia sangat menyayangi Ana. Ia takut kehilangan Ana.

Dari situ Ana menyimpulkan, mungkin cara Mukhlis mencintainya yang salah. Bahkan ia menganggap bahwa Mukhlis terlalu terobsesi padanya, dan obsesi jauh lebih berbahaya dari sekadar cinta.

Baru sekitar tujuh kilometer dari kawasan pantai, tanpa disangka-sangka motor milik Rafif mogok karena oli mesinnya sudah hampir kehabisan. Sehingga, mau tak mau mereka harus pelan-pelan sambil mendorong motor sampai mendapatkan bengkel.

Pukul empat sore mereka baru mendapatkan bengkel dan membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit untuk mengganti oli.

Setengah lima mereka baru berangkat lagi untuk melanjutkan perjalanan, dan benar saja, saat sampai di kota Kepanjen sudah jam setengah tujuh malam. Ana takut jika orang tuanya akan menginterogasinya. Beruntunglah saat itu kondisi Mukhlis sudah membaik.

Akhirnya pukul tujuh malam Ana telah sampai di rumahnya. Alhamdulillah kedua orang tuanya tidak menanyakan hal yang aneh-aneh.

Saat Mukhlis berada di ruang tamu, ia sudah benar-benar sadar. Ia pun teringat akan make up milik Ana.

“Oh ya, mumpung aku di sini, mana make up kamu?” tanya Mukhlis tiba-tiba.

Dengan berat hati, Ana pun mengumpulkan semua make up-nya. Kemudian ia meletakkannya pada kantong plastik dan memberikannya pada Mukhlis.

“Udah, nih ambil. Puas kamu?” tanya Ana dengan nada sedikit menantang.

“Kok kamu kayak terpaksa gitu? Kamu nggak ikhlas, ya?” tanya Mukhlis lagi.

“Ya aku nggak masalah kalau yang kamu ambil make up hasil aku beli sendiri. Tapi ini ada yang dari uang ibu aku,” jelas Ana dengan sedikit emosi.

“Bodo amat! Kalau aku bilang nggak ya nggak. Mau kamu beli pakai uang kamu atau uang ibu kamu tetap aku buang karena aku nggak suka!” tukas Mukhlis bersikeras.

“Tapi make up ini ini belinya pakai uang, loh.” Ana masih tidak mau kalah.

“Ya aku tahu. Tapi kalau ini udah keputusan aku ya nggak bisa dilanggar, harus terpenuhi ucap,” Mukhlis dengan egois.

Dengan terpaksa, Ana pun menuruti permintaan Mukhlis.

Ya udahlah, mungkin ini emang bukan rezeki aku aja. Semoga kedepannya aku bisa beli make up lagi meskipun sembunyi-sembunyi, batin Ana menahan sakit pada hatinya.

╔═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╗
• • B E R S A M B U N G • •
╚═════ ▓▓ ࿇ ▓▓ ═════╝

Sampai di sini dulu yaa...
Gimana ceritanya? Kalau bagus, jangan lupa untuk vote, comment, and share yaa.... Karena itu gratis.
See you next part😍...

Salam
Eryun Nita

ALANA: Bad Girl VS Bad Boy [End]Место, где живут истории. Откройте их для себя