♥︎♪♫║⑧║♫♪♥︎

26 6 0
                                    

ᴀʀᴇᴀ ᴡᴀᴊɪʙ ᴠᴏᴛᴇ,🌟
sᴜɴɴᴀʜ ᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛ
ᴠᴏᴛᴇ ʟᴀʜ ᴋᴇᴛɪᴋᴀ ᴏɴʟɪɴᴇ
ᴛᴇʀɪᴍᴀ ᴋᴀsɪʜ 🙏💕

🌿 𝐒𝐞𝐛𝐚𝐢𝐤-𝐛𝐚𝐢𝐤 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐚𝐧 𝐢𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐀𝐥-𝐐𝐮𝐫'𝐚𝐧. 𝐌𝐚𝐤𝐚 𝐛𝐚𝐜𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐰𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐡𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐚𝐲𝐚𝐭 🌿

◦•●◉✿ 𝑺𝒉𝒊𝒎𝒂 𝑱𝒊𝒘𝒂𝒏𝒕𝒂 ✿◉●•◦

“Ada yang ingin Tante bicarakan denganmu, Siwi.“

Aku melihat beliau dan menunggu kelanjutan penjelasan.

“Duduklah,” perintah Bu Liana dengan melihat ke arah kursi di sampingnya. “Kita akan membicarakan sesuatu setelah orang itu datang.“

Orang itu? Keningku mengerut. Aku menduga yang dimaksud 'orang itu' pastilah pengacara. Mungkin Bu Liana ingin segera menyelesaikan permasalahan perceraian antara aku dan anaknya.

“Nyonya enggak perlu sampai menyewa pengacara untuk mengurus perceraian antara saya dengan Jiddan,” usulku sembari duduk. “Jiddan hanya perlu mengucapkan talak tiga kali, maka kami pun resmi bercerai. Karena pernikahan kami hanya pernikahan siri. Enggak ada kekuatan hukum negara.“

Itu memang benar. Itu sebab seorang wanita jangan mau dinikahi secara siri kalau ingin mendapatkan hak-haknya selepas bercerai. Bukan berarti aku mendoakan agar suatu saat cerai, tapi dalam kebanyakan kasus kawin sirih, pihak wanitalah yang paling dirugikan.

“Apakah kamu siap jadi janda?“

Aku menahan tawa. “Janda yang belum pernah disentuh dan masih perawan, enggak akan rugi apa pun, Nyonya. Status ini dirahasikan atau diumbar, paling-paling enggak akan ada yang percaya. Beberapa penggemar mungkin mengira saya penggemar fanatik yang ingin menjebak bias mereka. Jadi, ya sebenarnya enggak masalah.“ Sebagai ultimatum agar Bu Liana enggak terlalu khawatir dan percaya, kuberi beliau senyuman.

Bu Liana melihat langsung pada mataku. Sepertinya beliau mencoba menebak isi hatiku melalui pantulan mata. Senyumku semakin paripurna karena pemikiran tersebut.

“Jadi memang enggak ada kejadian apa pun di tenda pengungsian?“

Aku menggeleng pelan sebagai jawaban meyakinkan.

“Kukira karena ada kejadianlah kalian dipaksa menikah?“

“Kalau dikatakan kejadian dengan tanda petik," Kugerakkan dua jari kanan kiri melakukan tanda petik, "mungkin bisa disebut itu, Nyonya. Hanya saja itu fitnah.“ Aku memberi jeda untuk menarik napas dan membuangnya. Ingatan enggak menyenangkan itu kembali begitu saja, dan itu menyesakkan. Aku membenci perundungan yang bahkan alasannya enggak pernah kulakukan. “Kami ditemukan tidur bersama. Saya enggak tahu pasti apakah kami memang berpelukan atau enggak, tapi beberapa orang bilang kami memang melakukannya. Mereka menduga kami melakukan hal mesum di tenda, lantas kami dinikahkan begitu saja.“

Mata Bu Liana seakan mencari celah kebohongan di mataku. Tatapannya begitu dalam. Aku jadi bertanya-tanya apakah beliau memang bisa membaca isi hati sesuai kehaluanku barusan? Ah, lucu.

Aku berkaca ke matanya dan melihat pantulan diriku yang hanya memakai kerudung kaos instan yang dibeli waktu ada diskon besar-besaran di pasar. Sebenarnya kerudung yang kukenakan sudah menipis saking seringnya dicuci dan dipakai. Istilah lainnya: cuci, kering, pakai. Karena memang hanya ada empat kerudung kaos di almari rumah.

Mahar Sandal Jepitحيث تعيش القصص. اكتشف الآن