Bab 13

156 17 3
                                    

SUDAH satu bulan tak terasa aku menjalani aktivitas harianku dengan bekerja. Selama sebulan ini aku sama sekali tidak bersinggungan dengan mas Raffi. Para rekan kerja ku yang taunya statusku single pun mengajak kami -aku dan nara- untuk keluar setelah jam after work sore ini. Rencana nya kami para single akan mengunjungi rumah makan korean food yang kebetulan baru buka sekitar dua mingguan yang lalu. Berdasarkan riset pasar yang di lakukan oleh mbak Ajeng —rekan kerjaku yang hobi nya makan dan gosip— review makanan dati restoran itu lumayan enak menurut teman-temannya mbak Ajeng.

Jadi di sinilah kami sekarang. Mulai berisik dengan menggabungkan dua meja menjadi satu agar cukup untuk kami tempati bertujuh. Tujuh di sini di antaranya ada aku, Inka, mbak Ajeng, mbak Sinta, mbak Salma, mas Yanto, serta mas Danis. Sedangkan para rekan kerjaku sisanya sudah berkeluarga, jadilah biarlah kami yang single-single ini keluar untuk makan bersama dari pada ngah-ngoh ngelamun aja di rumah, begitu menurut mbak Sinta. Yang hobi nya juga sebelas dua belas dengan mbak Ajeng. Lain lagi dengan mbak Salma yang cenderung pendiam dan selalu ngikutin arus aja.

Restoran ini masih belum begitu ramai. Mungkin orang-orang menunggu agak malam untuk datang menyantap menu yang tersedia. Tidak seperti kami yang sudah menghadap menu masing-masing di jam-jam yang terbilang masih bisa di katakan terlalu sore untuk di sebut makan malam. Jam enam kurang lima belas menit kami mulai menyantap menu pesanan kami masing-masing.

"Tak apalah kita makan terlalu sore, habis ini kan kita masih mau ke tempat karaoke. Pulang nya entar cari makan lagi. Gasss lah.. habis gajian juga. Mumpung masih full isi rekening kita.. hahahaha.." begitu penjelasan mbak Ajeng.

"Hari ini Lo gas terus, besok udah ngeluh nanya gajian kapan.." mas Yanto menanggapi mbak Ajeng.

"Eh betewe By the way.. kalian berdua udah ijin nyokap kan kalau pulang nya entar agak maleman. Takutnya ortu kalian nyariin lagi." Tanya mbak Sinta yang tentu saja ia ajukan kepadaku serta Inka

Belum sempat aku dan Inka menjawab, suara mas Denis menginterupsi, "Tenang nanti abang Denis anterin adek-adek ini pulang. Sekalian abang kenalan sama calon mertua abang ya."

Dan bisa kalian tebak mbak Ajeng, mbak Sinta serta mas Yanto dengan kompak melempar tisu bekas mereka ke arah mas De.. ah.. maksud aku ke arah Bang Denis. Sedang mbak Salma hanya tersenyum mengejek.

Ya memang Bang Denis request kepadaku dan Nara kalau dia ingin di panggil Abang alih-alih mas atau pak. Usia nya paling tua di antara kami bertujuh, tapi gosip dari Mbak Ajeng, bang Denis yang paling lama menjomblo akibat gagal move on dari mantan pacarnya. Ah ternyata sad boy juga bang Danis.

"Dasar jayus lo Den, anak baru udah mau lo embat semua aja." Seru mbak Salma galak. Kemudian dia beralih ke arah ku dan Inka, "Untuk kalian berdua jangan sampai hanyut ke rayuan muara lubang buaya ini ya guys."

"Tenang mbak.. kita mah udah hapal betul deh sama sikap bang Denis ini hahaha.. betul kan Rim.." tanya Inka yang ku angguki dengan penuh semangat dan bang Danis kembali mendapat olokan dari teman-temannya.

Begitulah kami memang sering bercanda jika tidak sedang ada pekerjaan yang hectic di kantor.

"Eh tapi kalian berdua udah beneran ijin kan kalau malam ini pulang telat.", tanya mbak Salma dengan lembut.

"Udah kok mbak aman." Jawab Inka langsung.

Sedang aku masih terdiam. Chat ku ke mas Raffi terakhir ku lihat statusnya belum terbaca.

Mereka yang melihatku masih terdiam kembali bertanya, "Belum ijin kamu Rim?", tanya mas Yanto.

"Emmm.. udah kok mas. Cuma belum di baca aja. Udah Wa kok. Gampang lah entar gue kabari lagi." Jawabku.

"Ya udah deh. Yuk kalau gitu kita berangkat ke destinasi yang ke dua yaitu tempat karaoke."

"Lagak lo kayak mau jalan kemana aja bang"

Kami pun berangkat ke tempat karaoke dengan menggunakan dua mobil dan satu motor milik mas Yanto.

Mobil di kendarai oleh mbak Ajeng dan satu lagi oleh bang Denis.

"Oiii kalian cewek-cewek gak ada yang mau nebeng gue apa. Masa gue nyetir sendirian nih sedang kalian berlima."

"Udah gak usah manja lo Den. Gue aja nyetir sendiri diem bae." Hardik mas Yanto sambil bercanda. Sedang kami para cewek-cewek hanya tertawa menanggapi.

"Ya udah deh salah satu atau berdua di antara kalian nebeng sama Denis. Kasian tu bocah entar tantrum di jalan kalau keinginannya gak di kabulin." Seru mbak Ajeng.

"Ya udah biar aku aja yang nebeng mobil Denis. Yuk Rim temenin aku biar gak ikutan gila kalau aku sendirian." Ajak mbak Salma.

Akhirnya kami pun berangkat menuju tempat karaoke yang ternyata juga gabung dengan club malam. Meski tangga untuk akses masuknya beda sih antara ujung kanan sama ujung kiri. Tapi tetap saja kan yang nama nya club malam tempat nya orang mabuk-mabukan. Itu adalah pemikiran kolot ku.

Waktu masih menunjuk pukul setengah delapan. Pantas saja parkiran masih sepi. Karena setahu ku makin malam maka suasana club akan semakin rame.

Pesan yang ku kirim ke nomer mas Raffi sore tadi baru saja mendapat balasan. Hanya satu kata. Oke. Balasan pesan dari suamiku itu. Aku pun hanya membacanya dari notifikasi pop chat yang muncul di layar. Enggan untuk membukanya.

Kami pun akhirnya masuk ke ruang karaoke dan mulai bersenang-senang. Dari suara fals milik Bang Denis hingga suara malu-malu merdu milik mbak Salma berhasil menghibur pendengaran kami. Aku pun tak mau ketinggalan dengan menyumbang lagu lawas milik milik Adele yang berjudul Someone like you. Ya meski tak begitu merdu yang penting kami semua bisa happy.

Pukul setengah sepuluh malam kami baru bergegas keluar dari tempat karaoke. Rencananya aku akan pulang nebeng mobil bang Denis yang memang rumahnya searah dengan lokasi apartemen mas Raffi. Tentu saja kami tak hanya berdua, karena mbak Salma juga Inka ternyata juga searah jadilah kami bertiga menumpang mobil bang Denis yang untung saja di sanggupi oleh pria itu.

Kami menuruni tangga menuju pelataran tempat mobil terparkir masih dengan obrolan atau lebih tepatnya saling meledek suara pas-pasan sewaktu kami bernyanyi tadi.

Baru saja aku ingin menambahi ledekan yang mengarah ke bang Denis, langkah kaki teman-temanku ini mendadak berhenti. Aku yang jalan di posisi paling belakang otomatis ikutan berhenti tanpa tahu apa penyebab teman-temanku ini berhenti melangkah dan mendadak diam.

Aku mulai membelah orang-orang di depanku ini seraya berkata, "Ada apa sih mbak?"

Deg.. jantungku seakan berhenti berdetak ketika melihat siapa orang yang berdiri di depan kami ini. Apalagi suara bass nya yang terdengar di gendang telinga mampu membuat nafasku semakin tercekat.


*
Bersmbung. . .
20.01.2024

Males ah mau ngingetin kalian buat vote🌟
Gak ada juga yang ngehargain aku..🥱🥱
Suka suka kalian deh 💆

AKU BUKAN YANG KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang