Bab 12

132 12 0
                                    

Vote 🌟 dulu yuk baru baca
Makin banyak 🌟 makin semangat ngetiknya...💆



*
Happy reading...

SATU hari telah terlewati dengan aman. Aman di sini ku maksudkan bahwa hari ini aku sama sekali tidak bertemu dengan mas Raffi. Entahlah mengapa aku sangat tidak ingin mas Raffi mengetahui bahwa sekarang kita bekerja di gedung dan kantor yang sama. Mungkin aku hanya belum siap saja. Tapi cepat atau lambat aku pasti akan menceritakannya.

Sepulang kantor rasanya aku kembali lesu. Padahal mengingat semangatku dari pagi hingga sore menyapa di kantor tadi semangatku seakan tak pernah pudar. Senyum sapa ceria selalu aku pamerkan ke setiap rekan kerjaku. Apalagi di hari pertama bekerja aku seakan sudah memiliki tambahan teman akrab yang membuat suasana kerja di hari pertama seakan sangat mudah dan lancar. Rekan kerja senior pun dengan ramah menyambut ku sebagai pegawai baru.

Namun ketika kaki telah menginjak pelataran gedung apartemen, bara api semangat ku seakan hangus lenyap begitu saja mengingat ada wanita lain yang kedudukannya jelas lebih di atasku yang kini berlagak sebagai tuan rumah yang sesungguhnya.

Oh ayolah, bukannya aku cemburu atau pun iri atas perlakuan berbeda yang mas Raffi berikan kepada kami. Bukan juga aku membenci wanita yang sudah mas Raffi pilih bahkan sedari awal sudah mas Raffi inginkan itu. Hanya saja aku lelah dengan sikap suka memerintah dan semena-menanya itu terhadapku.

Apalagi dengan aktingnya yang selalu menyudutkan ku ketika ku beri nasehat.
Dia selalu mengadu ke mas Raffi dengan begitu lebay dan seolah-olah aku yang salah.

Entah kapan ini semua akan berakhir. Kalau di tanya apakah aku capek dan ingin menyerah pada pernikahan ini?. Maka aku akan dengan lantang menjawab iya. Ya aku lelah, capek, jika tidak mengingat ibu Yayuk di rumah mungkin aku akan dengan senang hati meninggalkan pernikahan tidak sehat ini.

Aku adalah istri pertama tapi posisiku seakan tidak ada artinya di mata mbak Likke. Okelah kalau dia tidak menghormati ku. Tapi paling tidak dia harusnya mengerti dong posisinya juga sama denganku, sama-sama istri ma Raffi. Harusnya jika dia tidak bisa membantuku mengurus rumah dan mengurus keperluan mas Raffi, paling tidak dia bisa mengurus keperluannya sendiri. Seperti urusan pakaian dan makannya itu.

Jika tidak bisa mencuci menggunakan mesin cuci ya harusnya dia bawa aja baju-bajunya itu ke tukang laundry. Bukan malah hanya menaruhnya di dalam mesin cuci. Kan waktu giliran aku mau mencuci baru buka tutup mesin cuci isinya udah penuh isinya baju dia semua. Siapa yang gak kesel cobak.

Apalagi request nya soal makanan. Yang kurang ini lah, kurang itu lah, kebanyakan ini, kebanyakan itu, harusnya kasih ini, tambahin itu. Kalau gak cocok di lidahnya kenapa harus lanjut di makan. Kenapa gak masak sendiri atau beli makanan di luar aja. Mas Raffi aja makan masakanku dengan nyaman-nyaman aja. Heran deh.

Gara-gara mengingat dan menggerutu sendiri sedari tadi, aku jadi tidak sadar jika kaki ini sudah melangkah hingga sampai di depan pintu apartemen yang aku tinggali kini. Ku hembuskan nafas kasar lalu ku masukkan kode akses apartemen yang sudah ku hapal itu. Dan pintu pun terbuka.

Melihat rak sepatu dan sandal di samping pintu yang masih belum ada sepatu pantofel hitam milik mas Raffi menandakan bahwa suamiku itu belum kembali ke apartemen. Sayup-sayup ku dengar suara mbak Likke sedang mengobrol dengan seseorang dari arah dapur. Sepertinya dia sedang mengobrol dalam panggilan telepon yang di loudspeaker.

Niat awalku ingin langsung masuk ke dalam kamar dan tentu saja tanpa menyapanya. Namun baru aku mau memegang handle pintu kamar, aku kembali mendengar obrolan mesra mbak Likke yang aku duga bukan dengan mas Raffi.

Aku diam. Mencoba menajamkan indera pendengaran ku. Meskipun menguping bukanlah keahlian ku, namun karena jiwa kekepoan ku sudah bergejolak, maka aku mencoba merangkai kata demi kata dari potongan-potongan beberapa kalimat yang aku dengar saja.

"Gampang......beib.. porotin harta... Cerai.. rencana... Beib... Pura-pura... Love you too beib... Ketahuan... Suamiku.. pulang... Oke beib.. matiin.. babayy..."

Seperti itulah kiranya yang aku dengar dari percakapan mbak Likke dengan lawan bicaranya di telepon. Aku tidak tau dia berbicara dengan siapa tapi yang jelas suara dari seberang telepon itu adalah suara seorang pria.

Sebelum mbak Likke berbalik melihat ke arahku, aku bergegas menekan handle pintu kamarku ke bawah dan mendorong pintu nya agar aku bisa masuk tanpa ketahuan telah menguping pembicaraan nya itu.

Aku duduk di atas kasur tanpa langsung berganti membersihkan diri. Aku masih mencoba memikirkan potongan kata demi kata yang ku dengar tadi. Apa maksudnya, aku masih mencoba merangkai nya menjadi sebuah kalimat dengan tambahan kata yang ku sesuaikan.

Lama otakku bekerja demi merangkai sebuah kalimat yang sesuai hingga kemudian mataku membelalak dan spontan tanganku menutup mulutku yang terbuka tanda aku sedang terkejut.

"Tidak-tidak ini tidak benar. Masa iya?.. tidak. Aku mungkin salah. Tapi jika ku sambungkan. Aku hubung-hubungkan memang kalimat itu yang pas." Monolog ku.

Masa iya.. pikirku.

"Masa iya mbak Likke selingkuh dari mas Raffi. Pria yang kelihatannya sangat dia cintai itu." Kali ini suaraku menyuarakan isi kepala.

"Tapi jika ku gabungkan kalimatnya tadi maka akan kedengaran, Gampang beib, aku tinggal porotin hartanya abis itu ajukan cerai, itu rencana kita kan beib, aku tinggal lanjut aja pura-pura. Love you too beib, matiin teleponnya nanti ketahuan, ini udah masuk jam suamiku nanti pulang. Oke beib matiin babay..."

....seperti itulah kiranya. Tapi masa iya sih mbak Likke selingkuh. Kayaknya perlu aku telusuri lebih lanjut nih. Kalau sampai beneran iya selingkuh, awas aja akan aku laporin ke mas Raffi pokoknya.


*
Bersambung. . .
17.01.2024

Udah 2024 masih sepi aja ceritanya 🥱

AKU BUKAN YANG KEDUATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang