Bab 4

1.2K 69 7
                                    

      Aku termenung dalam diam di sisi ranjang kamarku ini. Dengan cahaya temaram dari sinar rembulan yang masuk lewat sela-sela jendela.

Kembali mengingat pernyataan dari mas Raffi tadi yang belum sempat ku tanggapi. Ya benar, aku belum sempat mengutarakan pendapatku tadi karena ada panggilan masuk di HP mas Raffi.

Dan benar tebakan kalian. Si penelepon di HP mas Raffi adalah kekasih tercintanya, Likke.

Walaupun kini aku berstatus sebagai istrinya, tapi level ku di hatinya begitu jauh dibawah Likke pastinya.

Tentu, aku harus sadar jika pernikahan ini mungkin tidak memiliki masa depan. Bahkan selamanya mungkin mas Raffi hanya menganggapku sebagai adik angkat nya yang tidak lebih tugasnya hanya untuk merawat ibunya.

Aku tahu itu, aku juga tidak ada niat untuk melewati batas itu. Karena memiliki ibu seperti ibu yayuk yang menyayangiku dengan tulus saja aku sudah sangat bersyukur.

Namun entah mengapa ketika mengingat kata SAH dari proses ijab kabul tadi, hati ku tergetar penuh rasa. Entahlah.. aku tidak bisa menjabarkannya lagi.

Ku lirik jam weker di atas nakas samping ranjang menunjukkan pukul 00:55. Tengah malam menuju pagi rupanya hari sudah berganti.

Oke, mari kita hempaskan rasa gundah, gelisah, galau, merana yang sempat mampir ini. Tarik selimut dan pejamkan mata karena tubuh butuh istirahat sebelum kita menjalani hari dengan penuh drama lagi.

Semangat Rima.. kamu pasti bisa..!! Batinku menyemangati diri sendiri.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

Pranggg... Bruukkk...

Suara gaduh seperti benda jatuh yang ki dengar bak alarm yang memaksa ku untuk bangun dari tidur nyeyak ku ini. Mencoba membuka kelopak mata dengan sedikit menyipit khas orang bangun tidur.

Ku lirik jam di atas nakas menunjukkan pukul 07.05 wib.

"Astaghfirullah.. aku kesiangan", seketika bola mata ku melebar dan segera ku sibak kan selimut yang membalut tubuhku.

Ku buka gorden yang menutupi jendela samping dan berlalu menuju ke kamar mandi untuk cuci muka, gosok gigi dan wudhu.

Ya, kalian gak salah. Meski waktu subuh sudah habis sedari tadi, aku akan tetap menjalankan ibadah sholat subuh ku dan kemudian sholat dhuha sekalian.

Setelah selesai sholat ku simpan mukenah dan sajadah kembali ke gantungan dalam lemari. Ku rapikan kembali tempat tidur, ku buka HP untuk melihat barangkali ada notifikasi penting meski nyatanya nihil.

Ku sisir rambutku agar sedikit rapi kemudian aku keluar kamar dan mencium bau-bau seperti bau gosong dari arah dapur.

Dan disini lah si tersangka yang sedang sibuk di belakang kompor yang menyala dengan api besar. Di atas kompor ada wajan yang sedang menggoreng telur mata panda, ahhh maksud aku telur mata sapi yang sudah hitam alias gosong.

"Mas.." mas Raffi berjengit kaget ketika ku tepuk pundak nya.

"Ngapain coba masak sendiri begini.. kenapa gak bangunin Rima aja dari tadi mas. Maaf aku kesiangan, alarm aku kayaknya gak bunyi deh".

Terlihat mas Raffi mengambil nafas dalam untuk kemudian di hembuskan lalu berkata, "Aku kira masak telur goreng gampang, ternyata dari tadi gak ada yang berhasil".

"Telur pertama belum sempet aku buka udah jatuh aja, telur kedua aku goreng pas aku balik malah jatuh lagi beserta wajannya, telur yang ketiga malah jadi gosong kayak gini. Padahal persediaan di kulkas udah habis".

"Nyoba goreng telur emang ada nasi?", ujarku sambil membuka penanak nasi yang menampilkan nasi putih yang masih terkepul mengeluarkan uap panas.

"Ada, tadi aku coba masak nasi dan berhasil, yah not bad lah masih bisa di makan", jawab mas Raffi kalem.

Ku buka pintu kulkas dan melihat isinya, seingat ku masih ada sayur dan sosis mungkin aku masih bisa membuat nasi goreng.

"Mas Raffi mandi dulu deh sana, biar Rima masak kan nasi goreng sama nanti buatin bubur sekalian buat ibu, nanti selesai makan kita ke Rumah sakit kan?", Tanyaku yang hanya dapat respon anggukan sebelum mas Raffi kembali menghilang menuju kamarnya.

--
--

Sekarang di cuaca yang sedang panas-panasnya di tengah hari ini kami sedang dalam perjalanan menuju Rumah sakit untuk mengunjungi ibu.

Masih sama seperti semalam, suasana di dalam mobil terasa hening. Tidak ada yang berniat untuk memulai pembicaraan.

Bedanya mungkin jika semalam aku merasa gugup atau cenderung masih belum bisa menganggap pernikahan kami itu nyata, sekarang aku diam karena aku sedang marah kepada mas Raffi.

Kalian tanya kenapa aku marah ke mas Raffi?. Oke baik aku ceritakan kejadian tadi pagi yang membuat kami sedikit kesiangan --ah salah tapi ini emang sudah siang-- menuju Rumah sakit.

Jadi begini ceritanya, pagi sewaktu kami sarapan nasi goreng bersama tiba-tiba terdengar suara bel rumah yang berbunyi menandakan ada tamu berkunjung.

Di piring ku masih terdapat separuh nasi goreng, bahkan aku masih baru memakan beberapa suap sedang mas Raffi sudah selesai dan sedang menikmati secangkir kopi nya sambil memeriksa Hp nya. Entah mungkin memeriksa pekerjaannya atau sedang chatting dengan kekasih pujaan hatinya.

Karena ku lirik mas Raffi tidak ada niat beranjak untuk membuka pintu depan, akhirnya akulah yang beranjak dari kursi ku meninggalkan nasi goreng yang lagi lahap-lahapnya ku makan.

Coba kalian tebak, siapa tamu istimewa yang membuatku harus meninggalkan nasi goreng hangatku demi membukakan pintu?.
Yup betul, si tamu istimewa ternyata kekasih dari suamiku.

"Raffi mana? Minggir dong adik pungut, gue mau masuk". Ujarnya tanpa salam dan berlalu masuk ke ruang tamu sambil memanggil nama mas Raffi.

"Sayang.. Raffi.. Raffi sayang, kamu di mana?". Panggilan dari Likke membuat mas Raffi beranjak dari kursinya dan menuju ke ruang tamu.

"Likke ngapain kamu pagi-pagi udah di kesini," ujar mas Raffi kepada Likke, sedang aku hanya diam bak penonton.

"Aku kangen lah sama kamu, makanya aku nyamperin kamu ke sini. Aku denger ibu kamu lagi sekarat ya, ada di rumah sakit kan sekarang?. Jadi kita bisa keluar jalan-jalan tanpa ketahuan ibu kamu yang sudah tua itu". Kata Likke sambil bergelayut di tangan kiri mas Raffi.

Apa katanya tadi, sekarattt, itu mulut gak pernah di sekolahin apa ya.

Aku maju ke depan, ku tarik tangan Likke hingga terlepas dari gelayutan lengan mas Raffi.

Entah sumpah serapah apa aja yang aku keluarkan untuk memaki nya. Yang jelas aku begitu marah ketika Likke dengan enteng mengatakan ibu sedang sekarat, karna aku yakin ibuku pasti akan sembuh.

Aksi saling jambak pun tak terelakan. Kami bahkan sempat jadi tontonan tetangga yang sedang lewat depan rumah. Hingga mas Raffi melerai pertengkaran kami.

Mas Raffi menyuruh ku masuk, dan dia terlihat mengobrol dengan bisik-bisik dengan Likke, yang sempat aku dengar Likke sempat bicara akan membongkar rahasia mereka ke aku dan ibu. Yang mana bila ibu sampai mendengar rahasia itu entah apa yang akan terjadi pada ibu.

Dan begitulah, setelah bicara singkat dengan Likke mas Raffi masuk ke rumah untuk mengambil kunci mobil dan berpesan padaku untuk menunggunya di rumah karena kami akan pergi ke Rumah sakit bersama.

Ia kemudian dengan mobilnya melaju keluar bersama Likke yang duduk di sampingnya yang aku tebak mungkin mas Raffi akan mengantarnya pulang.

Dan itulah alasan kenapa kami bisa sampai siang begini..


1114 kata
Curcol..
Setelah lama pikiran buntu tentang cerita ini, tiba-tiba baru tahu cerita nya bisa masuk peringkat ke 5 #adikangkat. Jadi auto semangat lagi mau lanjutinnya.

Semangatin aku dong dengan tekan ⭐ dan jgn lupa komen nya juga🤗
Saran dan kritik di persilahkan..
See you again...

07.01.2023
19:55 wib

AKU BUKAN YANG KEDUAWhere stories live. Discover now