1. Kisah Kelana

47.2K 2.8K 301
                                    

Bulir-bulir keringat sebesar jagung yang menempel di dahi serta seluruh jengkal kulitnya, langsung diterpa hawa pendingin ruangan yang beku menusuk, tatkala Rex memasuki kamar tidurnya.

Mengambil handuk kecil yang tersampir di bahu, Rex menyeka keringat hasil gym di wajahnya, seraya menutup pintu kamar.

Dipandanginya siluet tubuh perempuan yang terbaring lelap di atas tempat tidur. Bibir tipis Rex mengurai senyum lembut. Dihampirinya tempat tidur itu dengan hati-hati, duduk di tepinya, dan terdiam memandangi wajah cantik yang menempel di bantal itu.

Masih mengenakan pakaian tadi siang, satu lengan perempuan itu terjulur melewati batas selimut, menampakkan noda-noda cat yang mengotori ujung jarinya yang lentik. Aroma samar Lazy Sunday Morning terhirup sopan—tidak menusuk, lembut, menyegarkan.

Rex kembali tersenyum. Segenap rasa lelahnya sirna setiap kali ia memandangi wajah lembut sang kekasih. Tidak tahan melihat beberapa anak rambut yang terjatuh menutupi pipi, tangan Rex segera terulur untuk merapikan, tapi sentuhan itu  justru membangunkannya.

Sang kekasih menggeliat sedikit, membuka sepasang mata indahnya yang memiliki bulu mata alami terlentik yang pernah Rex lihat, lalu memberi sorotan sayu kepadanya.

Rex terpesona. Masih sama seperti sepuluh tahun lalu saat mereka bertemu pertama kali, atau lima tahun lalu saat Rex pertama kali menciumnya, rasa sayang yang sama masih mengakar kuat di hati Rex. Tidak pernah berubah.

Untuk Kelana, sang kekasih, Rex merasa seperti pecinta sejati yang tidak akan pernah kehabisan cinta. Jika ia bisa mengumpamakannya, maka rasa sayangnya kepada sang kekasih seumpama langit. Tiada berbatas. Rex bisa memberinya setiap saat jika sang kekasih meminta, atau tanpa meminta sekali pun.

Bersama dengan rasa sayangnya yang muncul meluap-luap, secuil rasa bersalah mengendap-endap masuk tak terhalang. Lapisan gelap itu membungkus benak Rex, meyakinkan dirinya bahwa ia bukanlah kekasih sempurna.

"Aku ketiduran," gumam sang kekasih. "Udah jam berapa ini?"

Rex mengusap kepalanya. "Kamu pasti capek. Kita dinner yang dekat sini aja, nggak usah jauh-jauh. Aku abis treadmill, mau mandi dulu. Kamu lanjutin tidur aja."

Kelana, nama sang kekasih, menjawab dengan gumaman kecil sebelum kembali menutup kelopak matanya yang lelah.

Rex mengusap kepala itu untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan tempat tidur menuju kamar mandi.

***

"Untuk pameran perdana kamu yang sukses." Rex mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.

Duduk di hadapannya, Kelana Mahesa, tersipu dengan bibir terkatup rapat-rapat. Gelas itu ikut diangkatnya, tapi tak kunjung didentingkan.

"Bukan pameran aku, Rex." Suaranya melantun kecil dan malu-malu. Khas Kelana, entah saat dipuji maupun tidak.

"Tetap, yang penting ada satu lukisan kamu di sana. Dan seingat otak awam aku yang nggak melek seni ini, enggak semua pelukis bisa tembus Central Galeri," Rex segera menuding telunjuknya ke depan, mencegah Kelana kembali menyangkal. "Please jangan bilang semua ini berkat belas kasihan Julian. Semua ini berkat bakat dan kerja keras kamu sendiri, Lana."

Sang kekasih tersenyum—masih terlihat sangat malu—lalu mendentingkan gelas mereka bersama.

Kelana layak disanjung karena ia memang berbakat dan selalu bekerja keras. Persetan orang-orang yang mengatainya maju berkat koneksi.

Seorang waitress mendatangi meja mereka dengan dua piring makan. Masing-masing diletakkan di depan mereka—Bistecca di Wagyu yang terlihat menggiurkan. Potongan daging sapi Wagyu tebal yang diletakkan di atas tumpukan mashed potato hangat dan disiram lelehan mushroom sauce yang legit, sudah siap disantap.

14Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang