028: Semua Tampak Salah

4.5K 616 1K
                                    

Hujan yang berisik akhirnya mereda, meninggalkan rintik-rintik di luar sana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hujan yang berisik akhirnya mereda, meninggalkan rintik-rintik di luar sana. Namun, deru angin masih berembus kencang. Pria itu akhirnya berani untuk keluar ke balkon, dari lantainya ia bisa melihat kendaraan yang masuk ke basement apartemen. Sejak tiga jam yang lalu, motor scoopy milik Nara tak kunjung terlihat.

Danish melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir pukul sepuluh malam.

Kamu di mana?

Sambil bersendekap tangan di dada, Danish awas menatap bawah untuk mencari keberadaan motor istrinya. Kejadian tadi siang membuat hubungan mereka semakin memburuk setelah kejadian semalam. Danish belum sanggup menjelaskan, belum siap malah. Namun, keadaan terus terusan mengantarkan ia pada situasi yang mau tidak mau, siap tidak siap, harus menjelaskan alasan yang sebenarnya mengapa ia setuju dengan perjodohan mereka.

Kakinya kembali keluar ke balkon, kepalanya kembali mendongak ke bawah. Belum ada tanda-tanda Nara pulang. Lagi, pria itu mengembuskan napas pelan.

"Lo ngebentak Nara? Gila, lo, ya?"

Danish memutar ingatannya tadi sore sebelum pulang dari kantor, Marvin mendampratnya. Kantor tiba-tiba berisik dengan desas-desus di hari pertama pengantin baru itu masuk kantor, sampai akhirnya gosip itu terdengar di telinga Marvin. Pak Danish membentak istrinya karena berisik, padahal itu masih jam istirahat dan yang berisik bukan Nara saja. Sepertinya mereka ada masalah.

"Ada masalah kalian?"

"Hm. I kissed her."

"Bagus, dong."

"And than i left her," sambung Danish.

"Babi kau!" umpat Marvin.

Helaan napas panjang Danish membalas umpatan Marvin. Tidak ada kalimat yang mampu membalasnya karena memang benar pria itu keterlaluan pada istrinya sendiri.

"Jangan bawa masalah pribadi ke kantor, kayak bukan lo aja."

Ada satu hal yang Danish tidak mengerti, itu... apa yang Marvin katakan. Seperti bukan dirinya saja membawa masalah pribadi ke kantor dan melampiaskan karena punya otoritas sebagai atasan Nara.

"Kamu inget, nggak, sih, dulu aku sama Isabel kayak gimana."

"Isabel aja tuh pikiran. Hus, hus, istigfar dah punya bini lo pikun apa?" Marvin mengibas-ibas wajah Danish dengan map di mejanya.

"Bukan, bukan itu maksudku." Danish membenarkan posisi berdirinya lebih menghadap ke Marvin yang duduk di kursinya, "Waktu aku pacaran sama Isabel dulu, aku bener-bener mampu buat nahan hasrat buat nggak nyentuh dia. Inget, nggak?"

Marvin mengangguk. "Isabel sampai nangis-nangis karena lo selalu ngehindar. Dia harus nunggu dua tahun buat dapet ciuman dari lo."

Ciuman itu tidak berdasarkan pendirian Danish yang lemah, tetapi karena situasi Isabel yang sedang sulit dan ingin menyerah kuliah kedokteran. Danish berpikir bahwa 'ciuman' yang selalu dinanti Isabel dapat menghiburnya.

Hello, JodohWhere stories live. Discover now