❇Bagian 21➖Sakit❇

5.5K 560 26
                                    

Keesokan paginya, kami bersiap-siap untuk pulang. Kembali menggunakan pakaian lama kami. Tak terbayang, jika kami tidak mengganti kembali pakaian. Berapa banyak pakaian yang harus Janu keluarkan untuk kami.

Terlebih lagi, pakaian yang aku pakai, pakaian pasangan. Bukan kah, akan aneh jika aku terus menggunakan pakaian tersebut?

Saat akan pulang seperti ini, berat rasanya harus meninggalkan tempat ini. Tetapi, pas giliran mau nginep, gak tahan pengen pulang. Aneh...

"Kong, kita pulang dulu, ya!," ucap Aldo berpamitan, disusul olehku dan kedua kawanku yang lain.

"Iya. Iyang juga pamit pulang dulu, ya. Maaf udah direpotin. Dan makasih juga, udah mau direpotin," kataku, tak lupa mencium tangan sebagai salam perpisahan.

"Ih apaan, sih. Engkong malah seneng. Jadi rame. Sering-sering deh main ke sini. Biar si Janu ada temannya. Sendirian mulu, kasian," ucap Engkong.

"Iya, Kong. Kapan-kapan kita main lagi ke sini," Aldo yang menjawab.

Tanpa berlama-lama, kami pun segara melanjutkan perjalanan. Tapi sayang, Janu sudah lebih dulu pergi sekolah, hingga tak sempat untuk berpamitan.

Saat di perjalanan pulang pun, tidak mendapatkan hambatan, seperti saat keberangkatan —aku yang merasa mual. Sekarang, aku merasa jauh lebih baik. Bahkan, aku bisa menikmati pemandangan di luar kaca. Itu adalah sebuah hamparan hutan pinus, yang memberikan kesan tenang. Dan, pada saat itu, Aldo tiba-tiba mengajakku berbicara.

"Yang," Katanya, yang duduk belakang, sedangkan diriku memilih untuk duduk di depan. Tapi posisinya tepat di belakangku.

"Em," jawabku, masih melihat ke arah luar kaca —yang semakin dilihat, semakin ikut terbawa ketenangan yang diberikan oleh hutan pinus.

Namun, apa yang Aldo katakan membuatku tidak bisa lagi merasakan ketenangan dari hutan pinus.

"Lo cantik, ya, sekarang," Katanya yang membuatku berbalik, melihat ke arahnya, terkejut.

"Yang bener aja, masa gue cantik! Ganteng, iya!," kataku protes akan ucapannya dari Aldo yang tiba-tiba aneh seperti itu.

"Tapi emang bener, sih. Aura lo sekarang beda," Ujang ikut berkata tidak masuk akal.

"Cantik, gimana sih?!," kataku, dan pada akhirnya aku panik sendiri.

"Ya, gak tau. Beda aja pokoknya," kata Aldo, yang tidak jelas sama sekali.

"Udah lah.. pokoknya, sekali lagi gue denger, lo pada bilang gue cantik, gue ngambek!," kataku mengancam. Karena aku merasa kehamilanku mulai tercinta oleh mereka.

Melihat kembali pada perutku yang memang sudah mulai membesar, sudah tidak ada waktu lagi untukku tetap bersama mereka. Aku harus segera mempersiapkannya.

Sebenernya, aku tidak kesal saat mereka mengatakan diriku cantik karena, pertada, jika perutku besar nanti, orang tidak akan curiga. Tetapi, saat mereka yang mengatakannya, aku juga merasa kurang nyaman. Entahlah

Setelah itu, topik akan aku yang terlihat cantik, mereka tidak lagi membahasnya. Dan, aku juga kembali melihat ke arah luar kaca.

Kini, saat kembali melihat hutan pinus yang tenang, aku merasa ikut tertarik ke dalam sana, dan seperti terikat oleh sesuatu. Berteriak sekencang apapun, tidak akan ada yang mendengar. Bertahanpun, rasanya menakutkan. Dan, pada akhirnya, aku memutuskan untuk tidur.

Sesampainya di rumah. Hari masih siang. Ada waktu beberapa jam lagi untuk pergi bekerja.

Pada saat aku membuka pintu rumah, seseorang seperti sedang menungguku pulang.

𝐓𝐨𝐮𝐜𝐡 𝐌𝐞 (𝐌𝐢𝐭𝐨𝐬) 𝐌-𝐏𝐫𝐞𝐠Where stories live. Discover now