diabaikan(2)

3 0 0
                                    

aroma masakan tercium sampai ke setiap sudut apartemen. perempuan itu sudah sangat yakin dengan masakannya malam ini, rasanya enak dan tidak akan kalah dengan masakan dari restoran Chinese yang biasa Ben kunjungi. dengan senang Lana menuangkan makanan tersebut ke piring putih yang dia baru beli minggu lalu dari IKEA.

Lana menatap jam tangannya, sudah jam 6.30 malam dan Lana langsung membereskan alat-alat memasaknya dan lari ke kamar mandi. Lana menutup pintu kamar mandi, menyalakan showernya dan membasahi tubuhnya di bawah shower. Lana menggosok kulitnya, buih-buih dari sabun mulai memenuhi kulitnya. Lana meraih sebotol shampo, dia menggosok rambutnya agar tidak bau asap masakannya barusan. dia benar-benar berusaha sebersih mungkin, dia tidak mau membuat Ben tidak ingin menyentuhnya malam ini.

Lana mengeringkan rambutnya, menyemprot rambutnya dengan parfum rambut dan menata rambutnya sebaik mungkin dengan catokannya. wajahnya pun dia rias dengan make up tipis, dia tahu betul kalau Ben tidak suka dengan perempuan yang menor, jadi Lana merias wajahnya sebaik mungkin dan senatural mungkin. Lana menarik sebuah gaun tidur satin pendek berwarna rose gold dari dalam lemari dan segera memakainya, lalu dia menatap dirinya di depan cermin panjang sambil tersenyum.

"aku siap ketemu Ben" katanya pada dirinya sendiri sambil berputar di depan cermin dengan centil

jam menunjukkan pukul 8 malam, Ben tidak mengabarinya sama sekali dan belum hadir di meja makan Lana yang sudah dia dekorasi sebaik mungkin ala fine dining dengan lilin putih di tengahnya dan botol wine mahal yang Lana beli. Lana sudah mengirimi Ben pesan sejak 30 menit yang lalu. namun Ben tidak menghubunginya kembali, bahkan untuk membaca chat Lana pun tidak.

'mungkin dia masih sibuk di kantornya... dia sering lembur sampai larut malam' Lana membatin sambil menatap masakannya yang mulai dingin. Lana berdiri, memanaskan lagi masakannya dan kembali menaruh masakan tersebut keatas meja dalam keadaan panas.

sudah 3 jam Lana menunggu, sudah belasan chat dia kirim kepada Ben, dan sudah berkali-kali perempuan tersebut menghubungi Ben, tapi Ben tidak meresponnya sama sekali. Lana menghembuskan nafasnya, dia membiarkan makanannya dingin di atas meja dan Lana berjalan ke balkon seraya menyalakan rokoknya dan memegang sebotol wine yang dia beli khusus untuk Ben.

Lana sadar betul kalau saat ini Ben tidak mungkin  datang dan makan malam di tempatnya. sudah jam 11 malam dan Ben pasti sudah makan di luar sana. dengan putus asa Lana menatap layar handphonenya. dia tidak bisa menangis, takut kalau-kalau hal itu membuat riasannya berantakan. masih ada harapan di hati Lana agar Ben menemuinya, mungkin sekedar datang dan menyapa lalu pergi. tapi tidak ada, sama sekali tidak ada balasan chat dari Ben.

wine di tangan Lana sudah habis setengahnya, dan beberapa puntung rokok mengisi asbak kaca milik Lana. perempuan itu menghembuskan nafasnya, merasakan setiap tekanan di dadanya yang terasa menyesakkan. 'mau sampai kapan aku begini?' tanyanya dalam hati sambil menatap gedung-gedung pencakar langit yang masih bersinar terang.

handphonenya berdering, nama Ben ada di layar dan Lana langsung meraih handphone itu dan mengangkat telefon dari Ben.

"halo Lana?"
"hai sayang... dimana kamu?" jawab Lana yang saat ini bisa mendengar suara bising dari sebrang.
"aku di bar sama beberapa karyawanku... aku malam ini gak bisa ke apartemenmu... aku terlalu mabuk untuk pergi ke apartemenmu" jawab Ben dengan suara berat, terdengar jelas kalau Ben saat ini tengah mabuk berat.

Lana menghembuskan nafasnya dengan cemas "apa aku boleh jemput kamu?" tanya Lana, "gak usah... aku bakal minta karyawanku untuk nyentir mobilku dan antar aku ke rumah" jawab Ben, terdengar beberapa suara orang mengobrol dari sebrang.

"baiklah baby, jaga dirimu baik-baik" kata Lana dengan lesu, ada rasa kecewa di hatinya. namun hal ini bukan pertama kalinya, Ben sering membatalkan rencana mereka secara sepihak secara tiba-tiba seperti saat ini.
"yeah... bye" ucap Ben seraya mematikan telefon.

Lana menaruh handphonenya keatas meja, dia menghembuskan nafasnya dengan berat dan membereskan meja makannya. makanan-makanan tersebut dia taruh ke dalam kulkas, sisa winenya dia masukkan ke dalam kulkas juga. Lana mulai mencuci panci-panci yang kotor, dia membersihkan dapurnya dan menghembuskan nafasnya dengan galau saat dia selesai dengan pekerjaan membersihkan apartemennya.

riasan make up yang dia buat di wajahnya dengan sangat teliti, dia hapus dengan kasar. hatinya teriris lagi dengan perlakuan Ben. rasanya dia menyesal karena sudah berusaha dengan keras untuk menyenangkan Ben. karena nyatanya Ben tidak akan pernah puas dengan apapun yang dia lakukan.

'harusnya aku gak nangis lagi, tapi kenapa sekarang aku masih bisa nangis sih?!' Lana mulai memaki dirinya sendiri, air matanya menetes deras tanpa isakan dari mulutnya. air mata tersebut dia lap dengan tissue, dan dengan putus asa Lana melepas gaun satin tersebut dan menggantinya dengan baju tidur kesukaannya. kaos abu-abu, celana pendek sepaha yang longgar. Lana tidak akan pernah berani menggunakan baju tidur sederhana itu, sebab dia tahu kalau Ben pasti akan kehilangan minatnya untuk meniduri Lana saat Ben melihatnya dengan pakaian seperti itu.

Lana memejamkan matanya, menarik nafasnya dengan gemetar lalu memeluk gulingnya dengan erat. dia tidak tahu harus cerita kepada siapa soal sakit hatinya, sebab teman-temannya sudah sibuk dengan kehidupan mereka masing-masing. semua teman Lana sudah menikah, hanya Lana sendirilah yang belum menikah. Lana bisa saja menelfon teman-temannya, tapi dia tidak mau mengganggu kehidupan teman-temannya.

desiran nyeri di dadanya tidak reda meskipun Lana mencoba untuk mengalihkannya, dia tidak tahu harus berbuat apa, jadi dia berjalan ke dapur dan melahap masakannya yang sudah mulai dingin.

makanan untuk Ben yang kini menjadi dingin membuat Lana meneteskan air matanya lagi. seharusnya dia bisa makan bersama Ben, membahas soal kegiatan mereka hari ini di kantor dan di rumah sakit. tapi nyatanya, Ben tidak hadir dan membiarkan Lana menangis seorang diri seperti orang bodoh di ruang makannya. masakannya terasa dingin, sedingin sikap Ben padanya. dan Lana tidak memiliki niat untuk memanaskan makanannya lagi, dia menelan semua sikap dingin Ben dan makanan dinginnya dengan hati yang bersedih.

Love Is In The HeadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang