4 | Intrepide

Mulai dari awal
                                    

Berusaha mengabaikan Nata di seberang yang menahan tawa seolah meledeknya.

•••

Kebisingan di depan rumah yang entah siapa mereka, sungguh, sangat mengganggu waktu istirahat Irfan. Saat pintu utama dibuka, Irfan langsung diserbu oleh ibu-ibu kompleks yang saling memaksa agar makanan pemberian mereka diterima Irfan. Ada enam ibu-ibu yang saling membangga-banggakan masakan masing-masing agar Irfan mau menerima rantang salah satu dari mereka.

Kejadian ini memang bukan untuk pertama kali setelah Irfan dan anaknya pindah lagi ke sini. Dan bukan untuk pertama kalinya juga Irfan merasa risih. Sudah biasa. Bahkan tidak hanya di rumah, saat dirinya bekerja juga banyak yang memperebutkannya. Dan Irfan sama sekali tidak tergoda. Biarpun begitu, sikap ramahnya tidak pernah hilang, seperti menghormati dan menghargai setiap hal kecil yang mereka beri.

Teriakan lantang Rea dari dalam seolah sihir, mampu membuat ibu-ibu terkejut mundur. Makanan mereka ditinggal begitu saja. Amukan Rea merupakan kekuatan bagi Irfan yang sangat berguna untuk mengusir siapapun yang mengganggunya. Gadis itu tahu tujuan ibu-ibu tadi ke rumahnya. Padahal, salah satu di antaranya sudah punya suami.

Ada dua dugaan dalam hati Rea kalau mereka tidak mengincar harta, ya terpesona dengan ketampanan dan penampilan ABG Daddy-nya. Makanya Rea tidak akan pernah merestui Irfan dengan ibu-ibu genit pengincar harta seperti tadi. Bahkan siswi-siswi remaja genit di sekolahnya sekalipun. Karena satu-satunya wanita yang paling pantas untuk ayahnya dari dulu adalah wanita yang selalu dia panggil dengan sebutan 'Mommy'.

"Makannya kalo Daddy nikah lagi, kan kamu jadi keurus." Begitu jawaban Irfan ketika Rea mengeluh bosan selalu di rumah sendirian saat pulang sekolah.

Mendengar jawaban itu pun Rea mendelik tidak terima. "Daddy!"

Irfan tertawa jenaka saat fokus menyetir. Jelas jawabannya tadi hanya bercanda saja. "Iya, iya, enggak. Daddy becanda." Rambut Rea diacak-acak asal ketika mobil yang mereka kendarai berbelok. Jalan raya sore itu terlihat sangat ramai seperti biasa, tapi beruntung bagi mereka karena tidak macet.

"Mau makan apa?"

Rea memang sedang tidak sudi menerima makanan dari ibu-ibu kompleks tadi. Irfan menurut saja waktu Rea mengajaknya makan di luar. Meskipun demikian, Irfan tetap saja menyantap makanan pemberian orang lain walaupun dinikmatinya waktu malam hari. Pria itu tidak pernah tidak menghargai setiap pemberian orang lain. Ditambah sifat ramahnya, mungkin itu yang membuat siapa saja tertarik mendekatinya.

"Apa aja, deh, serah. Yang penting bukan dari ibu-ibu genit," balas Rea cuek.

Irfan tertawa pelan. "Oke."

"Daddy tuh gimana, sih? Kenapa coba Rea harus sebangku sama orang paling pinter?" Akhirnya gadis itu protes mengingat tempat duduknya di sekolah yang tidak sesuai ekspektasi. "Kenapa nggak Rea aja yang milih, sih? Mana nggak bisa pindah lagi, udah nggak ada yang kosong."

"Emangnya kenapa, Re? Kamu nggak nyaman? Kan kalo pinter, kamu jadi bisa ketularan pinternya."

"Ketularan pinter?" tekan Rea, menahan dengusan. "Orangnya aja pelit mau ketularan pinter dari mananya? Udah gitu ngeselin banget. Orangnya nakal nggak beraturan."

"Dulu Daddy juga nakal, suka ngelanggar aturan, tapi pinter," sahut Irfan teringat masa lalunya sambil fokus menyetir. Tepat saat lampu merah di depan menyala, mobil itu direm. "Kamu kalo mau gitu, penting juga harus pinter. Kalo masih nggak paham sama materinya, kan, tinggal minta bantuan sama teman sebangku kamu itu."

Baru saat beberapa saat kemudian lampu berubah hijau, Irfan kembali menjalankan mobilnya.

Kalau boleh Rea cepu, dia pasti akan melapor ke Irfan sekarang juga soal ponselnya yang diambil cowok kadal tadi. Tapi Rea bukan anak kecil lagi, dia bisa menghadapinya sendiri. Rea tidak akan menyebut namanya. Mendengar namanya saja rasanya ingin misuh-misuh, apalagi melihat orangnya secara langsung. Ditakuti banyak orang? Huh, tapi Rea sama sekali tidak terintimidasi tuh.

NATAREL (SELESAI✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang