Dua

263 34 15
                                    

"Lo udah bangun?"

Lisa bertanya dengan nada khawatir. Mata Jeonghan nampak mengerjap, ia sedang menyesuaikan cahaya yang tiba-tiba menyerbu masuk. Dan itu membuat kepalanya menjadi sedikit pening. Jeonghan pun kembali memejamkan matanya. Ia menghela nafas lelah. Jadi apakah membuka mata saja menjadi sedemikian berat?

"Lo baik-baik aja?"

Lisa kembali khawatir melihat sikap Jeonghan yang terlihat kepayahan. Orang ini telah pingsan selama empat jam. Bahkan sekarang sudah malam, dan Lisa terpaksa tinggal di rumah sakit untuk menjaganya. Lisa tak tahu harus menghubungi siapa. Mereka memang tidak saling mengenal.

"Gue tinggal buat panggil dokter dulu ya,"

Lisa hendak beranjak, namun tangan lemah Jeonghan menahannya, "gak usah," ucapnya lemah.

Jeonghan kembali memaksakan dirinya untuk duduk. Hal itu tentu saja memancing reaksi Lisa. Ia tak peduli jika akan dianggap melewati batasan lagi. Ia akan terima kemarahan Jeonghan, namun kondisi Jeonghan sangat membutuhkan lelaki itu untuk tetap berbaring dan istirahat dengan baik.

"Jangan bangun, lo bakal pusing," Lisa memegang kedua lengan Jeonghan yang sangat kurus itu. "Tidur lagi aja ya," ucap Lisa hati-hati.

Tentu saja Jeonghan menjadi kesal. Sekali lagi Lisa melanggar batasannya. Mereka berdua kan memang orang asing. Ia menghempaskan kedua tangan Lisa agar menjauh darinya. Bukan urusan Lisa jika ia ingin melakukan apapun yang ingin ia lakukan.

"Jeonghan, tolong jangan keras kepala, bahkan lo tadi pingsan lama," ucap Lisa tak ingin kalah. Ia tak tahu apa masalah lelaki di hadapannya ini, sehingga ia bisa menjadi orang yang sangat sensitif, keras kepala, namun lemah. Perpaduan yang sangat aneh. Benar, orang ini benar-benar tak ingin hidup lagi. Namun, kenapa ia masih tak mengakhiri hidupnya? Lisa pun mengutuki pemikiran bodohnya.

"Lo mau gue hubungin siapa buat ngabarin kondisi lo sekarang?" tanya Lisa mengalihkan topik. "Lagian ini udah malem," lanjut Lisa sambil melirik jam.

"Lo pulang aja," jawab Jeonghan tanpa melihat ke arah Lisa.

Lisa menghela nafas lelah. Ia tak tahu lagi gimana caranya menghadapi laki-laki di hadapannya ini. "Jeonghana, maafin gue, tolong," ucap Lisa dengan kesungguhan dan sikap paling tulus yang bisa Lisa tunjukkan, "izinin gue buat mastiin lo baik-baik aja,"

"Emang menurut lo gue kenapa?" tanya Jeonghan tajam, kilat marah nampak jelas terlihat di mata Jeonghan yang sayu. "Pulang. Gue juga mau pulang." kini Jeonghan beranjak dari kasurnya.

Jeonghan mulai duduk, namun matanya segera terpejam begitu sakit kepala menyerangnya lagi. Dunia seolah sedang berputar baginya. Ia mencengkram erat kasur di sampingnya.

Melihat itu Lisa tak bergeming. Bukankah ia sudah memperingatkan Jeonghan untuk tak bangun dulu. Dan kini Lisa tak melarangnya sama sekali.

Namun Sebenarnya Lisa juga memiliki pertimbangan lain. Menurut dokter yang memeriksa, Jeonghan hanya kelelahan. Sebenarnya Lisa ingin Jeonghan tinggal semalam di rumah sakit, sekalian istirahat. Namun siapalah dia yang bisa ngatur keputusan soal Jeonghan.

Dan Lisa hanyalah gadis yang tak kehilangan hatinya sehingga tega melihat kondisi Jeknghan yang cukup mengenaskan.

"Gue anter lo pulang ya," ucap Lisa selembut mungkin.

"Mungkin emang hobi lo buat ngelewatin batas ya," jawab Jeonghan bahkan tanpa melihat Lisa. Jeonghan dengan susah payah memakai jaketnya. Ia masih merasa limbung. Namun ego memaksanya untuk tak menerima bantuan apapun dari siapapun.

Dan saat Jeonghan baru melangkahkan kakinya, kepalanya terasa berputar. Reflek, ia memegang kepalanya yang berdenyut sakit. Jeonghan hanya bisa memejamkan matanya, mencoba meredakan rasa sakit itu.

Lisa benar-benar tak tahu lagi. Kondisi Jeonghan masih cukup parah untuk membiarkannya pulang sendiri. Namun, ia juga tak memiliki cara lagi. Dan ketika Lisa melihat Jeonghan yang akan ambruk, dengan sigap ia menahannya.

"Pulang sama gue." ucap Lisa dingin penuh penekanan. Nadanya memerintah, dan terlihat jelas Lisa tak menerima penolakan. Anehnya, Jeonghan terdiam. Mungkin ia terkejut. Lisa yang dari awal terlihat takut, sungkan dan merasa bersalah, kini berganti dengan Lisa yang tegas, penuh wibawa dan aura yang sangat kuat. Jeonghan seperti tersihir, ia tiba-tiba berubah menjadi anak penurut yang baik.

***


Di dalam perjalanan mereka, Lisa masih menimbang, apakah baik jika ia membawa Jeoghan pulang ke rumahnya. Tapi Lisa tak punya pilihan yang lebih baik. Dia sudah mencoba bertanya dimana rumah Jeonghan, namun laki-laki itu hanya diam seperti bisu.

Masalahnya Lisa hanya tinggal sendiri. Apa kata orang jika ia membawa laki-laki asing menginap di rumahnya. Walau Lisa tidak terlalu peduli dengan gosip apa pun, tapi bukan berarti dia akan baik-baik saja jika harus menerima cibiran dan penghinaan atas pikiran kotor mereka sendiri.

Sopir grab yang ditumpangi Lisa dan Jeonghan mencoba mencairkan suasana dengan mengajak mereka ngobrol. Namun, Lisa terlalu larut dalam pikirannya dan Jeonghan terlalu tidak mau terlalu repot untuk menjawab apa pun pertanyaan lelaki dibalik kemudi itu. Sehingga, si sopir kembali diam dan hanya fokus pada jalan. Mereka pada tuli atau bisu kali, begitu pikirnya.

"Udah pake OVO ya, Pak, Terima kasih," ucap Lisa sambil membantu Jeonghan turun dari mobil. Bagaimana pun lelaki itu masih cukup lemah untuk jalan sendiri.

"Kenapa lo bawa gue balik ke rumah lo?" tanya Jeonghan skeptis.

Lisa menghela nafas kasar. Ia sungguh sangat lelah. Jika saja ia bisa tega sedikit saja, mungkin ia sudah buang lelaki di sampingnya ini di pintu TOL Tomang tadi.

"Menurut lo, gue harus bawa lo pulang kemana lagi emngnya?" jawab Lisa jengah, "kalo lo lebih nyaman balik ke rumah sakit, gue gak masalah buat nganter lo ke sana lagi," tatapan Lisa nampak tegas.

Lisa membawa Jeonghan ke kamarnya. Rumah ini memang hanya memiliki satu kamar. Sebenarnya memang ada dua, namun kamar satunya hanya sebuah ruangan kosong berisi buku dan segala macam barang Lisa, semacam gudang yang lebih rapi.

"Lo istirahat di sini malam ini. Besok, gue bakalan bikinin izin ke sekolah pake surat keterangan dokter," terang Lisa bagai seorang ibu yang mengkhawatirkan anak nakalnya. "Dan, gue juga bakalan izin, buat mastiin lo beneran istirahat dan baik-baik aja. Engga kabur dan engga aneh-aneh,"

"Terserah lo mau bilang gue menyebalkan dan seneng ngelewatin batas," tambah Lisa begitu melihat Jeonghan sudah ingin protes lagi, "tapi tolong Jeonghana, berbaik hatilah dengan diri lo sendiri. Lo harus peduli sama diri lo sendiri. Lakuin apa yang gue bilang, demi diri lo sendiri. Istirahat. Okay?" ucap Lisa melembut.

Lisa dengan berani menunjuk dada Jeonghan, lalu menambahkan, "Diri lo ini, udah kasih tanda bahwa lo butuh bantuan, tolong kasih izin dia buat dapet bantuan,"

Lisa meninggalkan Jeonghan sendiri di kamarnya sambil membawa bantal dan selimut untuk di bawa ke 'gudang'nya untuk tidur di sana. Meninggalkan Jeonghan dengan berbagai perasaan aneh yang mulai muncul di hatinya. Namun, Jeonghan memang terlalu keras kepala untuk mengakuinya.

Senja (Lisa & Jeonghan) Where stories live. Discover now