19. Ketenangan Sebelum Badai

4.8K 608 13
                                    

.

.

.

"Melv, bunda mana ya?" Kepala Langit di elus pelan Melvin. Mereka berdua sedang menghangatkan diri dari cuaca dengan berpelukan.

Udah terhitung 5 hari bundanya ga ada. Dan Langit udah berhenti nangis.

Sekarang dia nginep di rumahnya Melvin.

Melvin menyandarkan dagunya di pucuk kepala Langit. "Nanti ya?" Langit mengangguk.

Entah ribuan kali Melvin jawab kayak gitu, Langit tetap saja percaya.

Melvin menoleh ke arah bubur yang tidak dimakan Langit dan sekarang sudah mendingin.

disamping piring bubur itu ada figura kecil berisi foto mereka berdua yang berumur lima tahun.

Langit yang lagi peluk sepatu rodanya dan Melvin yang senyum ceria dengan banyak plaster di mukanya.

Melvin dengan sabar mengelus pelan rambut agak keriting itu dengan sayang.

Ia masih harus beradaptasi dengan Langit yang dalam keadaan terburuknya.

"Gue mau cerita Melv" Melvin mengangguk, dagunya masih ia sandarkan di kepala Langit.

Langit diam cukup lama, sampai akhirnya dia menemukan kata yang tepat untuk memulai.

"Waktu itu gue pernah ditanya sama bunda" Langit melihat ke arah jendela Melvin yang tertutup.

"Bunda nanya sesuatu yang bahkan gue sendiri gatau jawabannya" Melvin mengelus punggung tangan Langit yang ada di genggamannya.

"Dia nanya... " Langit menghela nafas pelan.

"Dari semua orang yang deket sama gue dan terang-tetangan ngecrush in gue ... " Langit menipiskan bibirnya.

"Gue sukanya sama siapa dan alesannya apa" Melvin nampak tertarik dengan pembahasan ini.

Langit mendongak dan menatap Melvin "Dan lo tau gue jawab apa?" Melvin menggeleng dan memegang pipi Langit yang tersenyum kearahnya.

"Gue jawab ... "

"Bentar ya bun, Penyu ngga ada ide buat sampe disitu. Tapi kalau sekedar suka, Penyu suka sama Nada"

"Nada itu baik, pinter sama cantik. Dia juga sering jajanin Penyu" Miyara menggeleng tak puas.

Karena ia tau, Penyu hanya sebatas kegum padanya karena ada sesutu seperti sogokan jajan contohnya.

"Terus bunda kayak ga puas gitu" Langit kembali menyenderkan kepalanya di dada Melvin.

"Dan dia bilang kayak gini dan buat gue bingung"

"Bunda tunggu jawaban kamu yang sebenernya ya? Apapun bunda akan bertahan demi jawaban singkat Penyu" Maksudnya, dia tidak akan pergi sebelum mendengar jawaban Penyu.

Melvin terkekeh pelan. Dia sempat mengira kalau Penyu akan suka pada Yuko.

"Terus lo udah ketemu jawabannya?" Langit mengangguk.

"Siapa?" Melvin cukup penasaran.

Langit menggeleng pelan "Gue mau bunda adalah orang pertama yang tau" Melvin terus mengangguk paham.

"Gue termasuk kedaftar list lo ga?" Langit menggeleng.

"Engga, lo kan udah punya pacar" Melvin sendiri kaget. Dirinya mana ada pacar.

"Siapa bilang gue punya pacar?" Langit mengkerutkan dahinya.

"Lo kan sama Rafa pacaran" Karena di novel juga begitu.

"Engga!" Langit noleh.

"Gue ga pacaran sama Rafa. Dia udah punya pacar, temennya Albri namanya Lino" Langit mengerjap pelan.

Bukannya ... "Sejak kapan?" Melvin berpikir sejenak.

"Belum lama ini sih, pas lo bawa pulang Momo" Ga lebih seminggu yang lalu jadi.

"Gue kira kalian pacaran, soalnya romantis banget" Melvin ketawa pelan, dia terus gelengin kepalanya.

"Mending sama lo aja"

-

Keseharian Langit tanpa Miyara terlihat kosong dan lesu. Meskipun dia masih bisa berkomunikasi, tapi tetap saja teman-temannya merasa ada yang berbeda.

Sesekali Langit memgecek di RS tempat Miyara bekerja dan juga pulang untuk sekedar tidur siang di kamar ibunya.

Merasa sepi dan lesu, Langit meminta semua orang untuk tidak mengkhawatirkan nya.

Terbukti dia menolak setiap tamu yang berkunjung ke rumahnya sekedar menanyai kabar seperti apa dia sekarang.

Langit terus mengecek ponselnya dan berharap ibunya segera menghubunginya.

Ia bahkan menelfon Galaxy untuk kesekian kali dan berulang kali mendatangi SMA Bina Bakti untuk bertemu dengan adiknya itu.

Bahkan Galaxy tidak punya kabar sama sekali.

Berkunjung di rumah Galaxy pun mendapat hasil yang nihil. Rumahnya terkunci rapat dan kemarin Langit lihat banyak sampah daun berada di perkarangan rumah Galaxy.

Dan itu menjadi bukti bahwa memang tidak ada kehidupan disana.

Sampai pada akhirnya sebuah telfon masuk dari nomor tak dikenal.

Langit yang sedikit parno megangkat telfon itu dengan hati-hati.

"Sayang?" Suara itu yang di tunggu Langit.

Dia segera duduk dari posisinya dan terlihat bahagia mendengar suara Miyara yang tidak lewat dari pendengarannya.

"Bunda? Bunda kan? Bunda, bunda ada dimana?" pertanyaan diseberang tak kunjung di jawab.

Sampai pada akhirnya Langit mendengar helaan nafas kecil sebelum memulai "Sayang, bunda gapapa. Maaf ya bunda ada urusan mendadak dan ga sempet ngabarin Penyu" Langit seakan tidak percaya.

"Ya udah, bunda sekarang pulang. Aku kangen soalnya, lagipula bunda jahat banget ga ngabarin" Langit menahan air matanya agar tidak menangis.

"Emangnya bunda kemana?" Langit menunggu jawaban.

"Bunda bakal pulang kok, sebentar lagi. Bunda lagi nyari taxi oke?" Langit melihat jendela kamar Miyara.

"Bunda ga akan pergi lagi kan?" Miyara tertawa pelan.

"Engga sayang, bunda lagi nunggu jemputan. Nanti kalau ada apa-apa bunda kabarin kok" Suara Miyara jauh lebih lemah dari biasanya.

"Bun? Bunda kenapa? Kenapa bun? Sakit ya? Biar aku jemput. Bunda sekarang ada dimana?" Langit menuju kamarnya dan mengambil kunci motor di meja belajarnya.

"Jangan! Bunda gapapa oke? Bunda sehat" Langit menyandarkan tubuhnya pada pintu kamarnya yang sudah ia tutup.

"Bun, aku jemput sekarang" Miyara terdiam.

"Taxi bunda udah sampe, nanti bunda kabarin ya? Bunda bakal pulang sebentar lagi. Sekarang Penyu duduk di kamar bunda dan tutup pintunya ya?" Langit semakin curiga.

"Tapi Bun--" Miyara langsung menutup telfonnya.

Langit dengan lesu kembali ke kamar ibunya dan seperti intruksi dari Miyara, dia menutup pintu itu rapat.

Terdiam duduk di meja kerja Miyara dan menunggu hingga Bundanya kembali kerumah.

Sampai pada saat dimana Langit kehabisan kesabaran untuk sekedar menunggu lagi.

.

.

.

Bersumbang.

Next Hint: Egois

--

ciap baca ending?

Favorite Tritagonis [End]Where stories live. Discover now