Terungkap Juga

6 3 0
                                    

Genre: HTM
Subgenre: HTM

...

Apa yang kulihat di dalam CCTV sungguh membuatku tercengang. Aku mondar-mandir ke sekeliling kamar, menyalangkan tinjuan, memukul, menjambak, bukannya kepada perempuan yang ingin kubunuh tadi, melainkan pada diriku sendiri.

Benar, kau benar. Joy dan Tasya juga rupanya benar. Perempuan itu tidak ada. Maksudku ... dia ada, tetapi hanya aku yang bisa melihatnya.

"Dia itu sebenarnya apa?"

Aku terkekeh frustrasi. Kesepuluh jemariku mulai menyelipkan diri di sela-sela rambut, lantas menarik mereka tanpa ampun. Aku tidak tahu lagi harus bereaksi apa. Kepalaku sungguh pening, di dalam sana seolah ada suara yang sangat keras, siap mengoyak gendang telingaku kapan saja.

"Apa aku sudah gila?"

Lagi-lagi aku tertawa. Sebelum tawaku ini terhenti sebab melihat si perempuan tadi sudah duduk lagi di atas ranjang. Dia tidak bersuara, justru menyeringai sambil mengangkat kedua bahunya.

Aku sungguh muak. Sangat muak dengannya. Gunting yang kutemukan di lantai, langsung kuambil dan dengan gerakkan cepat, kutusukkan pada dadanya.

Kini giliran aku yang menyeringai. Setidaknya, satu lalat pengganggu ini sudah berhasil kusingkirkan. Anehnya, dia juga menarik sudut bibirnya. Mengacungkan jemarinya ke perutku seolah ingin menunjukkan sesuatu.

Mataku membelalak. Gunting yang seharusnya tertancap di perutnya, rupanya malah menusuk indah perutku yang mendadak mengeluarkan cairan merah. Tubuhku membeku dalam beberapa detik yang terasa sangat panjang, sebelum akhirnya ambruk ke lantai.

...

Rumah sakit?

Aku menoleh ke kanan-kiri, dan benar kali ini aku ada di tempat penuh orang sakit itu. Anehnya, aku tidak berbaring di kamar, tetapi malah berjalan di koridor dengan kebingungan.

"Tunggu, kenapa perutku--"

Tanganku kuletakkan di tempat yang seharusnya penuh darah. Namun, tempat itu sungguh bersih. Aku bahkan dengan tak tahu malunya menyibakkan baju, memperlihatkan kulit perutku yang mulus tanpa luka sedikit saja.

Langkahku terhenti melihat pantulan diriku di kaca. Lagi-lagi yang kutangkap bukan rupaku sendiri, melainkan si perempuan yang sudah membuatku seperti ini. Dia menyunggingkan senyum, membuat sesuatu di dalam kepalaku seketika mendidih. Tanpa aba-aba, aku teriak dengan suara sangat kencang.

Aku baru menyudahi aksi gilaku ketika sadar ini di rumah sakit. Anehnya, ketika seharusnya orang-orang melihatku dengan tatapan aneh sebab sudah membuat keributan, kali ini seolah tak terjadi apa-apa. Mereka seperti ... tidak menyadari keberadaanku.

Aku berjalan mendekat ke salah satu perawat di sana untuk memastikan. Kulambaikan tangan di depan wajahnya, tetapi dia tidak bereaksi sama sekali.

"Kau melihatku, kan? Kau melihatku?" Si perawat terus melenggang melewatiku. "Bagaimana bisa? Kenapa tidak ada yang melihatku?!"

Apa aku sudah mati?

Oh tidak. Pemikiran buruk itu tiba-tiba melintas dalam kepala. Kuputuskan berlari, memastikan satu hal lagi.

Ruang mayat. Seharusnya tubuhku ada di sana jika aku benar-benar mati. Kubaca satu per satu nama di ranjang, tetapi tak menemukan nama Luna yang tercetak di sana.

Setidaknya sudah tujuh hari aku melanglang buana tanpa ada yang menyadari kehadiranku. Aku hanya meringkuk di dekat kamar mayat tanpa tau harus melakukan apa. Jika aku tidak mati, lantas aku ini apa?

Aku menangis tanpa air mata. Dalam diamku itu, tiba-tiba sekelebat bayangan muncul, dan membuat tubuhku terperangkap di dalam kegelapan. Aku sudah tak terkejut lagi. Maksudku, sudah banyak hal aneh yang aku terima belakangan ini.

"Menyedihkan!" Satu kata itu keluar entah dari mana.

"Bagaimana bisa aku yang menangkapmu bukannya sebaliknya?"

Aku masih belum bisa menemukan siapa-siapa di dalam sana, kecuali si suara. Tiba-tiba suara itu tertawa, dan aku mengenalinya. Itu suara tawa si gadis berkacamata.

"Ah, kau sudah tahu?" Akhirnya dia menampakkan diri.

"Bagaimana kau--"

"Tidak tertusuk?" sambung perempuan itu cepat. "Sadarlah sekarang juga. Kau ingin membunuhku? Lucu sekali."

Dia tertawa lagi, memutari tubuhku yang meringkuk kebingungan di dimensi tanpa ujung ini. "Begini saja, akan kuberi tahu semuanya. Aku adalah kau, kau adalah aku. Paham?"

Aku sontak tertawa mendengarnya. Apa maksudnya? Apa dia ingin bermain-main denganku?

"Kau gila?" tanyaku yang langsung disanggah cepat olehnya.

"Kau yang gila! Ingatlah baik-baik, bagaimana semua surat itu kau terima. Menurutmu, siapa yang membuang waktunya hanya untuk mengirim surat tak berarti? Itu kau, bodoh!"

"Apa?!" Aku mengernyit bingung. Belum paham sedikit pun ke mana arah pembicaraannya. Setelahnya, telingaku berdenging dan sekelebat bayangan lainnya hadir di sana.

Kali ini tidak sepenuhnya gelap. Aku melihat diriku sendiri yang tengah menulis surat, lantas meletakkannya di rak sepatu. Berpindah tempat lagi, aku menulis surat berbeda dan menyelipkan di tempat berbeda pula.

"Insiden-insiden yang kau alami, jangan salahkan orang lain. Itu perbuatanmu sendiri. Itu akibat kau berusaha terlalu keras untuk menyingkirkanku."

Kali ini aku dibawa pada momen ketika aku terjatuh dari kelas bahasa. Aku terlihat tengah bertengkar dengan seseorang, padahal tidak ada siapa pun di sana. Sekarang aku ingat, aku seharusnya mendorong si perempuan itu, tetapi malah aku yang meloncat dari sana.

"Hari ini juga. Kau melakukan kesalahan yang sama."

Aku kembali ke ruangan gelap itu. Meski yang kulihat benar-benar nyata, tetapi aku masih sulit memahaminya.

"Kau nyaris kehilangan nyawa, karena mencoba melenyapkanku," ujarnya menekankan.

"Bagaimana bisa?" tanyaku masih tak paham.

"Karena kita satu. Aku dan kamu, adalah satu."

Beep ... beep ... beep ...

Aku membuka mata dan mendapati suara nyaring itu dari kanan. Monitor detak jantung, rupanya dia pelakunya. Selang oksigen bertengger dengan manisnya di hidung, pun selang infus yang sudah menancapkan dirinya di pembuluh darah.

Tiba-tiba aku melihat ibu mendekat, disusul Tasya dan Joy dengan muka panik mereka. Satu detik setelahnya, pertanyaan yang sama akhirnya mengudara.

"Kau sudah sadar?"

...

20/20

Tuntas sudah, yeay!

Gimana? Masih bingung?

Gapapa kita lanjut di epilog.

Ehehehe.

20 Desember 2023
Imeldavrita

Memorandum Redum [Selesai]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt