Aku yang lain?

7 3 0
                                    

Genre: HTM
Subgenre: HTM

...

Masih ingat ceritaku tentang Gea? Benar, gadis kecil yang kehilangan nyawanya sepuluh tahun silam. Ah, aku tidak ingin membahasnya lagi, jadi semoga kamu mengingatnya.

Hari ini adalah peringatan ulang tahunnya, bersamaan dengan ulang tahunku. Benarkah? Aku belum mengatakannya? Memang seperti itu, ibuku dan tanteku melahirkan putri tunggal mereka di hari yang sama, hanya beda sepuluh menit saja. Oleh karenanya seringkali kami dikira sebagai anak kembar oleh orang-orang.

Setiap hari ulang tahunnya, aku bersama dengan ibu, ayah, tante, paman, dan dua cucu nenek yang dahulu sering bermain bersamaku dan Gea, akan mengunjungi makam gadis itu. Tak lupa masing-masing dari kami membawa setangkai bunga lili putih.

Hari ini aku memilih untuk datang akhir, tidak bersama mereka, sebab aku tak ingin membuat mereka menunggu terlalu lama. Dari tempat kosku, perlu setidaknya dua setengah jam untuk sampai di sana dengan naik bus, itu pun jika macet tidak tiba-tiba menghadang.

Sampai di makam, terlihat bunga lili sudah berderet rapi di sana. Aku mulai melangkah mendekat, meletakkan setangkai bunga di tanganku agar bergabung di sana. Makam Gea sangat cantik, persis seperti orangnya. Namun, saat kuhitung hanya ada enam bunga di sana, padahal seharusnya tujuh beserta milikku. Di mana yang satunya lagi?

Ah, mungkin ada yang tak bisa hadir?

"Selamat ulang tahun." Ujung bibirku tertarik ke atas saat mengucapkan kalimat tadi. Tanganmu mengusap nisan dingin yang bertuliskan namanya, Gea. "Selamat ulang tahun untuk Gea dan Luna."

"Bagaimana kabarmu di sana?" Aku menghela napas sejenak sebelum meneruskan. "Bukankah kau sudah bertemu dengan kakek dan nenek? Apa mereka masih sering mengomelimu seperti dulu?"

Aku terkekeh bebarengan dengan jatuhnya sebulih air dari kelopak mata. Setelah menghapusnya, aku kembali bicara, "Maaf aku jarang mengunjungimu. Aku di sini baik-baik saja, jadi jangan cemaskan aku. Bermainlah sepuasnya dengan kakek dan nenek, dan tunggu sampai aku menyusul ke sana. Mengerti?"

Matahari terus merangkak ke sisi barat, membuatku mau tak mau harus segera pergi dari sana. Usai puas mengatakan ini dan itu, ditutup dengan salam, akhirnya aku mulai beranjak. Saat sampai di pintu makam, petugas makan dengan sapu lidi di tangannya itu menatapku sembari bertanya, "Mbaknya ke sini lagi?"

Aku mengerjap heran. "Maaf, Pak? Saya baru ke sini satu kali hari ini."

Petugas makam itu turut mengerjap bingung. Dia menggaruk-garuk kepalanya, sebelum bergumam sendiri yang masih bisa kudengar. "Apa saya yang salah lihat, ya?"

Bapak itu setelahnya menunduk, meminta maaf atas kekeliruannya dan lanjut mengerjakan tugasnya. Aku balas menunduk, dan segera keluar dari sana dengan rasa penasaran yang masih sedikit tersisa.

Memangnya ada aku yang lain? Aku terkekeh pelan.

Berangkat dengan bus, pulang pun harus menggunakan kendaraan yang sama. Aku menuju terminal yang memang letaknya dekat dengan makam. Sembari menunggu kursi-kursi kosong terisi, aku membuka tas slempang hendak mengeluarkan ponsel dari sana.

Saat retsleting terbuka, kepalaku mendadak dihujani ribuan tanya. Ada setangkai lili putih di sana, yang seharusnya hanya berisi ponsel dan dompet saja.

Bagaimana bunga ini ada di sini? Bukankah sudah kuletakkan di makam tadi?

...

Heyo, maaf absen sehari kemarin sebab kesibukan tidak bisa diganggu gugat:)

Ah iya, kenapa belum ada surat lagi? Nanti dulu ya. Sabar ....

Luna mau rehat dulu, gitu katanya.

14 Desember 2023
Imeldavrita

Memorandum Redum [Selesai]Where stories live. Discover now