Chapter 29

1 1 0
                                    

Sepulang kerja, Vian segera kembali ke rumah. Pukul sembilan malam, dia disambut oleh Yuna yang sedang duduk-duduk di ruang tengah sembari memandangi album foto dengan dahi berkerut.

"Sedang apa?"

Suara Vian membuat Yuna terperanjat. Dia tersenyum ketika melihat kemunculan suaminya itu. "Kamu baru pulang?"

Vian melenggut lalu duduk di samping istrinya. Dia melepaskan sepatu dan melonggarkan dasi. Yuna menunjukkan album foto yang sedang dilihatnya pada Vian.

"Aku melihat foto-fotomu jaman SMA. Kamu benar-benar berandal," olok Yuna.

Vian hanya tertawa. Yuna baru menyadari ketampanan suaminya ketika dia tertawa seperti itu. Dia teringat pada nasihat Wanda tadi. Yuna sekarang memiliki seorang suami dan Yuna harus menatap masa depan bersama suaminya ini.

"Bagaimana pertemuan pertama kita?" tanya Yuna tiba-tiba. Vian mengembangkan senyum lalu menatap langit-langit seolah sedang mengingat.

"Kita pertama kali bertemu di bus tujuan Malang-Surabaya. Kita duduk bersebelahan," terang Vian.

"Oh ... lalu bagaimana kita kenalan?"

"Kamu yang mengajakku kenalan lebih dulu."

Yuna terperangah mendengar penjelasan Vian. Sungguh, Yuna tak pernah mengajak seorang pria untuk berkenalan lebih dulu. Apa itu mungkin? Yuna bukan tipe orang yang bisa berbicara santai dengan orang yang baru dikenal. Apalagi Vian sama sekali bukan tipenya.

Yuna tersenyum kecil lalu kembali bertanya, "Lalu apa setelah itu? Kita jadi dekat?"

Vian mengangguk. Yuna lalu kembali mengamati album foto yang lain yaitu saat mereka berbulan madu ke Bali. Vian mengamati Yuna dengan saksama. Email yang diberikan Tania siang tadi benar-benar memengaruhi pikirannya. Yuna yang dia kenal selama ini adalah wanita yang baik. Mungkinkah jika semua itu palsu. Apa sebenarnya alasan wanita itu menyembunyikan hubungannya dengan Zaki? Lalu apakah maksud dari email yang dikirimkan almarhum Ulfa pada Tania? Apa yang terjadi di Villa Batu selama Vian dan Zaki pergi? Benarkah ada perampokan? Benarkah bahwa Yuna hilang ingatan? Saat Yuna hendak bertanya pada Vian. Dia menyadari pria itu sedang menatapnya dengan tatapan yang aneh.

"Ada apa?" tanya Yuna bingung.

Vian menggeleng lalu tersenyum. "Aku hanya mengagumi kecantikan istriku," dalih Vian.

Pipi Yuna bersemu merah, dia lalu membuang muka dengan malu-malu.

"Apa sih!" keluhnya jengah.

Vian tersenyum. Namun, dalam batinnya dia tak bisa menghapus rasa curiga akibat spekulasi Tania yang ditanamkan padanya tadi.

"Oh iya, Titi. Apa aku nggak punya diary atau semacamnya?" tanya Yuna.

Vian menggeleng. "Setahuku kamu nggak terlalu suka nulis begituan," kata Vian.

Yuna mendesah. "Seandainya saja aku punya diary. Mungkin aku nggak akan kebingungan dan merasa bodoh seperti sekarang, " keluh Yuna.

"Kalau begitu tulis saja mulai sekarang," usul Vian, "Oh iya, bagaimana kalau kita nanti saling bertukar diary? Dengan begitu kita akan lebih cepat saling mengenal," seru Vian.

Yuna mengangguk dan tersenyum. "Kedengarannya romantis."

"Ngomong-ngomong, aku ingin mengambil cuti," kata Vian. "Bagaimana kalau kita berbulan madu lagi? Kita bisa mengunjungi tempat-tempat yang dulu kita kunjungi. Barangkali kamu bisa mengigat sesuatu."

Bibir Yuna melengkung. "Itu ide yang bagus, tapi apa kamu nggak lagi banyak kerjaan?" tanya Yuna.

Vian bersedekap. "Aku ini kan Presdir," katanya.

"Sok banget sih!" olok Yuna. Suami-istri itu lalu tergelak.

Meskipun ikut tertawa bersama Yuna, dalam batin Vian terus bergejolak. Dua hari ke depan dia akan mengawasi Yuna. Dia akan mencari tahu dan membuktikan apakah istrinya itu benar-benar hilang ingatan atau tidak.

***

Yuna dan Vian duduk berhadapan, Yuna dengan serius memandang papan catur di antara mereka. Dia sudah kalah sepuluh kali padahal mereka baru bermain kurang dari satu jam. Vian suka mengambil langkah berani yang tak terduga. Dia rela mengorbankan para jendral miliknya hanya untuk memojokan raja Yuna.

"Ayolah, lama sekali aku sudah ngantuk," keluh Vian bosan karena Yuna tak segera bergerak.

"Tunggu," kata Yuna. Setelah menghela napas akhirnya dia menjalankan menterinya.

Vian menyeringai melihat alur perpindahan Yuna itu. Dia memakan sang mentri dengan kuda lalu berseru. "Skak!"

Yuna melolong lalu memporah-porandahan bidak catur di atas papan itu dengan kesal. "Sudahlah, aku nyerah," gerutunya

Vian tertawa lalu melirik jam dinding di ruang tengah yang menunjukan pukul sebelas malam. "Ini sudah malam. Ayo kita tidur saja," usul Vian.

Yuna melenggut lalu membereskan bidak-bidak catur itu ke balik papan catur. Setelah selesai membereskan permainan mereka, Vian hendak melangkah ke kamarnya tapi Yuna mencekal lengannya.

"Anu Titi ... Apa nggak seharusnya kita tidur sekamar?" tanya Yuna.

Vian tergemap, matanya membelalak menatap Yuna.

"Anu ... maksudku kita suami-istri. Nggak baik kalau kita pisah ranjang," tambah Yuna cepat-cepat, pipinya mulai bersemu merah. Yuna menggosok-gosok lehernya yang jenjang.

"Lagi pula tidur dalam satu tempat tidur bukan berarti kita melakukan itu, kan?" tanyanya gugup.

Bibir Vian mengembang lalu membentuk seringaian. "Kamu yakin aku akan diam saja kalau kita tidur sekamar?" goda Vian.

Pipi Yuna semakin memerah, dia menunduk dengan malu-malu. "Ya ... kamu kan suamiku. Itu hakmu jika kamu ingin melakukan sesuatu."

Vian terperanjat mendengar jawaban Yuna itu. Pria itu lalu menutup mulutnya.

"Se-sepertinya belum bisa. Ng ... kita pelan-pelan saja. Nggak usah buru-buru." Vian berupaya menutupi wajahnya yang mulai memerah.

"Kalau begitu, aku tidur dulu ya, selamat tidur!"

Vian segera berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya. Gawat! Yuna memang terlalu manis. Hampir saja Vian tak bisa menahan diri untuk memeluk wanita itu tadi.

***

Terima kasih atas votes dan komennya.

Back Cover of MemoryWhere stories live. Discover now