Chapter 27

2 1 0
                                    

Vian mengusap wajahnya dengan telapak tangan kemudian mendesah. Sudut mata Vian melirik pada kertas hasil screen shoot email terakhir yang dikirimkan Ulfa pada Tania. Tania meninggalkan kertas itu begitu saja di atas meja kerjanya.

Vian meraih benda itu dan hendak menyobeknya, namun dia mengurungkan niatnya setelah meresapi kalimat pada pesan terakhir Ulfa.

Aku mau cerai saja! Aku sudah tidak tahan lagi.

Vian akhirnya urung membuang surat itu dan memasukkannya ke laci meja. Bertepatan dengan itu, pintu ruang kerjanya di ketuk. Setelah Vian menggumamkan ijin masuk, Zaki muncul dari luar lalu menghampiri mejanya.

"Ini dokumen neraca perusahaan kita bulan ini," jelas Zaki.

"Oh, terima kasih." Vian menerima dokumen itu lalu membacanya. Dia diam-diam melirik Zaki yang duduk di depannya.

"Zaki, apa kamu pernah bertengkar dengan Ulfa?" tanya Vian.

Zaki tampak terperanjat mendengar pertanyaan Vian yang tiba-tiba itu. "Apa maksud, Paman?" tanya bingung.

"Aku hanya bertanya. Bukankah pertengkaran suami-istri itu wajar? Mungkin aku perlu meniru tindakan yang kamu lakukan dalam menghadapi istrimu," kata Vian dengan senyum yang terkembang.

Zaki tersenyum canggung. "Sayang sekali, kami belum pernah sempat melakukan hal itu," desah Zaki. "Kalau pertengkaran kecil semacam berebut menonton acara televisi mungkin sering."

Vian memerhatikan Zaki dengan serius, ada nada ragu yang sempat ditangkapnya dari suami Ulfa itu. Namun Vian kemudian tertawa. "Aku juga sering melakukan itu dengan dia. Dia suka menonton Drama Korea tidak berfaedah itu, kan?"

Zaki mengangguk. "Hampir semua wanita seperti itu," katanya. "Mereka suka hal-hal yang romantis.

"Apakah saat berkencan denganmu dulu Yuna juga begitu?"

Mata Zaki tampak melebar, dia tak menyangka pertanyaan Vian tiba-tiba melebar pada masa lalunnya dengan Yuna dulu.

"Berapa lama kalian berpacaran?" tanya Vian.

"Sejak masuk kuliah," aku Zaki.

"Wow, cukup lama ya, lebih dari enam tahun. Bagaimana kalian bisa putus?"

"Hanya sudah tidak cocok lagi," kata Zaki. Pemuda itu tampaknya tidak terlalu nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan dari Vian.

"Boleh aaya permisi dulu, Paman? Saya masih ada beberapa pekerjaan." Zaki pamit lalu segera melangkah keluar dari ruangan Vian. Setelah memastikan Zaki sudah pergi, Vian mengangkat gagang telepon kantornya lalu menelepon seseorang.

"Aku ingin tahu segala kegiatan yang dilakukan Ulfa dan suaminya sebelum kematian Ulfa," tegas Vian pada orang yang berbicara dengannya di seberang telepon.

Setelah mengakhiri pembicaraan dengan lawa bicaranya Vian memandangi langit-langit kamar. Kepalanya serasa berdenyut-denyut. Vian memandangi kalender duduk di meja kerjanya. Sepertinya tidak ada pekerjaan yang mendesak selama dua minggu ini. Bagaimana jika dia mengambil hari libur? Dia ingin merehatkan pikiran sejenak. Maka Vian meraih gagang telepon lagi dan menghubungi sekretarisnya.

"Bisakah jika aku mengambil cuti untuk beberapa hari?" tanya Vian pada sekretarisnya itu.

"Silakan, Pak, Anda memang belum mengambil cuti semenjak keponakan Anda meninggal," kata Bu Karmila, sekretarisnya. Vian tersenyum karena simpati dari sekretarisnya itu. Wanita yang lebih tua lima tahun darinya itu sangat pengertian. Pada awal karirnya Vian banyak mengalami kesulitan. Bu Karmilalah yang selalu membantu dan mendampinginya.

"Terima kasih, apakah tidak apa jika aku pergi besok dan lusa ini?"

"Saya rasa tidak apa, Pak, Anda tidak memiliki schedule yang mendesak. Saya akan mengurus keperluan lainnya. Nikmatilah liburan Anda."

***

Votes dan komen ya guys.

Back Cover of MemoryWhere stories live. Discover now