18

23 6 2
                                    

"Wah, keren ya dia!" bisik Vika sewaktu menyeretku mendekati keduanya.

Biasanya aku tidak gugup apabila ada cowok mengajak berkenalan. Namun hari ini agak berbeda. Tentunya karena reputasi cowok itu yang cukup dikenal di sekolahku sebagai bintang lapangan, sekaligus rival mantan pacarku dan teman-teman setimnya yang terlanjur kukenal. Walau dari penilaianku, bukan berarti di luar basket mereka akan menjadi rival sungguhan.

"Nah, akhirnya ketemu juga," ucap Kak Martin begitu aku dan Vika tiba persis di hadapannya. "Kenalin ini Orion, Kal. Pernah lihat belum? Kamu kan sering nonton pertandingan basket sebelumnya. Dia juga udah dua kali datang ke sekolah kita buat tanding, lho."

"Kayaknya pernah lihat sih," ujarku sambil mengamati sosok yang lebih tinggi beberapa senti dari Kak Martin itu. Sebenarnya aku tidak begitu tahu wajahnya, karena di masa-masa itu aku tak pernah memerhatikan anggota tim lawan dengan benar. Sedang di pertandingan minggu lalu, aku sama sekali tak berminat menatap isi lapangan. Aku hanya hadir ke gedung olahraga sebab semua murid diharuskan menonton pertandingan.

"Nama kamu Kallea, ya?" kata cowok itu usai kami berjabat tangan. "Aku Orion, tapi orang-orang biasanya manggil Rion aja." Suaranya terdengar berat. Lebih berat dari cowok-cowok yang ada di sekitarku. Ia memiliki garis rahang yang tegas serta ujung hidung yang tajam.

 Ia memiliki garis rahang yang tegas serta ujung hidung yang tajam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Oke." Aku tersenyum kecil kepadanya. Secara fisik, Orion memang cakep seperti kata Vika. Tidak kalah menarik dari jajaran cowok-cowok ganteng di SMA Nusantara. "Aku baru tahu kalau kamu temannya Kak Martin. Selama ini aku sering dengar nama kamu di antara anak-anak basket. Katanya, kamu pemain yang selalu diperhitungkan sama tim lawan mana aja."

"Nggak sehebat itu, kok." Rion menanggapinya dengan santai. Jelas dia sudah sering mendengar pujian tentang kemampuan basketnya.

Aku coba memerhatikan cowok itu lagi. Meski tatapannya lembut, tapi senyumnya begitu samar sehingga aku meragukan apakah benar ia ingin mengajakku berkenalan. Ia tidak tampak antusias tapi juga bukannya benar-benar tak ada ketertarikan. Entahlah. Aku tidak pernah berteman dengan orang yang memiliki karakter serupa, jadi aku tidak bisa menebak apa yang kira-kira ada di pikirannya.

Ngomong-ngomong, terus terang sosok Orion berbeda dari bayanganku, yang mengira orangnya akan ramah seperti Kak Junot atau si buaya. Kebanyakan anggota basket di sekolah kami tipe ceria seperti mereka masalahnya. Sedangkan Rion memiliki raut yang agak dingin, seperti orang yang sulit untuk didekati jika bukan kemauannya.

"Kamu ikut tim basket cewek apa?" Rion lalu bertanya padaku.

"Oh, nggak lah. Aku kurang berbakat di bidang olahraga. Lagian mana ada anggota basket setinggi aku?" terangku sembari tertawa. Untuk menutupi rasa malu tentu saja. "Aku cuma sempat sering bergaul sama anak-anak basket. Tapi itu kemarin sih, sekarang udah nggak. Dari sanalah aku jadi tahu soal kamu yang berbakat."

"Yah, dalam dunia perbasketan anak-anak SMA se-Surabaya siapa sih, yang nggak kenal Orion anak Pancasila?" Vika menengahi, membuat perasaanku yang agak tegang berangsur-angsur lega. "Ngomong-ngomong kita mau ngobrol di sini aja, nih? Nggak mau neduh di mana gitu?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 26 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mr. Croco And My Best Friend Where stories live. Discover now