11

64 13 4
                                    

Karena tegang, hampir saja kakiku berhenti melangkah. Aku tahu aku tak perlu memedulikan keberadaan Rendra dan kakak kelas itu, tapi aku bingung dengan anak-anak basket lainnya yang telah terlanjur kukenal. Rasanya agak aneh kalau aku melewati mereka begitu saja. Sambil berjalan yang tanpa kusadari lebih lambat dari sebelumnya, aku menengok ke arah Diaz. Lewat tatapan, aku meminta saran sebaiknya aku bersikap bagaimana.

"Apa lihat-lihat?"

Tapi memang dasar kurang ajar, Diaz malah sengaja berlagak tidak tahu begitu. Aku menggeram perlahan, paham sifat isengnya sedang aktif. Kemudian sambil menampol keras punggungnya, aku menoleh ke orang-orang itu lagi. Aku memutuskan untuk nekat terus berjalan seraya memberi senyuman sebagai ganti sapa. Aku tidak yakin bentuk senyumku bagaimana. Kalaupun terlihat kaku, paling tidak mereka tahu aku sudah mencoba sopan semampunya.

"Kallea!"

Namun tak disangka, seseorang yang familier tiba-tiba memanggilku dengan kencangnya. Kepalaku otomatis menengok ke asal suara. Itu Kak Junot. Ada juga pacarnya yang ramah di sampingnya. Di sebelah pacar Kak Junot ada Kak Oliv, dan di sebelah Kak Oliv ialah Rendra. Yang benar saja.

"Hei, Kak!" balasku, terpaksa ikut kencang pula. Mati-matian aku menahan mataku agar tak melirik ke Rendra, yang kuyakin ikut melihat ke arahku seperti lainnya. "Ada acara, ya?" basa-basiku, tak enak langsung kabur begitu saja.

"Biasa lah," jawab Kak Junot sambil tersenyum jenaka. "Ayo, sini ikut gabung! Ada yang lagi ngadain traktiran, lho."

Ya ampun, betapa lucunya tawaran itu. Kak Junot kalau bercanda memang kadang sembarangan, aku sudah tak heran. Tapi bukankah ini kelewatan? Dipandang semua anak basket di sana aku jelas semakin canggung. "Haha, makasih. Lain kali aja deh, Kak. Aku ... lagi ada urusan sama Diaz," ujarku, nyaris terbata.

"Urusan sama aku bisa ditunda, kok." Mendadak Diaz berkata. "Kalau ada makan-makan gratis, aku juga suka soalnya."

Si kampret minta ditendang! Aku mencoba menahan kekesalan dengan tersenyum manis pada Diaz. "Bisa nggak sih, mental gratisanmu itu dikendalikan?" ujarku, tetap tersenyum tapi tangan mulai menjotos lengannya. "Jangan berlagak kayak orang susah. Orang susah beneran aja nggak mau nunjukin kesusahannya."

"Bukannya berlagak susah, Kal. Tapi siapa sih, orang yang dulu-dulunya ngajarin bilang rezeki nggak boleh ditolak?" balas Diaz membuatku terpana.

Baiklah, memang itu aku orangnya. Tapi ya tidak di situasi begini juga. Aku mengatakan sinyal itu lewat pelototan mata. Namun Diaz langsung memalingkan muka. Kak Junot dan pacarnya sampai tertawa melihatku mati gaya.

"Nggak apa-apa, kok. Ayo, gabung aja!" seru mereka bergantian.

"Makasih, Kak. Aku beneran ada urusan, sih." Aku jadi makin tak enak saja. Kulirik Diaz dengan kesabaran yang tersisa. "Tolong maklumin orang ini, ya? Emang kadang agak bikin malu sikapnya, tapi gimana pun aku ini tetap temannya."

"Beneran cuma teman?" Seorang cewek yang ada di barisan paling ujung berceletuk. Waktu kutengok, rupanya ia teman Kak Oliv yang biasanya terlihat berdua ke mana-mana. Aku tidak mengerti pertanyaan itu untuk dirinya sendiri yang mungkin saja naksir Diaz, atau untuk memojokkanku di depan Rendra dan lainnya.

"Bukan cuma teman sih, sebenarnya." Diaz kembali bersuara tiba-tiba, menyebabkan semua orang langsung pasang telinga.

"Terus apa?" Kali ini Kak Junot yang bertanya. Walaupun semua orang lalu terdiam, aku seolah-olah mendengar mereka bersuara, "Jangan-jangan...."

"Kallea sama aku udah kayak saudara. Saudara kembar lebih tepatnya. Bukankah muka kita aja mirip?"

Aku terbengong-bengong atas pernyataan Diaz yang daripada disebut di luar dugaan, lebih cocok dikatakan amat-sangat-asal. Tentunya aku sudah tak berekspektasi seperti orang-orang, tapi saudara kembar dia bilang? Saudara kembar kepalamu peyang!

Mr. Croco And My Best Friend Where stories live. Discover now